Para pelayan hilir mudik mencatat dan mengantarkan pesanan. Kedai Lincak Teras sudah penuh pengunjung, kursi-kursi di tepi pantai pun taka da lagi yang kosong. Dari tempatnya, sambil ngobrol santai bersama Arga sesekali mata Devan melayangkan pandangan curi-curi ke arah Kayana yang tengah sibuk membuat pesanan yang tiada habisnya.
Kayana tampak berhenti sejenak memperhatikan para pelayan yang berlalu-lalang, kemudian matanya beralih ke meja Devan. pandangan mereka saling bertabrakan, Devan dapat merasakan jantungnya tiba-tiba berdentum kencang. Hanya beberapa detik tatapan mereka terkunci satu sama lain, Kayana menjadi orang pertama yang membuang muka.
Gadis itu beranjak dari balik meja, ia mengambil nampan dan meletakkan beberapa jenis minuman yang baru saja dibuatnya kemudian berjalan menuju meja yang ditempati Devan, mengantarkannya menggantikan para pelayan yang sedang sibuk. Di samping Devan, Arga menyenggol lengannya dengan gugup.
“Kay kemari, Dev,” bisiknya dengan nada tak percaya. Tentu saja Devan tahu, ia punya mata dan dapat melihat bagaimana gadis semampai itu berjalan lues ke arah mereka. Ekor kudanya bergoyang-goyang mengikuti gerak tubuhnya.
Begitu mendekat, senyumannya yang teramat manis merekah sangat indah. Devan sampai terperangah melihatnya, sementara Arga sudah panas dingin dihadiahi senyuman seorang Dewi tersebut. Ya, Kayana hanya tersenyum pada Arga! Ia bahkan tak sedikit pun melirik Devan yang berada di sampingnya. Dan, entah mengapa mendadak Devan merasa kesal padanya.
Masih mempertahankan senyum indahnya, dengan cekatan Kayana menata minuman di atas meja dan berucap pelan, “Pesanan lain akan segera tiba.” Giginya begitu putih dan rata. Devan maupun Arga tak merespon ucapan Kayana. Keduanya masih terpana bahkan saat gadis itu berlalu kembali ke tempatnya dengan diiringi tatapan hampir semua pengunjung kedai.
“Ya ampun, dia… dia…” terbata-bata, Arga tersadar terlebih dahulu. Matanya dengan binar tak percaya menoleh ke arah Kayana yang sudah kembali sibuk mengerjakan pekerjaannya. “Kalau dilihat dari dekat cantiknya berkali-kali lipat. Dan, senyumnya itu, woaaahh, beruntung sekali aku mendapat senyumannya!”
Arga terus berceloteh dengan gembiranya, sementara Devan meraih gelas minumannya dengan asal lalu meneguknya pelan. Jujur saja dalam hati ia mengakui kecantikan Kayana, tetapi sisi hatinya yang lain begitu kesal mendapati gadis itu mengabaikannya. Padahal Devan adalah seorang Barawijaya yang sangat terkenal, semua perempuan berlomba-lomba mengejarnya, tetapi Kayana justru seperti tidak menyadari kehadirannya. Ia lebih suka memperlihatkan senyum indahnya pada Arga alih-alih pada dirinya. Ishh, dasar Barbie ngepet! Rasanya panggilan itu lebih cocok untuknya setelah membuat Devan begitu kesal. Ah, mungkin Kayana belum tahu jika ia adalah seorang Barawijaya, batinnya untuk menenangkan kekesalah hatinya.
Devan kembali meneguk minumannya untuk menyembunyikan kekesalannya. Enak, minuman buatan si Barbie ngepet ini enak sekali. Devan mengintip daftar menu yang masih tertinggal di atas meja, minuman perpaduan warna orange dan hitam campuran sirup jeruk dan black berry dengan tambahan soda dan irisan lemon ini namanya es senja lara. Namanya mengingatkan Devan akan keindahan siluman mermaid dengan latar belakang matahari tenggelam. Devan meletakkan minumannya, lalu meraih kameranya dan mengecek hasil foto-fotonya bersama Arga di pantai tadi sore. Dan, entah mengapa ia merasakan sebuah kesedihan yang—entahlah.
“Ga, coba deh amati baik-baik. Lo ngerasain sesuatu gak dari foto ini?” Devan menyerahkan kameranya pada Arga.
“Emangnya ngerasain apa? Ada penampakan serem-serem gitu?” tanya Arga menerima kamera dari tangan Devan dengan kening berkerut.
“Perhatikan saja baik-baik.”
