part 7
Bismillah 

                   STAY WITH ME

#Part_7

#by: R.D.Lestari.

"Ayo, kita ke depan," ajaknya sembari mengangkat nampan dan mengalihkan pandangannya ke arahku. Ia sedikit merunduk dan wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. Bang Jef kemudian menarik tubuhnya dan memberi jarak diantara kami.

Entah apa maksud Bang Jeff padaku. Yang aku tau saat ini dadaku bergemuruh kencang.

"Hufffttt," berulangkali ku hembuskan nafas untuk menetralkan rasa gugup dan resah yang sejak tadi menghinggapi diriku. 

Sesekali Bang Jeff melirik ke arahku dengan senyum yang sulit diartikan membuatku salah tingkah.

"Papa," gadis kecil itu begitu riang kala melihat kami mendekat ke arahnya.

Bang Jeff dengan cinta meraih Fika yang berlarian ke arah kami. Seolah rindu karena ditinggal lama orang yang di kasihi.

Sembari menyeruput teh yang aku buat tadi, kami mengobrol di balkon belakang dan menikmati pemandangan hutan yang terasa asri dan begitu nyaman diantara celotehan kecil Fika juga tawa hangat Bang Jeff.

Angin semilir diantara gemerisik daun parah dan jati juga pohon-pohon hutan lain, memberi kesan sejuk dan seluas mata memandang hijau, memanjakan indra penglihatan.

Sesekali Bang Jeff mengangkat Fika dalam gendongannya dan menunjuk serangga yang beterbangan. Ada kupu-kupu, belalang dan juga capung.

Rasanya hatiku begitu tenang dan nyaman, berada diantara Bang Jeff dan juga Fika. Dua orang baru yang bisa membuatku tersenyum dan melupakan trauma yang menghantui selama bertahun-tahun.

"Tante, mau ikut besok? kami akan berkemah bersama Papa dan juga Kakak," ajaknya.

Bang Jeff nampak terkejut dan melirik ke arahku.

"Pa, boleh kan tante Santi ikut," mohonnya sambil menarik ujung baju papanya.

"Ya, semua terserah Tante Santi. Kalau Tante mau, Papa tentu ijinkan," 

"Bagaimana, Mbak Santi? apa mau ikut bersama kami?"

Bang Jeff mengulas senyum manis dan sepertinya ia sangat berharap aku ikut dengannya. 

Aku mengangguk dan terlihat bias kebahagiaan diwajah gadis kecil berlesung pipit itu begitu aku mengucap kata setuju.

Bang Jeff dan juga Fika akhirnya berpamitan. Rasanya berat melepas mereka pergi. Ingin berlama-lama bersama mereka. Seketika rumah sepi dan hatiku kembali di cekam rasa takut juga was-was. Takut jika Brian berhasil menemukan keberadaanku saat ini.

***

Hari yang dijanjikan tiba. Beruntung kakiku sudah membaik dan bisa ikut pergi bersama Bang Jeff dan kedua anaknya. Anak sulungnya terlihat enggan berdekatan denganku. 

Tak apa. Mungkin ia belum terbiasa dengan adanya orang baru. Aku sekuat mungkin menepiskan perasaan gusar dalam hatiku.

"Oh, iya Mbak Santi, saya lupa menyerahkan ini," 

Bang Jeff menyodorkan amplop putih tebal padaku. Aku menatapnya heran. Apa ini?

"Itu hasil penjualan kalung punya Mbak Santi. Di dalam juga ada kwitansinya, jadi Mbak Santi ga perlu takut saya menyalip uangnya," ucap Bang Jeff.

Tanganku sedikit bergetar saat membuka amplopnya. Astaga! begitu banyak uang merah yang di dalamnya. Kuambil kwitansi dan membaca tulisannya.

Lima belas juta lebih. Nilai yang fantastis untuk sebuah kalung dengan bandul bentuk hati. Ya, aku tak heran. Brian memang orang kaya, tapi selama ini ia tak pernah memberiku uang. 

Ia mencukupi semua kebutuhanku. Ia takut saat aku mempunyai uang bisa dengan mudah pergi darinya. Aku selalu terkurung. Tak pernah keluar rumah dan bersosialisasi dengan warga sekitar. 

Untuk beberapa saat aku terdiam. Yang ini memang banyak, tapi aku harus tetap bekerja untuk menghidupi diriku sendiri kedepannya.

