part 6
Bismillah 

                 STAY WITH ME

#part_6

#by: R.D.Lestari.

Berulang kali ponselku bergetar. Dengan tangan gemetar aku meraihnya kembali.

Tanpa nama. Sudah beberapa kali aku diteror dengan nomor yang berbeda-beda. Namun, kali ini aku ingin mengangkatnya. Mana tau itu dari saudara atau bibiku yang masih hidup.

[Halo...]

[Halo, Sayang]

Tup!

Dadaku bergemuruh kencang. Dia ... dia Brian, Suamiku. Jelas kalau itu suaranya, serak dan tegas seperti biasanya.

Aku segera menutup telpon begitu mendengar suaranya. Membuang sim-card  kesembarang arah. Lalu menutup wajahku dengan bantal.

Tubuhku seketika gemetar. Bayangan dirinya yang selalu berlaku kasar membuat pikiranku kalut dan kepalaku menjadi pusing. 

Mengerikan! ia bak monster di dunia nyata. Membayangi hidupku dan membuat trauma yang begitu dalam.

Tok-tok-tok!

Dadaku naik turun, sulit bernapas saat kudengar ketukan pintu di ruang tamu. Apa itu dia? dia berhasil menemukanku?

"Si... siapa?" ucapku dengan suara gemetar.

Tak ada sahutan. Ketakutan semakin merajai tubuhku yang seketika itu juga melemah dan keringat jatuh bercucuran.

Tok-tok-tok!

Lagi, suara ketukan itu terdengar lagi. Aku semakin kalut dan menutup wajahku kembali dengan bantal. Tamatlah riwayatku, itu pasti Brian!

Kriettt!

Tap-tap-tap!

Terdengar suara pintu berderit tanda ada orang masuk ke dalam rumah yang memang tak ku kunci.

Darahku menggelegak saat ada langkah kaki bersahutan mendekatiku. Aku pasrah. Melawanpun rasanya amat susah di saat seperti ini.

"Mbak San? Mbak San kenapa?"

'Suara itu... astaga! itu suara Bang Jef!' batinku saat mendengar suara khas dari lelaki berkulit tan yang selama beberapa hari ini menemani hariku.

Sratt!

Aku segera membuka selimut yang sedari tadi menutupi wajah dan tubuhku. Bernapas lega karena yang ada dihadapanku bukan Brian, melainkan Bang Jef.

"Mbak San kenapa? wajah Mbak San teramat pucat. Apa masih demam?" Bang Jef nampaknya sangat khawatir dengan keadaanku. Ia hampir saja mengulurkan tangannya ketika tiba-tiba seorang gadis kecil menarik ujung bajunya. Bang Jef sempat tersentak dan menarik kembali tangannya.

"Oh, iya. Ini Fika. Anak saya," Bang Jef menarik pelan gadis kecil yang tadi sembunyi di balik badannya.

Gadis kecil berbulu mata lentik itu malu-malu menunjukkan wajah cabtiknya. Rambutnya yang terkepang rapi  bergoyang ketika ia melangkah ke arahku.

Aku mengulas senyum paling manis yang kupunya.  Harus kuakui aku begitu merindu punya seorang anak perempuan seperti ini. Jika aku tak keguguran dulu, mungkin anakku seumur dengan gadis kecil ini.

"Hai, Sayang. Perkenalkan aku tante Lau ... eh, Tante Santi," sapaku seramah mungkin.

"Aku Fika," lirih suaranya membuatku semakin gemas.

"Fika mau coklat? kebetulan tante punya permen dan juga coklat," aku menarik laci nakas di sampingku. Merogoh isi dalamnya dan meraih coklat berbungkus emas dan beberapa permen yang memang kusimpan karena aku penggemar coklat.

Wajah gadis kecil itu seketika bersinar, sumringah melihat coklat dan permen di tanganku.  Ia sempat melirik ke arah Bang Jef meminta persetujuan, dan anggukan pelan dari ayahnya membuatnya sontak mendekat tanpa rasa ragu seperti sebelumnya.

Ia meraih coklat yang kusodorkan malu-malu. Seulas senyum manis ia lemparkan padaku. Serasa ada getaran yang merasuki tubuhku menatap senyum indahnya itu.

"Terima kasih, Tante," ucapnya pelan. Aku mengangguk mendengarnya.

