IPAR TIDAK TAHU DIRI (1)
Jangan lupa sertakan komentarnya ya, terima kasih dan selamat membaca!
__________________mf
Tok!
Tok!
Tok!
"Mbak! Buka pintunya!" teriak Hasna-- adik iparku dari luar.
"Mbak Sintya ... woy! Buka pintunya!"
Kumatikan kompor dan bergegas membukakan pintu sebelum daun pintu rumahku roboh karena gedoran tangan Hasna.
"Lama banget sih buka pintunya, udah kayak orang yang sibuk aja, padahal di rumah cuma ongkang ongkang kaki doang!" cibir Hasna-- adik iparku.
"Lagi masak, nggak denger ada orang ketok pintu," jawabku berkelit.
"Alasan! Mana Mas Rian? Aku mau minta uang nih, Adel sama Dio minta jalan-jalan."
"Adel sama Dio kan punya ayah. Ngapain nyari suamiku?"
"Nggak usah banyak bacot deh Mbak, lagian Mas Rian itu pakdhenya anak-anak. Wajar dong kalau mau minta uang, lagian nih ya ... yang cari uang itu Masku, bukan kamu!" ucapnya sambil nyelonong masuk ke ruang tengah dengan menabrak keras puncuk pundakku.
Kubiarkan saja dia mencari mas Rian. Toh yang memegang kendali keuangan sekarang adalah aku. Coba saja kalau berani meminta di depanku langsung.
"Mas ... Mas Rian!" teriak Hasna di depan pintu kamar kami.
"Apa sih, pagi-pagi udah teriak di rumah orang?!" sungut Mas Rian kesal.
Mas Rian keluar dari kamar setelah berganti baju. Dia melewati tubuh Hasna begitu saja tanpa memperdulikan adik perempuannya yang sedang memanggil-manggil namanya saat ini.
"Aku mau minta uang loh! Mau ngajakin Adel sama Dio jalan-jalan. Bosen tau, Mas, di rumah terus!" Hasna merajuk, dia bergelendot di lengan Mas Rian dengan manja.
"Minta saja sama Mbak Sintya, dia yang pegang semua uang gaji Mas," tutur Mas Rian datar sambil menepis tangan Hasna dengan asal-asalan.
"Gimana sih, Mas! Kan yang kerja itu kamu, ngapain juga semua uang dipegang Mbak Sintya? Bisa keenakan dia, ujung-ujungnya nanti ngabisin duit kamu!" ucap Hasna bersungut sungut.
Aku sengaja hanya menjadi pendengar setia mereka. Biarkan saja dulu sampai dia lelah berbicara, toh mas Rian tidak akan berani lagi memberikan uang untuk Hasna. Sah-sah saja menurutku, aku pun tidak melarang, jika saja uang yang dia minta memang digunakan untuk keperluan yang benar-benar mendesak. Bukan untuk foya-foya! Yang ada justru gaya sesoalita, ipar menderita. Gue banget kan!
"Mas, ayo sarapan dulu. Nanti telat!" kupanggil Mas Rian yang sedang sibuk berdebat dengan Hasna.
Mas Rian mengangguk dan menghampiriku di meja makan, sementara kulihat Hasna menghentak-hentakkan kakinya di lantai dengan kedua tangan bersedekap dada.
"Eh, Mbak, bagi uang satu juta, Mas Rian bilang semua uangnya kamu bawa?!" Hasna menodongkan tangan di hadapanku dengan dagu sedikit terangkat. Kesan sombong jelas sekali tercetak di wajahnya.
"Buruan! Lagian kamu jangan sok-sokan mengatur keuangan Mas Rian deh, ingat ya, Mbak ... Mas Rian itu kakakku, sudah kewajiban dia buat nafkahin aku selamanya. Se-la-ma-nya!" Hasna mengeja kata selamanya tepat di telingaku.
Enak saja kalau bicara, sejak kapan adik yang sudah berkeluarga menjadi tanggung jawab kakaknya? Minta uang satu juta sudah seperti minta uang gopek saja. Dikira kami ATM berjalan? Meskipun gaji Mas Rian lumayan cukup, tapi tidak menjadikan alasan bagiku untuk menghambur-hamburkan uang suami.
"Nggak ada Has, uangnya sudah mbak deposito semua. Ini sisa dua ratus ribu. Ambil saja kalau mau," ujarku bodo amat.
