Sebelum baca, silakan subscribe dan follow 🤗
BAGIAN 7
Gemetar benar tanganku. Namun, tiba-tiba saja rasa berani itu muncul. Terlebih, saat Dewi menatapku dengan senyuman yang mengejek. Sudah betul hidupnya, dia pikir?
“Oh, kamu mau melaporkanku ke polisi? Bagaimana dengan tindakanmu barusan? Merekam tempat usaha orang lain dan mencemarkan nama baikku serta usaha yang kujalankan!” Aku berkacak pinggang. Marah besar kepadanya sambil melotot. Meskipun hatiku sedikit banyak takut pada ancamannya, aku tak peduli.
“Mau lapor ke polisi? Berapa duitmu, emang? Buat beli susu aja, dulu kamu nyiumin kaki Angga, kok!” Perempuan itu tersenyum sinis. Aku sampai mengernyitkan dahi. Dewi ini sebenarnya tahu atau pura-pura bodoh tentang Angga? Sebentar dia belaga pilon tentang hubungan kami. Pura-pura tak tahu tentang apa pun. Sekarang, malah mengungkit masa laluku. Apa maunya?
“Mbak, kalau kedatangan Anda ke sini hanya mau bikin ribut, silakan pulang! Kami tidak ada waktu untuk meladeni hal tidak penting!” Arfan tiba-tiba meringsek maju. Mengacungkan telunjuknya ke arah jalanan, mengusir Dewi dengan suara yang besar.
“Sudah, Fan. Biarkan saja. Kita lihat dia mau sampai mana urusannya!” kataku sembari melangkah untuk keluar dari hadangan Arfan. Kutoleh sesaat ke lelaki tersebut, wajahnya tampak merah. Lelaki berkulit kuning langsat yang kalem itu, nyatanya bisa marah juga.
“Dasar perempuan miskin! Gayamu selangit! Sok!”
“Terima kasih atas hinaannya, Mbak Dewi yang kaya dan cantik. Anda bisa bikin kebaya dengan penjahit profesional mana pun. Tidak harus denganku. Sekarang, silakan tinggalkan studio ini.”
“Dewi!” Sebuah suara membuat kami bertiga langsung menoleh ke arah gerbang. Bahkan kami tak sadar, bahwa ada sebuah mobil hitam yang ternyata sudah parkir, dengan pengemudinya yang berlari kecil ke arah sini. Ya, itu Angga.
Lelaki berkaus hitam dengan celana jin panjang warna senada yang membentuk kaki kurusnya tersebut tampak terengah-engah mendatangi si calon istri. Aku muak melihat Angga. Jijik!
“Kenapa kamu malah ke sini? Untung aku bangun awal dan langsung lihat GPS-mu!” Angga menarik lengan gempal milik Dewi. Agak kasar. Mukanya yang terdapat berkas jerawat itu terlihat mendengus kesal.
“Urusanku! Kenapa kamu malah tanya-tanya? Aku masih nggak terima, mantan istrimu ini tidak mau menjahitkan kebaya yang sudah kubayar lunas! Kalau dari awal aku tahu dia mantanmu, jangankan ke sini, follow Instagramnya saja aku jijik!” Lepas ngamuk-ngamuk dan menarik kencang lengannya dari cengkraman Angga, wanita itu seperti kalap menatapku.
Cuih! Ludahnya kini mengenai tepat jilbabku. Aku berang, marah. Saat tanganku hendak terangkat untuk memukulnya, saat itu juga lenganku malah ditahan dari samping. Aku menoleh. Arfan tengah fokus merekam dengan ponselnya menggunakan tangan kiri, sementara tangan kanannya menahan tanganku yang sudah setengah terangkat.
“Biarkan saja, Mbak. Kita laporkan balik!”
Aku menghela napas. Sakit sekali rasanya. Harga diriku bahkan sudah diinjak-injak. Baru kali ini sampai diludahi segala oleh bekas calon customer.
“Dewi, keterlalu kamu!”
Plak! Sebuah tamparan keras di pipi mengenai wajah Dewi. Tamparan itu berasal dari Angga. Aku bahkan tersentak melihatnya. Ludah ini tak seberapa, tapi yakinlah betapa sakitnya dipukuli calon suami sendiri di depan sang mantan istri. Aku makin membelalak saat melihat******Dewi kini langsung membekas jadi merah. Wow!
“Oh, jadi kamu membela perempuan ini? Perempuan ini?!” Tak kuduga, Dewi malah menarik ujung khimarku. Membuat aku tertarik ke arah tubuhnya. Lengan besarnya langsung memiting leherku. Aku terjengap-jengap sebab kesulitan mengambil napas.
“T-tolong!” Aku berusaha untuk berteriak ke arah Arfan. Sialnya lelaki itu malah masih sibuk memvideokan aksi bejat Dewi.
“Hentikan! Kubilang hentikan!”
Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat Angga menjambak kasar rambut milik Dewi hingga perempuan itu terpental mundur. Tangannya yang masih memitingku, seperti tak kuasa lagi menahan, sehingga dengan sendirinya terlepas. Aku hampir saja jatuh menimpa tubuhnya, kalau tidak dengan segera tanganku ditarik oleh Arfan ke arahnya.