"Sama-sama, cantik," lirihku. Untuk sepersekian detik aku terdiam. Memandangi gadis manis bermanik coklat itu dengan tatapan sayang. 

"Mbak San? kok melamun?" suara Bang Jef membuyarkan lamunanku. Seketika itu pula aku menolehnya dengan gelagapan.

"Eh, maaf, Bang,"

"Ada yang dipikirkan, Mbak San? apa Mbak San kangen seseorang?" cecar Bang Jef.

Aku menghela napas dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Apakah aku harus jujur padanya? 

"Mbak San?"

"Ya, Bang. Aku teringat akan putri kecilku yang belum sempat terlahir ke dunia. Jika ia hidup, mungkin seumuran dengan Fika," aku membuang pandanganku keluar jendela. Mataku mulai berembun jika mengingat kejadian tragis bersama Brian, termasuk saat kehilangan bayi yang belum sempat aku lahirkan.

"Mbak sudah bersuami dan memiliki anak?"

Degh!

Ucapan Bang Jef hampir saja membuat jantungku berhenti berpacu. Bagaimana jika ia tau statusku dan tak mau menolongku lagi? di tempat ini hanya dia yang mau membantuku dan bisa kupercaya penuh.

"Aku janda. Pernah keguguran saat bayi dalam kandunganku masuk bulan kelima," bohongku.

Bang Jef nampak sedikit terkejut dengan penuturanku.

"Oh, iya, Bang. Aku bikinkan teh dulu," aku bergeser dari tempat tidur dan menjenjakkan kakiku perlahan di lantai kayu yang terasa sedikit lembab karena hujan semalam.

"Apa sudah mendingan, Mbak? kalau belum biar saya yang buatkan," sergah Bang Jef saat melihatku sedikit meringis. Jujur masih terasa sakit dan berdenyut, tapi aku tak mungkin terus bermalasan dan bergantung pada orang lain terus menerus.

"Ya, Bang. Tunggu saja di sini," aku melempar senyum padanya. Ia pun balas tersenyum hingga membuat pipiku bersemu merah.

'Ya... Tuhan. Jangan biarkan hati ini berbunga-bunga karenanya. Aku masih berstatus istri orang walau hidupku bersamanya penuh derita dan siksa,' batinku saat kaki ini melangkah pelan menjauhinya.

Kling-kling-kling!

Bunyi sendok beradu dengan gelas kaca bak musik alam yang menemani kesendirianku di dapur. Tatapan matamu lurus ke arah hutan di belakang rumah yang nampak asri, tapi menyimpan banyak misteri.

Bayangan Brian menari-nari dalam pikiran. Begitupun Bang Jef. Sikapnya yang berbanding terbalik dengan suamiku menimbulkan rasa simpatik dan penasaran yang menggebu.

"Hmmh, seandainya saja Brian bisa lebih manis dan menghargai diriku. Pastinya aku tak akan tersiksa dan pergi darinya," lirihku.

"Brian? apa dia pacarmu?"

"Astaga!" aku tersentak saat mendengar suara Bang Jef begitu dekat denganku. Aku berbalik dan menatapnya yang kini sedang bersandar di ambang pintu dengan kedua tangan terlipat didada.

"Bang Jef? oh, bukan. Tentu saja bukan," tepisku. Ia hanya tersenyum simpul.

"He-he, aku hanya bercanda, ke sini hanya mau membantu. Pasti masih sakit, 'kan? tadi kulihat masih terpincang,"

Bang Jef mendekat. Saking dekatnya,  bisa kurasakan deru nafasnya yang memburu, wangi tubuh maskulinnya yang menggetarkan setiap siku tubuhku. Ingin rasanya lunglai dan ambruk diantara belahan dada bidangnya. 

Berada di dekatnya, tubuhku merasakan magnet yang sangat mengikat. Ingin selalu dekat.

Manik coklatku tak henti memperhatikan gerak-geriknya yang jantan dan sangat menghargai perempuan. Tangannya yang kekar dan berbulu cukup lebat meraih nampan berisi tiga gelas air teh yang ada di hadapanku hingga jarak kami menjadi amat dekat.

"Ayo, kita ke depan," ajaknya sembari mengangkat nampan dan mengalihkan pandangannya ke arahku. Ia sedikit merunduk dan wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. Bang Jef kemudian....


Komentar

Login untuk melihat komentar!