Mencintai lelaki yang teramat punya obsesi pada dirimu, pasti tak akan membuatmu bahagia. Cinta itu rasa, rasa saling menyayangi dan mengasihi.
Sayangnya, itu tak kudapatkan dari lelaki yang kupanggil suami. Ia dingin dan ringan tangan padaku. Selalu berpikiran buruk dan punya prilaku buruk juga.
Awalnya aku sangat mencintainya, dia yang kusebut suami saat ia mengucap ijab kabul itu, datang kepadaku saat diriku baru saja putus cinta.
Saat itu ia amat manis dan bertutur lembut hingga menggetarkan hati. Ia pun punya paras yang cukup tampan. Rahang tegas dan sorot mata yang tajam.
Pertemuan yang mengesankan dan perkenalan yang terbilang cepat membawaku pada pernikahan kelam dan menyiksaku seumur hidup.
Ia menyiksaku setiap waktu, sedikit saja kesalahan yang kuperbuat, tamparan dan pukulan selalu jadi hukumanku.
Aku tak pernah keluar rumah ataupun bersosialisasi dengan tetangga karena wajahku yang selalu lebam dan memar.
Tak jarang pelipis pun terluka dan leher berbekas karena cekikan. Dan, aku masih bertahan?
Ya, aku masih bertahan karena aku hidup seorang diri, kedua orang tuaku tewas dalam kecelakaan pesawat saat usiaku masih belia. Untuk bertahan hidup aku membiayai diriku seorang diri dengan bekerja. Menjadi pelayan restoran dan bekerja paruh waktu sudah jadi rutinitas hari-hariku.
Aku ingin pergi, aku ingin bebas, tapi aku tak punya tujuan, tak punya rumah. Aku hanya sendiri dan bergantung pada lelaki kejam yang tak punya hati nurani.
"Huffft," aku menghela nafas dalam dan membuangnya perlahan.
Hari ini aku membuat cake keju kesukaan suamiku, tak sengaja aku memasukkan banyak gula hingga terasa amat manis. Ia tak menyukai cake yang terlalu manis. Aku yakin begitu ia memakannya, ia pasti marah dan sebuah tamparan akan melayang di wajahku ini, sedangkan bekas tamparan kemarin masih membekas di pipi kiri.
Aku menyentuh memar dan meringis kesakitan. Cake kuletakkan di atas meja dan setelah mematikan oven aku melangkah keluar rumah dari pintu belakang. Menikmati udara dan terpaan sinar matahari yang menghangatkan. Sedikit takut, karena jika Brian, suamiku mengetahuinya, ia pasti marah.
"Udara yang segar, 'kan?"
Aku tersentak dengan jantung yang nyaris berhenti berdetak. Suara seorang wanita jelas terdengar di telingaku. Aku mencari asal suara, benar saja, seorang wanita muda membawa anak kecil berusia sekitar dua tahun tersenyum manis ke arahku.
"Ha--hai, ya, udaranya segar," aku menyungging senyum terpaksa, ya, aku sudah teramat lama tak tersenyum. Aku hanya terbiasa dengan tangisan dan luka, hingga aku lupa rasanya tersenyum dan bahagia.
"Kenapa pipi Kakak?" ia menatap heran ke arah pipi kiriku yang memar.
"A--aku...," aku berusaha menutupi pipiku dengan rambut panjangku.
"Ah, kamu tinggal di mana? aku tak pernah melihat dirimu," aku berusaha mengalihkan perhatiannya pada memar di wajahku.
"Aku tinggal beberapa rumah dari sini, Kak. Jika Kakak ada waktu, mampirlah. Aku belum banyak teman di sini, rumahku yang cat kuning nomor lima, Kak," ia menjawab dengan senyum sumringah.
"Aku ...,"
Brummm!
Belum sempat menjawab, kudengar suara mobil menderu di depan pagar.
"A-- aku permisi dulu, sepertinya aku belum mematikan oven," sahutku cepat sembari berlarian masuk ke dalam rumah.
"Kak, namamu siapa? aku Indah," teriaknya.
Aku menghentikan langkah lalu menoleh padanya, sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam rumah.
"Aku Laura,"
***
"Hai, Sayang. Siapa tadi yang berbicara padamu di luar sana?" Brian mengelus luka memarku.
"Oh, tetangga baru. Ia tak sengaja lewat saat aku menjemur pakaian," ucapku berbohong dengan suara bergetar menahan takut.
