Bismillah
STAY WITH ME
#Part_3
#by: R.D.Lestari.
"Ini, Mbak Santi, rumahnya," Lisa menunjukkan sebuah rumah yang letaknya cukup terpencil dan masih amat asri. Masih banyak pepohonan pinus dan beberapa pepohonan buah-buahan.
Jarak antara rumah satu dan rumah lainnya cukup berjauhan. Rumah yang di tawarkan termasuk paling ujung dan sedikit terisolir. Amat cocok untukku yang ingin bersembunyi.
Bersama Oomnya Lisa, aku di ajak berkeliling melihat keadaan rumah . Aku menaiki undakan kayu untuk bisa masuk, ya, rumah termasuk panggung yang tidak terlalu tinggi, menghindara binatang kecil seperti kalajengking dan ular yang masih sering berkeliaran.
Ya, aku setuju. Walaupun kurasa lantai nya sedikit rapuh, aku tetap mengambil rumah yang mulai dimakan rayap di beberapa sisinya.
Tanpa menunggu waktu lama untuk berpikir, saat itu juga aku menyewa rumah tua itu untuk ku tempati.
"Tak usah membayar, Nona. Anda hanya perlu merawat rumah ini saja sebagai bayarannya," lelaki matang itu tersenyum penuh makna padaku.
Seketika itu pula senyum terkembang di bibirku. "Benarkah?" sahutku. Ia kembali mengangguk .
"Alhamdulillah," aku mengucap syukur saat itu juga. Lisa pun turut tersenyum mendengar ucapanku.
"Aku akan membeli kasur, seprei, bantal dan beberapa perabotan rumah, di mana aku bisa membelinya?" tanyaku.
"Aku tau, Mbak. Ayo,ikut aku," tawar Lisa penuh semangat.
Aku segera melangkah mendekati Lisa dengan senyum yang merekah. "Ayo," dan kami pun berjalan beriringan menuju toko yang Lisa maksud.
Ternyata toko itu letaknya tak jauh dari warung tempatku singgah tadi, hanya berjalan beberapa meter saja sudah sampai.
Yang lebih menakjubkan, toko itu ternyata lengkap. Bukan hanya bahan makanan, semua perlengkapan rumah tangga semua dijual di sana.
Aku berjalan mengelilingi toko yang mirip minimarket itu. Perlahan mengamati satu persatu barang dan menimang mana yang akan ku beli dan berguna untuk diriku selama masa pelarian. Menariknya lagi, perabotan pun ada di sana.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"
Suara serak dan basah khas lelaki dewasa terdengar amat merdu di telinga.
Bught!
Aku tersentak dan tanpa sadar mundur kebelakang dan menabrak tubuh seseorang, karena aku masih sedikit pusing, tubuh ku sedikit limbung dan hampir saja terjatuh.
Beruntung tangan kekar seseorang menangkapku dengan sigap dan membantuku berdiri seimbang.
"Ma... maaf, saya tidak sengaja," ucapku saat berdiri menghadap seseorang, tapi wajahku merunduk karena takut orang lain mengenaliku. Mana tau ada tetangga atau orang lain yang mengenaliku.
"Ya, tidak apa-apa, Mbak. Ada yang bisa saya bantu? Mbak mencari apa?" suara indah itu lagi-lagi membuat tubuhku bergetar.
"Sa...saya mau mencari...," mataku terpana saat melihat seorang lelaki manis dengan rahang yang tegas tersenyum ke arahku. Entah kenapa, detik berikutnya kekaguman itu berubah jadi trauma. Wajah Brian tiba-tiba hadir dan membuat tubuhku merinding.
"Saya butuh kasur, sapu, beberapa piring, gelas dan sendok, serta kompor juga beberapa alat masak lainnya," aku memalingkan wajahku dan berjalan menjauh. Lelaki itu sepertinya mengerti kegelisahanku.
Ia dengan sigap mencari barang-barang yang kupinta. Sedangkan aku mencari bantal, guling dan seprei juga horden sederhana. Bahan makanan pun tak luput dari incaranku. Uang lima juta kukira cukup untuk memenuhi semua kebutuhanku menjelang kujual kalung dan mencari pekerjaan di sekitar.
"Mbak, semua sudah saya taruh di sana. Ini mau saya bawakan sekalian?" lelaki berkulit tan itu kembali menawarkan bantuan.
"Ah, ga usah, Bang. Saya bisa sendiri," tolakku.
