Derit Kereta di Suatu Masa (drama)

Ambarawa,  1959

Di sebuah pagi yang mulai hangat, sepasang kaki kecil melangkah di jalan raya. Seorang anak kecil bernama Maryam berjalan menuju kios Koh Liong dengan menggendong sekarung beras. Delapan tahun usianya kala itu, tapi dia sudah terbiasa bekerja keras. Ia biasa bangun pukul empat pagi, kemudian menimba air dan memasak nasi untuk keluarga bibinya. Setelah sarapan ia harus membawa beras ke kios Koh Liong untuk dijual. 

Sebenarnya Maryam tidak ingin melakukan hal ini. Semua ini hanya ia lakukan untuk menunggu janji bibi dan pamannya. Enam bulan lalu pamannya membawa dia dari Temanggung ke Ambarawa. 

"Biarkan Maryam aku bawa ke Ambarawa  untuk sekolah Yu," begitu kata  paman Maryam pada Simbok. 

Dengan gembira Maryam ikut pamannya. Mereka naik kereta dari Temanggung ke Ambarawa. Sebuah perjalanan yang mendebarkan, karena baru kali ini Maryam pergi jauh. Ia bahkan tak tahu jalan pulang. Seandainya di Ambarawa terjadi apa-apa, dia tidak bisa pulang. Maryam hanya pasrah dengan apa yang terjadi. Hidupnya ia serahkan pada paman dan bibi. 

Hal pertama yang dia lihat di rumah pamannya adalah raut wajah bibi yang tampak tak suka pada Maryam. 

"Kenapa kamu bawa dia ke sini?" tanya  Bibi pada Paman. 

"Biarkan Maryam ikut kita lah. Biar dia sekolah di sini. Aku kasihan pad Yu yang berjuang sendirian tanpa suami. Biar beban hidupnya lebih ringan," jawab Paman.

"Kamu pikir beban kita tidak berat? Kita sendiri  masih harus kerja keras untuk hidup." 

"Rejeki tidak akan kemana, Dik. Biarlah Maryam di sini untuk sekolah dan membantu pekerjaan kita."

"Benar nih mau bantu? Baiklah, dia boleh tinggal di sini asal mau membantu kita." 

Sejak saat itu Maryam mendapat tugas-tugasnya. Menimba air untuk mengisi bak, memasak nasi, mengantar beras, dan membantu bibinya berjualan. Pada saat itu anak kecil seumuran dia sudah terbiasa kerja keras, tapi lama-lama Maryam juga merasa lelah. Dan ia tak sanggup untuk menolak permintaan bibi atau pamannya. 

Begitu juga pagi ini. Si Kecil Maryam harus berjalan satu kilometer menggendong sekarung beras. Peluh membasahi dahi dan badannya. Tubuh dan kakinya yang ringkih merasa sangat lelah. Ah, kapan semua ini berakhir?

Seorang anak berseragam SR melintas menggunakan sepeda membonceng ayahnya. Maryam berhenti sebentar menatap anak itu. "Kapan aku bisa seperti dia?" batinnya sedih.

Enam bulan sudah berlalu. Janji pamannya tak juga terwujud. Jika benar ia mau menyekolahkan harusnya saat ini Maryan sudah ada di bangku SR. Tapi kenapa keadaan Maryam masih begini? Ia hanya kerja keras untuk keluarga paman dan bibinya. Apakah benar ia dibohongi? Semua perkataan paman itu hanya untuk mengelabui dia, supaya dia merasa akan disekolahkan. Padahal sebenarnya dia hanya akan diperalat oleh paman untuk membantu bibinya. Untuk apa dia jauh-jauh ke Ambarawa kalau hanya untuk bekerja? Kalau tahu ini yang akan terjadi, Maryam memilih untuk tetap di Temanggung saja membantu Simbok. 

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kini Maryam sudah terlanjur berada di Ambarawa. Seandainya dia ingin pulang, dia juga tidak tahu jalan pulang. 

Rasanya Maryam ingin berteriak marah. Dia ingin pulaaaang! 

****

Kaki kecil itu terus melangkah. Kini ia tiba di rel kereta api yang ia lalui saat berangkat dari Temanggung dulu. Maryam berpikir, jika ia mengikuti rel ini dia pasti bisa pulang kembali ke Temanggung. Tekatnya pun bulat. Dia ingin pulang!

Dihempaskannya beras yang ia gendong. Dilangkahkan kakinya mengikuti rel kereta api ke arah Temanggung. Tanpa ia sadari, dari arah Temanggung  sebuah kereta api melintas menuju arah Maryam. 

Maryam terus melangkah. Hingga kemudian dari belakang terdengar suara memanggilnya. "Maryam! Apa yang kamu lakukan?!"

Maryam menoleh. Dilihatnya Bibi yang sedang mengejarnya. Maryam berlari secepat mungkin. Tapi tak lama berselang Bibi sudah berhasil menangkap tangannya.
 
