Menjadi pusat kemarahan Hasna

MEMBALAS IPR TIDAK TAU DIRI (5)


***


"Ini semua gara-gara kamu! Dasar wanita mandul! Kamu sengaja mau buat rumah tanggaku hancur, hah?!" 

Hasna menyerang ku dengan kata-kata laknatnya.

"Kenapa kamu benci banget sama mbak sih, Has? Kita nggak ada niat buat ngerebut ibu dari kamu. Kasihanilah ibu, biarkan dia istirahat dimasa tuanya," ucapku pelan.

"Emang susah ngomong sama wanita yang ngga bisa punya anak kayak kamu. Kamu nggak tau sibuknya aku di luar. Mana sempat ngurusin anak kalau bukan ibu yang ngurusin! Lagian kenapa kamu ikut campur. Itu ibuku bukan ibumu!" 

"Sejak aku memutuskan untuk menikah dengan kakakmu, maka, ibumu juga sudah menjadi ibuku, Has!"

"Kamu memang kurang ajar. Aku nggak bisa maafin kamu kalau sampai ada apa-apa sama hubungan rumah tanggaku!"

Hasna menyerangku dengan kukunya yang tajam. Beruntungnya mas Rian sigap melindungiku.

Anton langsung saja spontan menarik tubuh Hasna menjauh dari kami. Tatapannya tajam. Hasna bahkan sampai menunduk dibuatnya.

"Ternyata ini kelakuan asli kamu Has, aku nggak nyangka sudah hidup dengan perempuan yang tidak berhati seperti kamu," ucap Anton dingin.

"Mas, enggak mas! Dia yang buat aku jadi kayak gini. Tolong lah ngertiin aku. Aku juga butuh nongkrong. Butuh senang-senang. Jadi sudah kewajiban ibu membantuku mengurus anak-anak." 

Gila!

Kewajiban ibu mengurus anak-anaknya?

Pikiran macam apa itu. Aku memang belum punya anak, tapi suamiku punya gaji. Lebih baik menggaji orang lain untuk membantu mengasuh daripada harus menyusahkan ibu yang sudah renta. Jika memang ibu bersedia, seharusnya kita sebagai anak bisa sadar diri. Kewajiban kita sebagai seorang ibu memang menjadi madrasah pertama untuk anak-anak kita. Bukan malah sibuk nongkrong nggak jelas.

"Kurang ajar kamu, Has!" Kini suamiku mulai berbicara setelah terlalu lama diam.

"Apa yang ada diotakmu? Itu ibumu Has, ibu kandungmu! Kamu lebih sayang uangmu daripada kesejahteraan ibumu sendiri?"

"Iyalah, mas! Aku ini wanita, butuh perawatan, butuh senang-senang. Emang kayak istrimu, udik dan nggak bisa punya anak." 

"Cukup Hasna!" Anton kembali berteriak.

"Masuk kedalam kamarmu. Aku ingin berbicara dengan Mas Rian." 

Hasna menghentak-hentakkan kakinya. Menatap tajam kearahku sebelum akhirnya berbalik menuju kamarnya.

Ya Allah.
Cobaan macam apa ini?
Apa aku salah begitu menyayangi ibu mertuaku sendiri? 

Kenapa Hasna berpikir aku akan merebut ibu darinya?

Atau dia hanya beralibi saja agar kami tidak jadi mengambil ibu dari sini, karena dia pasti kesulitan untuk kongkow bersama geng sosialitanya? Belum lagi, dia pasti kehilangan uang cuma-cuma dari Mas Rian kalau Ibu tinggal bersama kami.


Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran kamu, Hasna?

"Kami tetap mau membawa ibu tinggal di rumah, Ton. Bagaimanapun, aku nggak terima Hasna sudah berbuat seenaknya sama ibu," tutur Mas Rian tegas. 

"Jika keputusan Mas Rian sudah bulat. Apa boleh buat. Mas Rian juga punya hak atas hidup ibu. Untuk kesalahan Hasna, saya minta maaf, Mas. Insyaallah saya akan mendidik Hasna lagi agar bisa berubah." 

"Mas juga nggak nyangka Hasna bisa begitu kejam sama ibu, Ton. Kalau saja mbak mu tadi nggak kesini, kita juga nggak bakal tau kalau ibu lagi sakit. "

"Ibu sakit mas? Sakit apa? Jadi ibu di rumah kalian sekarang? Pantas saja beliau tidak keluar sejak keributan tadi." 

"Tadi udah dibawa ke dokter. Sepertinya tensinya tinggi. Terlalu capek juga. Parahnya ibu hanya diberikan obat warung sama Hasna. Parahnya lagi, setiap awal bulan Hasna selalu meminta uang dengan alasan ibu minta inilah, itulah." Mas Rian menjelaskan semuanya pada Anton.

Anton meraup wajahnya kasar. Mungkin tidak menyangka jika istrinya yang terbiasa bersikap lembut menjadi seperti itu. Pandai sekali Hasna bersandiwara.

Kulihat Anton hanya menunduk mendengar semua perkataan mas Rian. Seperti malu, dan juga menahan marah.

Semoga setelah ini Hasna bisa berubah.

***

"Kok lama sekali. Kalian bertengkar ya sama Hasna?" Tanya ibu ketika kami baru sampai rumah.

"Enggak, Bu. Tadi kebetulan nungguin Anton pulang. Sekalian ngabarin kalau ibu mau tinggal disini. Entar kalau anak-anak kangen kan bisa main kesini," ucapku berbohong.

Ibu tersenyum bahagia. Ternyata sebegitu bahagianya ibu bisa lepas dari jerat Hasna.

"Ibu sebenarnya kasian sama Adel dan Dio. Mereka lebih seperti anak yang tidak terurus. Sedangkan Hasna selalu sibuk dengan ponselnya. Kalau nggak gitu, pamit pergi arisan tapi nggak pulang-pulang. Ibu sampai capek buat ngingetin adikmu, Ian," keluh ibu pada mas Rian suamiku.

"Sudah! Hasna sudah berkeluarga, Bu. Sudah menjadi kewajibannya mengurus putra putrinya sendiri. Itu bukan tugas ibu. Nanti kalau ibu kangen Adel sama Dio biar Rian yang jemput mereka biar main kesini. Biar nggak jalan kaki." Kami bertiga tertawa. Kedengarannya lucu, rumah kita berdekatan, kenapa harus pakai jemput-jemput segala, Mas. Batinku.

Kalau dipikir, ucapan mas Rian ada benarnya juga. Kenapa dia harus menjemput cucu-cucu ibu. Sudah bisa dipastikan Hasna tidak akan mengijinkan mereka bermain kesini. Tapi entahlah, kita lihat saja nanti.

***

"Mas berangkat dulu ya!" Aku mencium punggung tangan suamiku.

"Rian berangkat ya, bu." Giliran suamiku mencium punggung tangan ibunya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Ucap kami bersamaan.

***

Pyaarrr

Aku terkesiap dari tidur siangku. 

Suara apa itu? 
Kenapa seperti suara pecahan kaca?
Atau jangan-jangan ibu?


Ya Allah!


Aku berlari menuju asal suara. Kulihat kaca jendela rumahku sudah remuk.

Ibu berlari keluar kamar menuju tempatku berdiri. Ketika melihat ibu dalam keadaan baik-baik saja, aku bersyukur dalam hati.

Pyaarrr..

Kini giliran kaca belakang rumah.
Ulah siapa ini sebenarnya..

***


 


Komentar

Login untuk melihat komentar!