Ia kemudian berjalan kebagian kasir dan aku mengekor di belakangnya.
Ia menghitung satu persatu barang-barang yang ku beli. Sedangkan netraku sedari tadi berkeliling memperhatikan suasana toko yang amat sepi.
"Tiga juta sekian-sekian," ucapnya yang membuatku tersentak.
"Oh, iya. Ini," aku mengeluarkan sejumlah uang yang disebutkan. Sembari menunggu kembalian, aku memberanikan diri bertanya padanya.
"Apa di sini tak ada karyawan? sepi sekali,"
"Oh, iya. Di sini cuma ada saya dan orang tua saya. Kebetulan mereka sedang memancing," sahutnya ramah.
"Mbak orang baru di sini, ya?" selidiknya.
"Iya, Bang. Baru kemarin tiba. Di sini ada toko perhiasan? saya mau jual ini," aku memperlihatkan kalung dengan bandul hati padanya. Ia nampak terkejut.
"Ini kelihatannya amat mahal dan toko perhiasan agak jauh dari sini, Mbak," jelasnya.
"Umh, apa di sini ada ojek atau semacamnya? saya mau jual perhiasan ini untuk biaya,"
"Saya bisa antarkan. Sekarang biar saya bawa dulu semua barang-barang Mbak ini, dengan Mbak siapa?"
"Saya Lau... eh, Santi," jawabku.
"Oh, iya. Ayo, Mbak. Sekalian saja naik ke mobil saya," tawarnya sembari mengangkat satu persatu barang ke mobil pick up. Aku pun menurut. Untuk apa menolak?
Walau agak gemetar aku paksakan naik ke mobil pick upnya. Lelaki yang ku taksir seumuran Brian ini nampak biasa dan tak banyak bicara.
Namun, ketika aku menunjukkan tempat tinggal sementaraku, ia sedikit terkejut dan mengernyitkan dahinya.
"Kenapa?" ujarku saat melihat ekspresi wajahnya yang tampak terheran-heran.
"Tinggal di sini?"
"Ya, kenapa?"
"Apa tak takut? di sini dekat dengan hutan," jawabnya.
"Takut? aku malah lebih takut jika tinggal bersama lelaki psikopat dan sakit jiwa seperti Brian," gerutuku dalam hati.
" Ah, biasa saja. Aku suka dengan suasana alam," jawabku asal.
Lelaki yang belum ku ketahui namanya itu beranjak turun dari mobil dan mengangkat satu persatu barang yang tadi ku beli. Saat ia mengangkat barang-barang secara bersamaan, otot kekarnya menyembul dari baju kaosnya yang terangkat. Amat macho dan maskulin.
Aku membuka pintu rumah dan mempersilahkan dia memasukkan semua barang ke dalam rumah.
"Sebaiknya besok saja saya antar. Hari sudah mendekati senja,"
Aku mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih padanya.
"Em, Bang. Siapa namanya?" tanyaku takut-takut.
"Jef, Jefri," ucapnya sembari melenggang naik kembali mobilnya.
Aku berbalik dan masuk ke dalam rumah berbarengan dengan mobil yang menderu meninggalkan pekarangan rumah.
Sepi. Kembali sepi dan sunyi. Jef benar. Tempat ini terlalu terisolir. Mencekam.
Namun, bagiku lebih baik tinggal di tempat ini dan melupakan bayang-bayang Brian. Amat menyesakkan jika mengingat kejadian-kejadian yang menimpaku beberapa tahun ini selama menikah dengannya.
Gara-gara perbuatannya itu, aku harus merasakan sakit yang teramat karena tendangannya yang tepat mengenai perutku saat aku hamil empat bulan. Alhasil aku keguguran dan harus merelakan bayi dalam perutku pergi untuk selamanya, sebelum bertemu dengan aku, ibunya.
Mengingat hal itu, air mataku selalu jatuh. Apa salahku hingga punya suami yang begitu kejam dan memperlakukanku seperti hewan boneka?
"Huffft," aku membuang nafas kasar. Hari sudah mulai malam. Suasana malam ternyata tak semenakutkan seperti bayanganku.
Tak puas memandang hanya dari jendela, aku melangkah keluar dan menatap langit malam bertabur bintang dan rembulan. Amat indah walaupun terasa sepi dan di belai kesunyian, tapi terasa damai.
Saat kakiku menjejaki lantai kayu, tiba-tiba ..