Arga menurutinya, ia mengamati foto tersebut dengan seksama, sesekali tangannya menekan tombol zoom berkali-kali seolah tengan mencari sesuatu yang dimaksud oleh Devan. Namun, hasilnya nihil. Selain foto siluet seorang perempuan berambut panjang yang tengan duduk di hamparan pasir dengan latar belakang matahari terbenam, tidak ada apapun dalam foto tersebut. Arga hanya melihat keindahan, ia tahu Devan sangat pandai dalam mengambil objek, dan itu jelas dirasakannya. Tapi kalau hal-hal mistis yang serem-serem, Arga sama sekali tidak merasakannya. Ia juga sudah memperbesarnya berkali-kali, tapi tidak juga menemukan jenis penampakan apapun di sana.
“Gak ada apa-apa, Dev. Emang apa yang kamu lihat?” Arga menyerahkan kamera tersebut pada pemiliknya.
“Sebuah kesedihan,” jawabnya seraya kembali mengamati foto tersebut dengan seksama.
“Hah? Emang foto bisa memperlihatkan begituan? Lagian objek kamu kan cuma siluet, gak jelas itu perempuan sedang menangis, tertawa, atau melotot,”
“Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.” Devan menghela napas dan menutup kameranya. Ia kembali melirik ke arah Kayana. Gadis itu sibuk membuat minuman, ia begitu asyik dengan dunianya sendiri seolah tak menyadari pesonanya yang mampu memikat semua pengunjung kedai.
Kayana memang ramah pada semua orang, terlihat sekali dari senyumannya yang murah selalu merekah diberikan kepada siapa saja, bahkan kepada para pelayan yang silih berganti mengambil minuman hasil racikannya, terkecuali pada Devan tentu saja.
Namun, Devan dapat menangkap kilatan sendu dalam netra beningnya yang berusaha ditutupinya saat ia menatap minuman es senja lara yang baru saja dibuatnya, hanya sesaat sebelum kemudian kilatan tersebut hilang digantikan senyum cemerlang begitu pelayan datang mengambil minuman tersebut. Devan merasa semakin penasaran dengan sosok Kayana yang kata Arga sangat misterius.
***
Malam semakin beranjak, jam dinding sudah menunjukkan pukul 00.30. Namun, semakin malam Tarantulaz Café justru semakin banyak dipadati pengunjung. Benar kata Arga, kafe ini bukan sekedar kafe. Selain ada bar tempat orang asyik bermabuk-mabukan, terdapat juga sofa-sofa panjang di mana orang-orang bebas memesan makanan ringan sebagai teman ngobrol bersama rekan-rekan nongkrong.
Dentuman musik DJ yang dimainkan oleh seorang Disc Jokey di sebuah panggung kecil terdengar memekakkan telinga. Puluhan muda-mudi tumpah ruah saling berjoget di lantai dansa mengikuti iramanya yang menghentak di bawah lampu sorot yang berputar-putar.
Ada satu hal yang unik dari kafe ini, semua pelayan hingga bartendernya adalah para banci dengan berbagai macam dandanan. Sudah setengah jam Arga membawa Devan kemari, tetapi Devan masih belum juga hilang dari keterkejutannya. Para pelayan 'melambai' yang bolak-balik mengantarkan pesanan ke meja mereka sesekali mengedip genit padanya, Devan sampai harus mengernyit antara jijik dan geli.
“Justru itulah hiburannya di sini, Dev. Sikap mereka bener-bener jadi hiburan tersendiri,” Arga menoleh pada seorang bertubuh tegap dan berotot sedang teriak-teriak centil digoda oleh beberapa orang. “Para banci ini tidak akan berani macam-macam sama pengunjung. Sudah menjadi aturan di kafe ini, kalau berani melanggar mereka akan dipecat. Jadi kamu tenang saja, mereka tidak akan memperkosamu.” Arga terkekeh. Terlihat sekali ia sering datang kemari.
“Lo sering kemari?”
“Cukup sering bareng temen-temen kampus. Mereka ke sini cuma gangguin para banci.” Kekehnya sembari melemparkan potongan kentang goreng ke dalam mulutnya.
Devan berdecak, “Yaelah, di mana-mana cowok tuh godain cewek-cewek cakep, ini malah kebalikannya. Lo waras, Ga?”
“Sekedar hiburan ajalah. Tuh lihat deh, tingkah mereka bener-bener mengocok perut,” Arga menunjuk meja sebelahnya diikuti Devan. Seorang banci memakai rok mini sedang digoda habis-habisan oleh pengunjung. Roknya dibuka sehingga ia berteriak-teriak centil.
