Tak ada yang lebih menyakitkan selain melihat sorot mata orang yang kita cintai kini terlihat datar. Sorot mata yang dulu penuh cinta itu telah tiada. Berganti sorot mata penuh kebencian yang menganggap kita tak ada.
Widya, wanita itu telah menggantikan posisiku. Kulit putih, rambut panjang, dan postur tubuh sempurnanya memang memikat. Tapi aku tak menduga harga dirinya serendah itu. Masih teringat dengan jelas gadis lugu yang dulu memohon minta pekerjaan padaku. "Tolonglah Kak, aku butuh pekerjaan banget. Ayahku terkena stroke. Aku harus menggantikan ayah jadi tulang punggung keluargaku," ucap Widya dengan air mata berlinang kala itu.
Widya masih kerabat jauh denganku. Bisa dibilang dia berasal dari lingkungan keluarga dengan ekonomi sederhana tapi sangat menjunjung tinggi nilai moral dan kemanusiaan. Karena itu aku merasa harus berbelas kasih mencarikan pekerjaan untuknya.
"Suamiku sepertinya sedang butuh sekertaris, Wid. Coba nanti kutanyakan pada suamiku," jawabku.
"Tapi kuliahku belum selesai, Kak," Widya merasa khawatir. Ya, walaupun berasal dari keluarga dengan ekonomi sederhana tapi ayahnya sangat menjunjung tinggi pendidikan. Apalagi Widya mampu mendapatkan beasiswa untuk kuliahnya.
"Nggak apa-apa Wid, tinggal skripsi doang kan, kamu bisa kuliah sambil bekerja. Mudah-mudahan suamiku mau menerima."
Demi Widya, aku merayu Mas Adrian, suamiku, agar mau menerima Widya. Akhirnya suamiku bersedia menerima Widya sebagai sekertaris.
Widya bekerja dengan baik. Kehidupan ekonominya pun membaik. Penampilan dan pergaulannya pun berubah. Gadis lugu yang sederhana itu telah berubah bak Cinderela dalam pesta yang megah. Namun tak kusangka usahaku mengangkat kehidupannya tak ia balas dengan kebaikan. Bahkan pada akhirnya dia berubah menjadi ular berbisa yang menggigitku dari belakang. Suamiku dia ambil dengan kejahatan yang ia tutupi dengan ekspresi lugu penuh sandiwara.
"Maafkan aku, Kak," dia kembali menemuiku dengan mata berkaca-kaca. "Aku mohon Kakak bersedia menerimaku sebagai madu Kakak, demi bayi yang ada di perutku, Kak."
Kebencianku kini telah memuncak. Sandiwara apa lagi yang kamu persiapkan, Rubah Bodoh? Kamu akan bersembunyi dalam siasat berselimut air mata itu lagi? Seekor rubah yang bersembunyi dalam pakaian dombanya, ia telah menjerumuskan orang yang menyelamatkannya dalam jurang kepedihan. Haruskah aku menerimanya sebagai madu? Oh tentu tidak. Aku memilih bertahan. Aku tak mau bercerai dari suamiku, tapi juga tak mau menerima Widya sebagai maduku. Buatku keutuhan rumah tangga dan kebahagiaan anak-anakku lebih berharga.
Tapi Mas Adrian lebih memilih dia, wanita laknat itu. Tak kusangka itu akan terjadi. Bahkan suamiku melupakan kebahagiaan anak-anakku. Keterlaluan. Dan Widya tersenyum penuh kemenangan. Mungkin dia tak menduga rencananya berhasil lebih cepat dari yang ia bayangkan. Semua sangat menyakitkan.
Aku terlarut dalam pedih yang nyata. Seperti daun-daun kering di pohon yang berguguran. Yang menyisih harus pergi setelah tak diinginkan. Kubenamkan mukaku dalam kedua tangan. Air mata berlinang seiring lagu A Broken Vow yang kuputar di laptopku.