Aku tak akan pernah mau kembali pada lelaki kasar dan suka menyiksa seperti Brian. Jangankan kenyataan, memikirkannya saja aku sudah tak bisa.

" Kenapa, Mbak Santi? kok murung. Seharusnya Mbak Santi senang kalungnya terjual dengan harga tinggi," ujarnya .

"Hmmh, uang ini paling hanya cukup untuk lima bulan kedepan. Sedangkan untuk bertahan hidup aku perlu bekerja,"

"Tapi, aku rasa di sini cukup susah mencari kerja," lirihku.

"Ya, jalan lintas seperti ini memang sulit kerja selain berkebun. Apa mau kerja di tempat saya? tapi, ya gajinya kecil," ia mengulas senyum ramah.

"Ya, saya mau, Bang. Biar kecil yang penting cukup untuk makan saja," senyum terkembang di bibir tipisku. Merasa dapat durian runtuh. Tawarannya ini sangar berarti bagiku.

Ckiittt!

Mobil kijang berwarna hitam yang dikendarai Bang Jeff menepi dan berhenti di padang rumput hijau yang amat asri.

Padang rumput dengan bunga kecil menjalar, kecil-kecil namun sangat indah di mata. Barisan bukit-bukit dan pepohonan cemara di seberang aliran air sungai jernih yang dangkal dengan bebatuan berbagai ukuran.

Pemandangan indah dan menyejukkan mata. Seumur hidup baru kali ini aku mendapati suasana seindah ini. 

Berulang kali aku berdecak kagum sembari menyisir sekitar. Sedangkan Bang Jeff dan anak-anaknya bergotong royong mendirikan tenda.

Ingin rasanya membantu, tapi aku segan karena sedari tadi anak sulung Bang Jeff menatapku dengan wajah tak suka.

"Tante, sini!" panggil Fika seraya melambaikan tangannya. Aku mengangguk dan berjalan dengan ragu ke arahnya. 

Gadis kecil itu berlari ke arahku dan menarik tanganku. Sembari berlari kecil aku mengikuti langkahnya.

Bught!

Karena pandanganku fokus ke bawah, tak sengaja aku menabrak tubuh Bang Jeff yang ternyata berdiri di depanku.
Tubuhku limbung, dan ...

"Upss," Bang Jeff spontan menarik tanganku dan menarikku hingga tubuhku mendarat di tubuh kekar berototnya.

Jarak kami yang begitu dekat dan pandangan mata yang saling bertautan membuat debar jantung yang tak beraturan.

Nafasku terengah. Untuk beberapa saat kami saling bersitatap. Wangi tubuhnya yang maskulin membuat pikiranku melayang.

"Ehem! Papa...!" suara anak sulung Bang Jeff menyadarkan kami. Sesegera mungkin kami mengurai pelukan dan memberi jarak. Bang Jeff tampak salah tingkah begitupun aku.

"Oh, iya Papa mau mancing dulu, kau ikut Papa, Reihan. Adik sama Tante Santi silahkan bereskan tenda,"

"Tenda pink untuk Tante Santi dan adek, tenda biru untuk Papa dan Kak Reihan," titah Bang Jeff.

Aku mengangguk dan menuruti perintah Bang Jeff, masuk ke dalam tenda dan membersihkan tenda bagian dalam.

Begitu bersemangat diselingi canda tawa bersama Fika. Rasanya begitu menyenangkan, berasa bersama anak sendiri.

Sesekali Fika menggelayut di lenganku. Aku dengan lembut membelai rambut hitam sebahunya yang halus. Bocah kecil itu menatapku sendu. Bola matanya yang bulat menyiratkan rasa rindu yang tak tertahankan.

"Tante, bolehkah Fika meminta sesuatu?" lirihnya.

Aku mengangguk pelan seolah mengiyakan pintanya. Wajah mendungnya mendadak cerah ceria.

"Tante, Fika ngantuk. Fika bawa buku dongeng, maukah Tante bacain untuk Fika?" 

"Ya, tentu saja, Sayang. Sini, Fika rebahan di sini. Tante bacain ya," 

Fika mendekat dan berbaring di sampingku. Kepalanya bersandar di pahaku. Aku mulai bercerita, dan bocah itu ...


Komentar

Login untuk melihat komentar!