Brak! Tubuh gemuk Dewi mental dan terjatuh di ubin setelah rambutnya dijambak keras oleh mantan suamiku. Terlihat wajah Angga sangat bengis menghajarnya. Sebenarnya, mereka ini saling mencintai atau tidak? Begitu pertanyaan dalam benakku. Namun, peduli amat. Dewi pantas mendapatkan hajaran seperti itu, setelah apa yang dilakukannya.
“Pulang kamu, Dewi! Masuk ke mobilmu sekarang!” Angga berkacak pinggang sembari meneriaki Dewi yang masih rebah di ubin dengan rambut yang berantakan. Perempuan itu mengaduh, tapi tak kunjung dipedulikan oleh calon suaminya.
“Kamu jahat! Kamu tega, Mas! Apa salahku?”
“Salahmu? Salahmu adalah tidak ikut kata-kataku! Aku kan, sudah bilang. Cari penjahit lain. Tidak perlu lagi dipermasalahkan. Aku sudah menuruti keinginanmu untuk jujur dan menceritakan semua tentang masa laluku bersama Resa. Namun, kenapa kamu malah ingkar janji dan cari gara-gara di sini?” Angga berteriak dengan suara yang nyaring. Membuat orang-orang di tepi jalan sana menoleh dan ada pula yang sampai menghentikan laju kendaraannya.
Dewi tampak menangis tersedu-sedu. Bersamaan dengan itu, Nisa, asistenku, datang dengan sepeda motornya dan terlihat sangat kaget dengan pemandangan yang dia lihat di teras. Perempuan itu pias wajahnya dan tampak takut-takut untuk memarkirkan kendaraan di halaman.
Saat Nisa hendak melewati teras, susah payah Dewi bangun dari terjungkalnya. Tak ada uluran dari tangan Angga. Lelaki itu hanya menatapnya dengan napas yang naik turun bagai tengah menahan emosi. Sedang aku dan Arfan, hanya dapat berdiri agak menjauh dari mereka. Arfan sudah menghentikan perekaman tadi. Namun, tangannya masih siaga memegang ponsel.
“Aku ingin kita bakal menikah, Mas!” Dewi yang sudah mampu untuk berdiri dan memberikan jalan lewat untuk Nisa tersebut, kini menarik kerah kaus milik calon suaminya. Sambil menangis-nangis, dia meluncurkan ancamannya tersebut.
“Oh, silakan! Silakan saja batalkan. Memangnya aku yang minta-minta untuk menikah? Sejak kapan aku berselera kepada perempuan sepertimu? Coba kamu berkaca, Dewi! Apa yang istimewa dari fisikmu?” Ucapan Angga yang selalu kasar dan membuat sakit hati, nyatanya memang tak pernah berubah. Dia masih sama, pikirku. Sosok lelaki yang memang tak patut untuk dijadikan imam dalam rumah tangga.
Aku tahu bagaimana perasaan Dewi. Malu? Sudah pasti! Wanita itu, saking malunya hanya dapat menangis sesegukan dan menunduk dalam. Sedikit banyak, aku jadi iba.
“Ponselmu sampai remuk begini, ada apa? Kamu pasti buat ulah dengan ini, bukan?!”
Angga meraih ponsel hitam milik Dewi yang tadinya kubanting dan kulemparkan ke arahnya tersebut. Benda yang dipungut Angga dari ubin itu, kini diacung-acungkannya ke muka Dewi.
“Apa yang kamu lakukan? Jawab!” Teriakan Angga begitu menggelegar. Membuat jantung siapa pun rasanya mau copot. Aku yakin, toko foto kopi di samping rumah ini karyawannya yang baru datang untuk membuka lapak, pasti mendengarkan pertengkaran ini. Aku benar-benar capek dengan keributan sebenarnya. Bagaimana tidak, semalam saja kami sudah berkelahi hebat di depan teras rumahku.
“A-aku … m-me-rekam.”
Sekali lagi, Angga menampar wajah Dewi dengan sangat keras sampai perempuan itu terhuyung dan hampir jatuh.
“Cukup, Angga!” Tanpa sadar, aku malah berteriak keras. Jantungku begitu ingin pecah. Benar-benar tak mampu lagi untuk menonton baku hantam antara pasangan calon suami istri ini.
“Hentikan! Jangan jadikan studioku sebagai tempat penjagalan. Kalau kalian ingin bertengkar, silakan di luar!” Aku mengacungkan tangan ke arah jalan. Menatap wajah Angga yang kini terlihat pias, dengan tatapan marah.
“Aku hanya membelamu, Resa. Apa aku salah?” Suara Angga berubah sangat lembut. Membuat tangisan Dewi semakin terisak. Aku tahu, pasti perempuan itu sedang kesal dan cemburu setengah mati.
“Salah! Aku tidak butuh pembelaanmu. Kalian sekarang pulang!”
Angga malah menggeleng. Lelaki itu tersenyum manis. Seperti psikopat, pikirku. Apalagi urusannya?
“Dewi, sebelum kita pulang, silakan kamu cium kaki Resa untuk meminta maaf kepadanya!”
Aku terhenyak. Tersentak dan syok. Mataku sampai menyipit memperhatikan Angga.
Apa maksuda Angga? Dengan menjatuhkan harga diri Dewi di hadapanku, apa dia pikir kalau aku akan tersentuh? Setelah tersentuh, dia pikir aku akan mau diajak balikan? Laki-laki gila! Mengapa dia harus masuk lagi ke dalam hidupku, saat aku sudah tak lagi memerlukan kehadirannya itu!
Lanjut, Mak? Jangan lupa kasih komentar, ya.