Niatku dan Atan baik. Kami hanya ingin membebaskan ibu malang yang diperlakukan bak binatang. Diungsikan ke tengah hutan, dengan kaki terpasung. Sungguh kasihan.
"Kenapa tadi siang tak langsung kau bebaskan saja?" tanyaku pada Atan.
"Walah ... cem mana caranya? Ada si Safri di sana. Makanya aku langsung kirim pesan ke kau saja, Jin."
"Kau tanya ngga apa alasan Safri memerlakukan ibunya seperti itu?"
Atan mengangguk-angguk sehingga tampak seperti mainan yang ada du dashboard mobil
"Harusnya kau nasihati dia lah ...."
"Nasihati dengkulmu mrocos," potong Atan cepat, "kau tahu tabiat Safri bagaimana, meskipun botak, tapi ia keras kepala. Ia hanya bilang agar aku tak usah ikut campur," sambung Atan lagi yang tampak begitu kesal.
"Oke ... oke ... kalau begitu keputusan kita untuk menyelamatkan sang ibu adalah tepat. Kita tunggu malam yang sangat pekat, lalu kita berangkat menuju hutan," kataku penuh keyakinan.
"Ahsiap, Jin."
***
Malam tiba.
Suasana perkampungan pun mulai senyap. Aku dan Atan mengendap-ngendap. Menuju ke tengah hutan untuk menyelamatkan ibu yang sedang tersekap.
Setelah berjalan cukup jauh akhirnya kami sampai di depan sebuah gubuk yang terlihat lapuk. Malam ini begitu banyak nyamuk, sehingga aku tak berhenti menggaruk-garuk.
"Tan ... sepi, Tan." Aku menyikut Atan.
"Iya ... iya ... capek aku kasih tahu kau kalau panggilan Tan itu benar-benar melecehkanku," Atan mendumel.
Aku tak memedulikan Atan yang sedang merajuk. Pria jika merajuk itu terlihat jujuk. Eh, jijik maksudku.
"Atan ... buka pintunya, Dek!" perintahku dengan begitu sopan saat sudah berada di depan pintu gubuk.
Atan hanya nyengir seperti kuda.
"Atan ... buka, yuk!" ulangku lagi sembari memanggil namanya secara lengkap.
"Atut ... atut ... Atan atut ...," kata Atan manja dengan ekspresi yang sangat menjijikkan.
Plak!
Sebuah keplakan mendarat di kepala Atan.
"Dasar! Gitu aja takut!" Tanganku yang bergetar mulai mendorong pintu gubuk tersebut. Ah, sial, aku juga sebenarnya sangat takut.
Krieeettt ....
Aroma busuk seolah menampar indera penciumaku saat pintu terbuka.
"Ughh ... mirip baumu, Tan," ucapku sembari menutup hidung, saat tercium bau kotoran dari dalam gubuk.
"Sial*n!" umpat Atan.
Dengan menggunakan senter dari ponsel, aku dan Atan segera masuk ke dalam gubuk. Ah, tidak! Bocah penakut itu hanya mengekor di belakangku saja. Atan yang takut set*n. Lucu.
Kami terus berjalan hingga akhirnya melihat seorang ibu dengan penampilan lusuh. Ia dalam posisi duduk dengan kaki yang terpasang pasung.
Aroma busuk tercium semakin kuat saat aku tepat berada di depan sang ibu. Namun, aku tak menutup hidung lagi. Rasa iba membuatku seolah tak memedulikan hal itu lagi.
"Hmmphh ... beliau sepertinya tidur dalam posisi duduk hmmphh ...." Suara Atan terdengar sengau karena ia masih menutup hidungnya.
Hatiku rasanya teriris-iris saat melihat seorang ibu dengan kondisi yang seperti ini.
"Bu ... Bu ...." Aku coba membangungkanya.
Beberapa saat kemudian, si Ibu terbangun. Ia sempat bingung, sebelum akhirnya menangis.
"Huuu ... uuu ... sakit ... sakit .... Selamatkan aku!"
"I-iya, Bu. Kami datang memang untuk menyelamatkan ibu."
"Huuu ... uuu ... selamatkan aku, Nak Jindara." Sang ibu menyebut namaku di sela tangisnya.