"I--ini, cake keju kesukaanmu,"aku berusaha mengendalikan diriku dan membuang rasa takut saat menyerahkan cake kesukaannya itu.
"Oh, ya. Aku lupa. Aku punya sesuatu untukmu," ia menyerahkan sebuah kotak merah berbentuk hati.
Aku tersenyum kecut. Apapun yang ia beri, tak satupun yang berarti untukku. Aku hanya ingin cinta dan kasih sayang yang tulus. Aku ingin bebas dan menikmati udara sepuasnya. Aku tak ingin diperlakukan seperti hewan. Di bentak, dihina dan disiksa.
Dengan tangan gemetar aku membuka kotak merah yang ternyata berisi kalung emas dengan bandul berbentuk hati yang dihiasi permata putih. Aku berusaha tersenyum walaupun amat terpaksa.
"Te--terima kasih, Sayang,"
"Apa mau kupakaikan?" tawarnya. Aku hanya mengangguk pelan.
Brian mendekat dan menyibak rambut indahku, ia memasangkan kalung emas itu dan tak lupa ia mengecup leherku.
Untuk sepesekian detik aku merasa amat bahagia dan seperti di cintai.
"Selamat hari pernikahan, Sayang. Ku harap kita akan selalu bersama, selamanya. Aku mencintaimu," bisiknya ditelingaku.
Aku menelan saliva susah payah. Aku ingin jika sikapnya manis seperti ini. Namun, jika jiwa tempramennya muncul, aku bisa mat* perlahan dalam kungkungan cintanya.
Brian memotong cake yang kubuat untuknya. Sewaktu potongan kecil itu masuk ke dalam mulutnya, wajah manisnya berubah menjadi sangar. Aku mencengkeram bajuku, karena kutahu kejadian berikutnya pasti amat menyakitkan untukku.
Brakkk!
Ia menghentak meja dengan sekuat tenaga. Membuat jantungku terasa rontok saat itu juga.
"Apa-apaan ini? bukankah kau tau aku suka cake keju yang tak terlampau manis?" sentaknya. Sorot matanya tajam.
"A--aku tak sengaja menuang banyak gula, maafkan aku," aku mendekat dengan kaki gemetar.
"Dasar bod*h!"
Plak!
Satu tamparan keras melesat ke wajahku. Aku sudah tak tahan diperlakukan kasar dan tidak berprikemanusiaan seperti ini terus menerus.
Amarahku meledak. Dan entah keberanian dari mana, aku menatap nyalang ke arahnya .
"Sampai kapan kau akan memperlakukanku seperti ini? tak adakah sedikit belas kasih di hatimu?" sembari menahan sakit aku berupaya untuk meminta keadilanku.
"Dasar wanita jal*ng! kau pikir siapa dirimu, hah? kalau tak jadi istriku , kau pasti sudah tidur di jalanan!" Ia membingkai senyum mengejek diwajahnya.
Darahku rasa mendidih mendengar ucapannya yang amat sangat menusuk hati. Aku mengepal tanganku. Kali ini aku akan menjaga harga diriku, aku tak mau selamanya terinjak-injak dengan perkataannya.
"Kalau begitu, ceraikan saja aku!"
"Apa? cerai?"
Brakkk!
Brian kembali menggebrak meja dan berjalan ke arahku. Aku berusaha berdiri setenang mungkin untuk membuktikan padanya jika aku tak takut dengan semua ancamannya.
Satt!
Brukkk!
Secepat kilat ia mencengkeram leherku kuat hingga aku kesulitan bernapas dan menghempaskan tubuhku di lantai.
Bugh!
Tak puas dengan melihatku yang sudah kepayahan, ia kembali menendang perutku tanpa belas kasihan.
"Jal*ng sialan!" makinya.
"Aughh, hentikan," rintihku pelan.
Satt!
Kembali ia mencengkeram rambutku hingga mengarahkan wajahku untuk menatap ke arahnya.
Ia membiarkan aku meringis kesakitan dan ia hanya terbahak melihat keadaanku yang memprihatinkan. Dasar sakit jiwa!
"Aku tak akan melepaskan dirimu. Aku mencintaimu dan kau akan selalu ada di sini, bersamaku,"
Ia melepaskan cengkeraman tangannya dan berdiri, berbalik dan aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Susah payah aku berdiri, dan ....
****