“Jangan perkosa eyke, Bang, eyke masih perawan!” jeritan-jeritan centilnya memancing gelak tawa para pengunjung Devan menggelengkan kepala tak habis pikir, ia bangkit berdiri.
“Mau kemana?”
“Bar, mau ikut?”
“Nggak deh, aku tunggu di sini aja.”
Meninggalkan Arga sendiri di tempatnya, Devan melangkah menuju bar yang tidak terlalu ramai, kemudian duduk di salah satu stool kosong. Ia memperhatikan seorang bartender sedang meracik minuman, tubuhnya yang tegap dibalut kemeja ketat dengan dua kancing teratas dibiarkan terbuka sehingga menampakkan dadanya yang berotot. Secara fisik ia hampir sama dengan Devan, namun lebih pendek. Setelah menghidangkannya pada tamu, sosok tersebut menoleh pada Devan dan seketika senyum genitnya mereka di bibirnya yang tebal.
“Hai, Ganteng. Mau minum apa?” tanyanya sambil mengedip-ngedipkan mata menggoda. Devan tidak dapat menyembunyikan rasa mualnya. Tempat ini benar-benar sarang banci.
“Apa saja yang tidak mengandung alkohol,” jawabnya datar. Si Bartender mendengus dan menoleh pada rekannya yang sedang sibuk mengelap gelas-gelas.
“Minuman tanpa alkohol!” Serunya dengan nada kesal. Namun, ia masih sempat mengerlingkan matanya pada Devan sebelum beranjak melayani pesanan tamu lain.
“Minuman tanpa Alkohol, apakah mau squash?” seseorang mendekatinya dan bertanya, suaranya begitu lembut tanpa dibuat-buat. Devan mengangkat kepada dan mendapati sosok dalam dandanan yang sangat sempurna. Namun, sesempurna apapun tetap saja Devan tahu bahwa ia seorang banci, banci paling cantik yang pernah dilihatnya.
“Boleh,” jawabnya singkat.
“Ada lime squash drink, es squash melon, atau—“
“Yang paling spesial di sini.” Potongnya disambut senyum ramah sosok tersebut.
“Baik, akan saya buatkan.”
Devan terkesan dengan sikapnya yang begitu sopan, tutur katanya juga tidak seperti banci kebanyakan di sini. Sosok ini sama sekali tidak gemulai dibuat-buat, sikapnya tidak centil, ia justru terlihat lues dan alami. Kalau ibarat perempuan tulen, ia terlihat apa adanya.
Devan memperhatikan gerak-geriknya dalam meracik minuman. Sebuah pin dengan logo Tarantulaz Café menyembul dari balik apron bar hitam yang dikenakannya.
“Apakah Laura adalah namamu?” tanya Devan setelah membaca nama tersebut dari pin yang menyembul.
Di antara kesibukannya, sosok tersebut tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian pesanan Devan selesai, Laura menghidangkan segelas minuman berwarna orange-hitam dengan irisan lemon di hadapannya. “Silakan,"
Devan mengerutkan kening, matanya menatap gelas minuman di depannya dan Laura secara bergantian.
“Apa nama minuman ini?” tanyanya dengan kernyitan di kening yang semakin dalam. Dari warna dan bahan yang digunakan sama seperti es senja lara buatan Barbie ngepet.
“Es senja lara. Itu minuman hasil ciptaan saya dan tidak dijual di manapun.”
Devan meneguk minumannya pelan. Asli, tidak hanya rupa dan bahannya yang sama, rasanya juga seratus persen sama. Enak sekali.
“Yakin ini tidak dijual di manapun?” Laura tersenyum seraya mengangguk yakin. “Mengapa namanya es senja lara?”
Sekilas Devan menangkap kilatan penuh kesedihan dalam netra sendu Laura, namun hanya sebentar sebelum kemudian lenyap saat senyum sopan itu kembali mereka di bibirnya. “Karena saya menyukai nama itu. Selamat menikmati minumannya.” Ia beranjak meninggalkan Devan untuk melayani tamu-tamu yang berdatangan.
Seperti yang dikatakan Arga sebelumnya, di sini tidak hanya menjual minuman beralkohol. Di beberapa stool juga terlihat orang-orang yang sedang menikmati squash seperti yang dipesannya. Devan mengamati gelas minuman di tangannya, terlalu banyak kesamaan untuk disebut kebetulan. Manik Laura yang dipenuhi kesedihan mengingatkannya pada sorot Kayana saat perempuan itu menatap sendu minuman dengan nama, rasa, dan rupa yang sama persis tersebut.
Apakah senja memiliki arti tersendiri bagi dua orang tersebut?
Bersambung…