"Apa yang kamu lakukan Maryam?!" teriak Bibi. 

"Lepaskan! Lepaskan!" Maryam meronta. Tapi tangan Bibi terlalu kuat mencengkeramnya. 

Suara lengkingan kereta api terdengar sangat keras. Disusul suara derak-derak mesin kereta api dari arah Temanggung berjalan mendekati Maryam. Tak ada yang Maryam rasakan kecuali hempasan keras ke luar rel dan pelukan tubuh Bibi yang mendekapnya. Kereta itupun terus melaju meninggalkan mereka. Dada Maryam bergemuruh, hampir saja nyawanya melayang. 

"Itulah yang aku takutkan Maryam! Apa yang kamu lakukan tadi berbahaya!" bentak Bibi. 

Meledaklah tangisan Maryam. 

Bibi mendekapnya dalam pelukan. "Sudahlah Maryam, kamu pasti sedang ada masalah. Biar Bibi yang bawa beras itu pada Koh Liong. Selanjutnya kita pulang. Beristirahatlah kamu di rumah," kata Bibi menangkan Maryam. 

****

Sebutir air matanya jatuh di pipi saat Maryam bicara pada Paman dan Bibi di rumah. "Maryam ingin pulang," katanya sedih. 

Paman dan Bibi berpandangan. Mereka memahami perasaan Maryam. 

"Maafkan paman dan bibimu Maryam," kata Bibi. "Bukan berarti kami  tidak mau menyekolahkanmu, tapi untuk hidup pun kami masih sulit." 

"Paman yang salah, Maryam. Paman pikir bersekolah tidak akan sesulit ini. Paman tak menyangka enam bulan berlalu masih saja belum bisa menepati janji."

Si Kecil Maryam belum terlalu mengerti. Dia hanya berkata, " Tidak apa-apa, paman, bibi. Yang penting Maryam bisa pulang."

Hingga pada akhirnya di hari yang ditentukan Paman mengantarnya pulang. 

****

Langkah kaki Maryam melompat lincah saat turun dari kereta api. Dia berlari menuju rumah yang tak jauh dari stasiun. "Mboook, Mboook, Maryam pulang!" teriaknya gembira. 

Kepulangannya disambut hangat oleh Simbok walaupun ada sedikit gurat kecewa karena Maryam ternyata tak bisa sekolah. 

****

Waktu kembali seperti semula, seperti sedia kala saat Maryam belum berangkat ke Ambarawa. Maryam tetap tak sekolah. Tapi hatinya riang. Dengan cekatan ia,membantu Simbok menyemai padi, memasak, membersihkan rumah, dan meninabobokan adiknya. Impian bersekolah  masih ada di benaknya. Tapi pelan ia tepis semua harapan. Sekolah hanya milik orang kaya. Biarlah dia tetap di sini bersama Simbok, hingga kelak jalan hidup mengalir dengan sendirinya. 

Pagi itu Maryam sedang menyapu halaman ketika Pak Lurah Djauhari datang. 

"Selamat pagi Nak, apa benar kamu yang bernama Maryam?" begitu katanya. 

"Betul, Pak. Saya Maryam," jawab Maryam riang. 

"Maryam, kamu mau sekolah?" tanya Pak Lurah tak disangka Maryam. Hati Maryam berdegup keras karena bahagia. Benarkah yang ia dengar ini? Tawaran untuk sekolah! 

"Ma-mau Pak! Apa bisa?" jawab Marya gugup tapi bersemangat. 

"Tentu saja bisa.  Sedang ada tawaran untuk sekolah SR gratis untuk beberapa anak yang mau. Jika dia berprestasi, ia bisa melanjutkan ke SGB untuk jadi guru," Pak Lurah menjelaskan. 

"Benar Pak? Ya, ya, Maryam mau!" jawab Maryam dengan wajah berbinar-binar. Maryam pun berlari masuk rumah. "Mbook, Maryam bisa sekolah! Maryam bisa sekolah!" 

****

Temanggung, 1969

Seorang gadis cantik melangkah memasuki gerbang sekolah. Bu Maryam, begitu nama guru baru itu. Guru baru yang baru saja lulus dari SGB. Hati Maryam sangat bahagia. Ia tak menyangka cita-citanya yang terpendam lama kini terwujud. Bahkan ia juga tidak menyangka bahwa ceritanya akan selalu menjadi kenangan indah dan inspirasi bagi anak cucunya kelak. Kenangan tentang Maryam, gadis kecil yang tak kenal lelah mengejar cita-citanya.

(kisah nyata dari almarhumah Ibu Salmatun, pensiunan guru SD Baledu, kec Kandangan, kabupaten Temanggung)

---------------------------------------------------------------

Salah satu karya dalam buku antologi Lakon Bumi 5 terbitan Babad Bumi

Komentar

Login untuk melihat komentar!