PRINSIP PERENCANAAN KEUANGAN KELUARGA
Sebelumnya kita sudah membahas bangunan perspektif tentang kebahagiaan, kebutuhan, rezeki, sedekah, dan utang. Diharapkan kejernihan dalam memaknai perkara-perkara tersebut memberi pengaruh yang positif dalam manajemen keuangan keluarga yang kita rancang. Selanjutnya kita akan merumuskan prinsip-prinsip perencanaan keuangan keluarga. Meski mulai menyinggung tentang fungsi pertama dalam manajemen yaitu perencanaan (planning), tapi bahasan kita belum sepenuhnya bersifat teknis. Pendekatannya masih menggabungkan antara aspek teknis dan aspek non teknis.
Prinsip-prinsip ini nantinya menjadi asas (dasar) berpikir dan kaidah dalam mengambil keputusan keuangan. Tentang pentingnya perencanaan ini sendiri, bisa dihubungkan dengan racikan ala Stephen Covey ketika membahas tentang kebiasaan manusia efektif (7 Habits of Highly Effective People). Pada kebiasaan nomor dua dikatakan - Begin with the End in Mind - yang bisa diartikan mulai (sesuatu) dengan memikirkan akhirnya. Semangat ungkapan ini mirip dengan yang diinginkan dalam fungsi perencanaan. Ada pandangan (outlook) yang berdimensi masa datang. Jika dibawa ke konteks keuangan keluarga, perencanaan itu bisa memberikan arah, berfungsi sebagai navigasi, sekaligus alat kontrol terhadap setiap tindakan keuangan. Jadi misalkan diawal bulan kita menyusun perencanaan, maka disaat yang sama sudah ada proyeksi kondisi keuangan keluarga pada akhir bulan. Tentu perencanaan yang dibuat, didesain untuk menghasilkan posisi keuangan yang surplus diakhir periode, bukan minus atau defisit.
Ada 8 (delapan) prinsip perencanaan keuangan keluarga yang perlu menjadi pegangan sebuah keluarga :
1.BANGUN KOMUNIKASI YANG SINERGIS DENGAN PASANGAN
Meski merupakan unit kecil, keluarga bisa tetap dianggap sebagai sebuah organisasi. Perlu ada pemimpin, kepala, atau yang berperan sebagai manajer. Diluar itu ada yang menjalani peran sebagai anggota keluarga yang harus siap diatur dan diarahkan. Namun bukan berarti pembagian peran ini menghilangkan komunikasi yang sifatnya dua arah dan timbal balik. Misalkan seorang suami yang berperan sebagai kepala rumah tangga sekaligus ujung tombak penghasilan keluarga, tetap perlu membangun sinergitas terutama dengan istrinya yang mungkin punya peran lain sebagai pengatur kran pengeluaran. Pihak istri perlu mendapat informasi dari suami sejak awal menyangkut potensi dan besaran penghasilan yang dialokasikan untuk belanja. Dengan mengetahui itu maka istri diharapkan bisa mengukur kekuatan dan kemampuan belanja yang dimiliki keluarganya. Pihak suami juga perlu mendapat informasi dari istri menyangkut kebutuhan ril keluarga, baik yang bersifat rutin, insidental, atau yang jatuh tempo. Dengan mengetahui hal tersebut, maka sangat membantu suami untuk bergerak cepat dan mengambil langkah antisipasi jika ternyata cash out (kas keluar) bakal lebih besar dibanding cash in (kas masuk). Lebih ideal lagi kalau semua hal bisa dibahas bersama. Mulai dari sumber penghasilan, alokasi keuangan keluarga untuk kebutuhan harian, besaran tabungan, pilihan investasi, hingga rencana jangka panjang seperti membeli mobil maupun pendidikan anak. Jika masing-masing punya hobi berbeda yang perlu alokasi pendanaan khusus, maka perlu disepakati anggaran untuk masing-masing agar tidak menjadi sumber perselisihan .
Jadi keputusan keuangan apapun yang diambil sebaiknya dikomunikasikan dengan baik bersama pasangan. Komunikasi yang sinergis menjadi kunci utama agar semuanya dapat sejalan, selangkah, sevisi, dan semisi dalam pengelolaan keuangan, sehingga tujuan dan mimpi keluarga dapat tercapai. Komunikasi yang baik juga bisa menghilangkan sifat saling curiga. Sebaliknya akan terbangun sikap saling percaya yang sangat dibutuhkan untuk menjalankan perencanaan keuangan keluarga secara baik.
Bersambung...