Pernikahan Kedua Raihan.
Menikahlah Dengan Perempuan Pilihan Ibumu 



Esoknya, Lastuti datang kerumah Rumana, wanita itu paham betul kapan Raihan--anaknya tak berada dirumah.

"MasyaAllah, Bu, Ibu datang sama siapa?" tanya Rumana, ketika melihat Ibu mertuanya sudah berada di teras rumah tanpa mengucapkan salam dan menatap kearah Rumana dengan angkuh. Rumana menoleh ke sekeliling seperti mencari seseorang. Barangkali Ibu mertuanya itu diantar saudara atau tetangganya.

"Saya ga lama, Rum. Saya hanya mau menyampaikan, Sabtu depan Raihan akan menikah. Saya harap kamu tidak menghalang-halangi Raihan untuk bahagia," Ujarnya tanpa sekalipun menatap Rumana yang matanya sudah berkaca-kaca.

Dengan menekan rasa sakit di dada. Rumana memaksakan sebuah senyum.

"InsyaAllah, Rum tak akan menghalangi pernikahan Mas Raihan Bu."

"Bagus kalau begitu," Lastuti, melangkah pergi tanpa kata dan menganggap Rumana hanya orang lain saja.

Rumana terduduk di kursi rotan teras rumahnya itu, air mata tak henti keluar. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat kala dia berusaha merebut hati sang mertua dan semua sia-sia.

Suami yang dulu begitu dia cintai, kini entah mengapa tak lagi istimewa di hatinya. Raihan, terlalu lemah, tak punya pendirian. Memanglah Surga ada dibawah telapak kaki Ibu, tapi tentu saja tidak dengan mendzolimi hati wanita yang telah dia ikat dengan akad.

Bukankah seorang lelaki juga berhak mempertahankan rumah tangga walau terkadang harus berselisih paham dengan orang tuanya? Toh, selama ini sang menantu tak pernah mengajak suaminya untuk membenci wanita yang telah melahirkan nya itu. Justru, Rumana lah yang selalu mengingatkan Raihan untuk berbakti kepada sang Ibu.


******

Seminggu berlalu.

Besok adalah hari pernikahan Raihan dengan Risa. Rumana terlihat begitu gelisah, malam ini terakhir dia menjadi satu-satunya wanita yang bergelar istri bagi Raihan. Akan ada wanita lain yang punya status sama dengannya.

"Dek, Mas malam ini ke rumah Ibu, ya?" pamit Raihan.

"Iya," jawab Rumana singkat.

"Dek, percayalah, Mas hanya mengikuti maunya Ibu, kamu tetaplah istriku satu-satunya,"ujarnya lagi.

Rumana hanya diam, sambil terus memainkan ujung bajunya. Menjadi istri satu-satunya, tentu saja hanya sebuah teori. Bagaimanapun, perempuan itu akan bersanding dengan Raihan. Dia akan punya hak yang sama dengan Rumana, sebagai istri pertama.

Raihan mencium puncak kepala istrinya sekilas, lalu beranjak pergi. Tak seperti biasanya. Raihan sendiri sebenarnya berasa deg-degan dengan pernikahan kedua ini, membayangkan tubuh montok Risa saja sudah membuat hayalnya kemana-mana.

Ibu hanyalah alasan, hati kecilnya juga menginginkan wanita muda yang lebih seksi dan modis itu sebagai istrinya. Namun hanya dia yang tahu, demi menjaga perasaan Rumana, istri tuanya. Raihan lelaki normal, dengan melihat penampilan Risa telah membangunkan sisi kelaki-lakiannya. Karena itulah, kenapa kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan. 

Rumah Raihan sudah dihias sedemikian rupa, semua dikerjakan kilat oleh Wedding organizer yang disewa oleh Ibunya. Para tetangga juga datang membantu perhelatan itu. Sangat jauh berbeda dengan pernikahan Raihan yang terdahulu. Wajar, karena dulu hidupnya masih sangat sederhana bahkan bisa dibilang susah.

"Raihan, kamu istirahat saja di dalam, itu Ibu siapkan jamu biar besok, kuat," kata ibunya menyunggingkan senyum penuh makna.