Aku mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan dari dalam dompet. Kukibaskan tepat di depan wajah dengan menyunggingkan senyum tipis ke arah Hasna yang menatapku sengit.
"Ya nggak cukuplah, gimana sih! Emang dapet apa uang segitu. Beli baju aja nggak ...."
"Ya ... kalau untuk jajan Adel sama Dio mah cukup saja, Has, tapi kalau untuk ibunya entah lagi," selaku cepat membuat kedua mata Hasna membulat sempurna.
Kulihat Mas Rian masih tenang dengan sarapan di depannya. Jika biasanya dia selalu memintaku mengalah, kali ini kupastikan tidak lagi, Hasna harus diberi pengertian jika uang Mas Rian bukan uangnya. Tapi uangku!
"Nggak usah banyak ngomong deh! Lagian itu juga uang Mas Rian kan? Mas Rian yang kerja, wajar dong kalau aku ikut ngabisin uangnya, lagipula kalian belum ada anak, pengeluaran pasti nggak terlalu banyak!"
"Eh...,"
Mulutku kembali terkatup saat Mas Rian menggenggam tanganku. Itu tandanya aku harus diam. Oke, kuturuti kemauannya, kita lihat bagaimana respon Mas Rian pada ucapan Hasna. Apa masih hendak membela seperti dulu atau justru mulai menyadarkan sifat adiknya yang suka seenaknya itu.
"Sudahlah, Has. Kalau mau ya, ambil! Kalau nggak mau, ya sudah! Simpan lagi uangnya, Dek," pinta Mas Rian padaku. "Lagipula ini masih pagi sekali untuk ribut urusan uang, Mas mau sarapan dan berangkat kerja, dari tadi dengar suara kamu panas kupingku!" sambung Mas Rian.
"Sudah sana pulang, kasian Adel dan Dio pasti belum makan kan?" Hasna mengangguk samar. Dia berkali-kali melirik yang dalam genggamanku.
"Lagi pula gaji suami kamu kemana sih? Baru tanggal segini sudah ribut masalah uang kesini."
Hasna menghentak-hentakkan kakinya di depan suamiku. Merajuk selalu menjadi jurus andalan jika Mas Rian tidak menuruti kemauannya. Tapi Mas Rian seolah acuh, membuat Hasna semakin geram dibuatnya.
"Awas kamu, Mbak!" ancamnya sengit, kemudian berlalu sambil merampas uang dua ratus ribu di tanganku.
Aku menjulurkan lidah membuat dada Hasna naik turun. Dia berlalu meninggalkan rumah dengan menutup pintu sangat keras hingga kami berdua sedikit berjingkat dibuatnya.
________________________
Sebelum keuangan aku yang memegang kendali, Mas Rian selalu mengeluh karena pengeluaran semakin membengkak. Padahal jatah yang diberikan padaku tidak ada separuh dari gajinya, dan pembagian untuk orang tua kami disamaratakan. Sampai akhirnya aku tahu dari sebuah notifikasi M-banking di hapenya. Hampir setiap bulan Hasna meminta uang pada suamiku dengan dalih Ibu. Ibu ingin makan inilah, itulah. Ibu ingin mukenah baru lah, baju baru lah, dan lah lah yang lain. Tapi yang jelas, aku mengendus kebohongannya.
Sampai akhirnya aku meminta paksa kendali keuangan. Berkali-kali aku mengingatkan jika Hasna sudah bersuami, segala kebutuhannya bukan tanggung jawab kami. Tapi dalihnya selalu menggunakan nama Ibu.
Memang, Ibu Mertua masih tinggal serumah dengan Hasna. Rumah kami pun masih terletak di satu komplek. Jika Ibu ingin meminta sesuatu, aku yakin Ibu akan mengatakannya padaku karena kami memang sedekat itu. Ibu sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri begitupun sebaliknya.
Sempat aku tawarkan Ibu untuk tinggal bersama, tapi Hasna melarang keras. Dia menuduhku ingin menguasai Ibu, dan membuatnya melupakan Hasna. Hal itu tentu membuat Ibu tidak bisa berkutik dan memilih tinggal bersama Hasna.
Aku tau alasan Hasna yang sebenarnya. Tapi sampai saat ini aku memilih diam, sampai Ibu sendiri yang mengatakan ingin tinggal bersama kami.
Bersambung
Login untuk melihat komentar!