_I let you go ... I let you fly ...Why do I keep ... And asking ..._
_I let you go ... Now that I find_
_Away to keep somehow ..._
_More than a broken vow_
Aku terlarut dalam ngiang lagu yang seolah mewakili perasaanku itu. Hingga kemudian seorang bintang kecilku datang. "Mama, jangan menangis," ucap Farel, anak pertamaku yang kala itu berusia 7 tahun. Kuusap air mataku dan kupeluk dia dengan erat. "Mata mama lagi sakit, makanya keluar air mata terus," kataku berbohong. "Mama sedang menyusun rencana. Mulai sekarang kita harus terus berjuang walau tinggal berjauhan sama Papa. Farel sebagai anak yang paling besar mau kan bantu Mama menjaga adik- adik?"
"Mau, Ma," jawab Farel dengan kepolosannya.
Akhirnya kebahagiaan itu kudapatkan. Ada hal yang kutemukan dalam kesendirian. Ya, kebebasan. Kini aku bisa berkarir dengan bebas. Dulu kebebasanku terbatas untuk meraih cita-cita. Kini aku bisa meraih semuanya. Karirku terus naik dan naik. Kini semua bisa kudapatkan.
Suatu kali seseorang berniat untuk menjalin cinta denganku, tapi aku memilih jadi single parent untuk anak-anakku. Toh dengan menjadi single parent aku bisa meraih kebahagiaanku sendiri. Bahkan aku dan anak-anakku telah melupakan Adrian. Dia sendiri menghilang, dan kami menganggap dia tak pernah ada.
Pagi itu aku sudah aktif di kantor. Kubuka berkas-berkas pekerjaan. Dan kubuka juga berkas lamaran kerja. Eh, berkas siapa ini? Sepertinya aku mengenal pemiliknya. "Widya Ayuningtyas". Tentu saja aku mengenalinya dari foto dan biodata. Bagaimana bisa dia melamar kerja di sini? Bukankah dia istri dari seorang bos besar Adrian Okta yang telah mampu mencukupi kebutuhan hidupnya? Apa dia juga tidak tahu kantor cabang ini aku yang pimpin?
"Selvi," kupanggill sekertarisku. "Panggil dia untuk interview," kataku pada Selvi sambil menyerahkan berkas Widya.
Widya tampak kaget melihatku di hari interview. Wajahnya merah padam. Mungkin dia ingin kabur, tapi sudah tak mungkin dilakukan.
"Hei Widya," kataku tenang sambil menyunggingkan senyum. "Senang bertemu denganmu."
Widya membalas senyumku dengan salah tingkah.
Aku mewawancarainya seperti pada calon karyawan lain. Tapi kemudian kutambah. "Kenapa kamu mencari pekerjaan? Di mana suamimu?"
"Kah Hida, maafkan semua kesalahanku, Kak."
"Sudah kumaafkan dari dulu. Tapi di mana suamimu sekarang?"
"Kami ... sudah bercerai. Dia ... kini sudah bersama orang lain," kata Widya terbata-bata.
Aku tidak kaget. Sebelum Widya mendapatkan mantan suamiku sudah berkali-kali Adrian berpindah wanita. Aku sudah jenuh dengan gaya hidupnya. Minuman keras, hiburan malam, sudah melekat erat di hidupnya. Keinginanku bertahan demi anak-anakpun dia putus di tengah jalan. Bercerai adalah jalan yang terbaik. Tanpanya aku bisa bebas merangkai dunia sendiri. Wanita tak harus menunggu lelaki untuk bahagia. Jika ia tak mampu memberi kebahagiaan, kenapa harus dipertahankan.
Aku tersenyum pada Widya. Kutatap tajam matanya. "Oke Widya, Senin depan kamu bisa kesini lagi untuk tes selanjutnya."
"Terimakasih, Kak," jawabnya tercekat. Dia segera berlalu meninggalkanku. Tapi aku tidak yakin dia berani datang lagi kemari untuk tes.
******
(Buku ini merupakan salah satu cerpen dalam buku antologi Orang Ketiga, terbitan Agra Publisher