Raihan mengikuti langkah Bu Lastuti, dan segera meminum jamu yang sudah di siapkan di kamarnya itu. Kamar yang biasa dia tempati bersama Rumana jika lagi menginap. Sekarang sudah berubah menjadi kamar pengantin yang indah, penuh hiasan dan bunga-bunga. Lelaki itu menatap puas dan tentunya tak sabar menunggu esok tiba.



*******


Pagi itu.


"Rumana....Rum...!" Pak Herman dan Bu Wati, istrinya yang baru sampai dengan motor tua milik mereka, berteriak-teriak dari luar.

Terang saja lelaki tua yang masih gagah itu kaget mendengar menantunya hari ini menikah lagi.

"Ya Allah... Bapak, ada apa toh sampai teriak-teriak begitu." sambut Rumana tergesa-gesa berlari kearah Bapak dan Ibunya yang baru saja tiba, lalu menyalami satu persatu.

Wajah Ibunya sembab, wanita itu hanya diam tapi hatinya terluka melihat apa yang menimpa putri satu-satunya itu.

"Duduk kamu!" hardik Bapaknya.

Rumana tertunduk lalu duduk tak jauh dari Ibunya.

"Raihan mana?" Pak Herman seolah ingin memastikan kabar bahwa yang menikah itu bukan Raihan menantunya.

Rumana diam, air mata nya mengalir perlahan.

"Rum, Bapak nanya, suamimu mana, Nduk?" ucap ibunya lembut.

"Bapak, Ibu maafkan Rum..."Rumana bersimpuh di kaki Bapaknya, dia merasa sangat berdosa telah mengecewakan orang tua yang sangat dia cintai itu.

"Rum... bangun Nduk, Bapak tak marah sama kamu Nduk, Bapak kecewa sama suamimu. Mana janjinya yang akan menjadikan kamu istri satu-satunya. Dulu saat dia melamar kamu dengan membawa mahar sebuah mukena lama, Bapak menerima dengan lapang dada. Berharap saat dia berjaya, dia ingat bahwa dulu kamu menemaninya dari bawah, dari nol! Bapak kecewa, Rum," 

Lelaki itu menangis dalam diam rahangnya mengeras, air mata deras mengalir walau dengan cepat pula dia menghapusnya. 

"Maafkan Mas Raihan, Pak. Dia menikah lagi dengan persetujuan, Rum. Rum ga bisa memberikan dia anak, Rum ikhlas Mas Raihan menikah lagi Pak,"

Kali ini tangis sang Ibu terdengar menyayat hati, dia mendekati Rumana dan memeluknya erat.

"Mari kita pulang saja Nduk, jika kehadiranmu tak dihargai lagi. Ibu sama Bapak masih sanggup merawat dan menjagamu seperti dulu,"ujar Bu Wati penuh lara.

"Jangan...! Jangan Buk, biarlah Rum, disini kita belum berhak membawanya pulang, karena Rumana sekarang sudah menjadi istri orang. Tapi, Rum jika kamu tak sanggup, kembalilah, Bapak dan Ibu akan selalu menerimamu,"

Tangis Rumana, kian kencang. Perkataan Bapaknya telah membuktikan bahwa tiada cinta yang tulus selain cinta orang tua kepada Anaknya.
 Dan sekaligus itu menjadi bukti Pak Herman seorang laki-laki sejati yang meski dikuasai amarah masih menggenggam ajaran agamanya.


******


Seminggu sudah mereka menikah, belum ada tanda-tanda Raihan akan kembali. Rumana, jenggah. Dengan mengumpulkan semua berkas-berkas penting dia keluar rumah, walau dia tahu keluarnya seorang istri tanpa izin suaminya berdosa. Sebagaimana hadits Nabi dalam kitab Mathalib Ulin Nuha.

"Seorang istri diharamkan untuk keluar tanpa izin suami, kecuali karena alasan darurat. Seperti membeli makanan, karena tidak ada yang mengantarkan makanan kepadanya."

Namun, apalah daya. Rumana, tak punya pilihan. Karena jika meminta ijin suami, tentu rencananya akan gagal. Lagi pula, nomor ponsel Raihan tidak aktif sejak dia meninggalkan rumah Rumana, mungkin takut diganggu oleh istri tuanya itu.

Tujuan Rumana hanya satu, dia tak mau lagi didekam dosa karena berpura-pura baik-baik saja.



Bersambung.



Komentar

Login untuk melihat komentar!