Sebagai prolog, mari membahas dulu tentang ta’rif dari frasa manajemen keuangan keluarga. Rencananya memang tema ini yang akan menjadi titik sentral dari beberapa seri tulisan yang akan dibuat. Ada 3 (tiga) kata yang terhimpun menjadi satu dalam frasa ini, yaitu manajemen, keuangan, dan keluarga. Namun kunci utama sebenarnya ada pada kata manajemen. Mengikuti pola bahasa yang pernah dicetuskan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, kata manajemen berada pada posisi diterangkan (D) adapun kata keuangan dan keluarga selanjutnya berfungsi untuk menerangkan (M) kata manajemen. Sehingga dengan pemahaman yang memadai tentang kata manajemen, sudah cukup membantu untuk memahami secara jelas tentang frasa manajemen keuangan keluarga.
Jadi kita mulai dari apa itu manajemen? Pengertian manajemen dikemukakan beberapa kalangan dengan cukup bervariasi. Ada yang memberi pandangan manajemen itu sebagai ilmu, sebagai alat, sebagai proses, bahkan ada yang menganggap sebagai bagian dari seni. Seperti yang pernah dikatakan Mary Parker Follet bahwa “management as the art of getting things done through people"*. Sebagai ilmu, manajemen adalah sesuatu yang netral. Tidak terikat dengan pandangan hidup tertentu. Siapa saja bisa menggunakan tanpa membedakan jenis kelamin, latar belakang budaya, agama maupun ideologi. Ibarat sebuah alat, manajemen berfungsi untuk membantu penggunanya menyelesaikan pekerjaan atau meraih tujuan tertentu. Pengertian manajemen yang luas dan beragam ini bisa pula difahami dengan langsung mengamati proses manajemen yang lazim dipraktikkan. Secara umum proses itu 4 (empat) tahapan yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Bagi yang pernah belajar manajemen tentu tidak sulit mengidentifikasi bahwa uraian ini menjelaskan tentang fungsi manajemen, tepatnya menurut George R Terry yang dalam bahasa aslinya biasa disingkat dengan POAC (Planning, Organizing, Actuating, and Controlling).
Berikutnya kita coba mengartikan keuangan (Finance). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, Tahun 2008: 1767), keuangan diartikan segala sesuatu yang bertalian dengan uang, seluk beluk uang, urusan uang, atau keadaan uang. Ada 3 (tiga) aktivitas yang umum dilakukan dalam keuangan, yaitu menemukan atau menerima dana, mengelola, dan mengeluarkan uang atau melakukan pembayaran. Pengertian ini sudah cukup memadai, mudah difahami dan bersifat umum, jadi bisa digunakan dalam bermacam konteks.
Adapun kata terakhir yaitu keluarga, bisa diartikan sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa anggota lain yang berada dalam keadaan saling ketergantungan (pendapat Sugeng Iwan, dalam bukunya yang berjudul Pengasuhan Anak dalam Keluarga). Sehingga dengan mengintegrasikan makna-makna yang ada, maka manajemen keuangan keluarga bisa kemudian kita diartikan sebagai kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menjalankan dan mengendalikan penerimaan dan pengeluaran uang, yang dilakukan oleh kepala keluarga dalam unit terkecil yang dipimpinnya.
Saatnya mulai masuk bahasan utama tentang manajemen keuangan keluarga. Secara garis besar setiap subtopik kita akan kembangkan berdasarkan 2 (dua) pendekatan. Pertama, dengan pendekatan non teknis dan kedua, dengan pendekatan teknis. Membahas pendekatan non teknis kita akan lebih menekankan pada tataran perspektif, nilai, dan filosofi dari apa yang kita bahas. Sedangkan pada pendekatan teknis, porsi bahasannya akan lebih luas karena kita akan banyak bersinggungan dengan macam cara (uslub), pola/skema, alur, kertas kerja, instrumen, dan perangkat-perangkat sejenis yang berfungsi sebagai sebagai alat bantu saja. Untuk mengukur mana pilihan teknis terbaik, parameternya adalah sisi efektifitas dan efisiensinya.
Persoalan non teknis perlu didahulukan dibandingkan persoalan teknis dalam manajemen keuangan keluarga. Kenapa? Karena banyak hal nantinya ketika kita membahas persoalan keuangan keluarga justru menempatkan soal perspektif atau sudut pandang ini sebagai hal yang menentukan. Misalkan dalam menentukan sumber penerimaan, besaran anggaran belanja, atau jenis barang prioritas yang akan dibeli, semuanya perlu perspektif. Jadi sulit atau mudahnya persoalan, berat atau kecilnya masalah, penting atau remehnya urusan itu sangat ditentukan oleh perspektif apa yang digunakan. ketika dari awal seseorang sudah membangun perspektif bahwa pengelolaan keuangan itu ribet dan tidak penting, maka akhirnya memang bahasan-bahasan selanjutnya dalam tulisan ini juga menjadi tidak penting.
Ada 5 (lima) term yang penulis anggap paling penting dijernihkan perspektifnya ketika membahas tentang keuangan keluarga, yaitu kebahagiaan, kebutuhan, rezeki, sedekah, dan utang. Kelima term ini yang coba dibahas dalam rangka menemukan perspektif yang akan dikuatkan. Meski memang perlu disadari, perspektif itu akan selalu beragam. Perspektif dipengaruhi banyak hal, bisa dipengaruhi oleh aspek kelimuan, ideologi, sosial, ekonomi, budaya, agama, hukum, dan sebagainya. Sehingga memang tidak bisa terhindarkan lahirnya subyektifitas. Akan ada perspektif tertentu yang akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang orang yang memberikan perspektif. Makanya disampaikan dari awal, bahwa nantinya masalah yang dibahas lebih diarahkan berdasarkan perspektif ajaran Islam dan keilmuan penulis (ekonomi dan manajemen). Berikut pembahasannya :
KEBAHAGIAAN
Penting memiliki perspektif yang jernih tentang kebahagiaan sebelum merancang keuangan keluarga. Jika keliru maka akan berdampak buruk pada pola yang akan kita lakukan, mulai dari perencanaan sampai dengan pengendaliannya. Perencanaan kita akan lebih banyak didorong oleh obsesi dan dorongan hasrat memiliki. Langkah-langkah yang akan kita ambil tidak lagi mandiri, tapi justru lebih dikendalikan oleh hal-hal diluar diri kita. Kenapa? Karena kita telah membangun perspektif bahwa kebahagiaan itu sudah termonopoli. Kebahagiaan itu hanyalah milik orang kaya yang bergelimang harta. Kebahagiaan itu hanya ada ketika kita sudah bisa memiliki apapun yang kita inginkan. Kebahagiaan itu hanyalah bisa dirasakan ketika mampu membeli barang branded terkenal yang diproduksi secara limited edition. Bangunan perspektif seperti ini telah mengabaikan kenyataan bahwa kebahagiaan itu pada dasarnya bisa hadir pada banyak ruang, bisa didesain sendiri oleh masing-masing orang, dan tidak bertahta hanya pada satu keadaan saja.
Betul dengan harta melimpah orang memang bisa meraih kebahagiaan namun juga sangat mungkin dilanda risau berlebihan akibat hartanya. Banyak orang fakir akan berkata kebahagiaan itu ada pada kekayaan. Namun oleh kelompok lain seperti mereka yang sakit akan berkata kebahagiaan itu ada pada kesehatan. Pendosa berkata kebahagiaan itu ada pada pertobatan. Perindu berkata kebahagiaan itu ada pada pertemuan. Akhirnya cobalah bertanya kepada orang kaya yang sedang mules dan kebelet, apakah kebahagiaan itu ada dikamar kecil atau pada kendaraan mewah? Bisa diprediksi bahwa orang kaya tadi akan menemukan kebahagiaan itu tempatnya dikamar kecil, bukan dikendaraan mewahnya. Jadi kebahagiaan ternyata itu bukanlah barang langka. Kebahagiaan itu bisa dihadirkan sendiri dan tidak harus tergantung pada penilaian orang lain. Kebahagiaan itu dapat diproduksi secara massal sehingga persediaannya melimpah ruah dan bertebaran dimana-mana.
Jika kita sudah melihat dari perspektif seperti ini, maka keuangan keluarga yang kita kelola nantinya bisa mengalir sesuai dengan saluran yang kita rancang sendiri. Bukan dikendalikan oleh ambisi memiliki materi secara berlebihan dengan alasan ingin berbahagia dengannya. Kita tutup bahasan ini dengan merenungi perspektif Ibnu Khaldun yang berpendapat “bahagia itu ialah tunduk dan patuh mengikuti garis-garis yang ditentukan Allah dan kemanusiaan” atau dari ungkapan penuh jiwa dari seorang Imam Al-Ghazali yang mengatakan “bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana mengingat Allah”. Mari buang jauh-jauh perspektif yang bias tentang kebahagiaan jika anda ingin mengelola keuangan keluarga dengan lebih bijak.
*Bersambung....
Jernih Perspektif tentang KEBUTUHAN