Tak ada lain yang terdengar dalam ruang sempit ini kecuali deru nafas lelah dan kesakitan. Bau keringat dan anyir darah menambah kengerian dalam lorong gelap ini. Terseok kuseret kaki yang terasa ngilu dan nyeri mencari jalan keluar dari labirin yang kini kulalui.
"Kak, tunggu aku," kudengar suara Sarah sedikit merintih. Pelan kutolehkan kepala yang terasa berat ini ke belakang. Kulihat wajah Sarah tak lagi seperti biasanya. Ia pucat seperti mayat. Darah merah segar mengucur dari hidungnya.
"Jangan tinggalkan aku, Kak. Aku takut," katanya.
"Ayolah, terus berjalan. Kita harus mencari jalan keluar dari sini," aku memberi semangat pada adikku yang kini tampak kusut, sedikit mengerikan dengan rambut berantakan dan wajah banyak memar luka itu.
"Kenapa labirin ini begitu panjang dan rumit," katanya lagi.
"Berusahalah terus, kita pasti bisa keluar dari sini," terus kupompa semangatnya di antara ngilu, nyeri, dan sakitku.
"Aku tak kuat lagi," kata Sarah.
"Kamu pasti bisa, Sarah. Ayo semangat!"
"Ti-dak Kak," jawabnya terbata. Lalu dia ambruk. Gadis berumur lima belas tahun itu berusaha bangkit, tapi hanya kepala yang berhasil ia dongakkan. Sarah melotot, mulutnya terbuka lebar seperti ia akan muntah. Seketika darah kecoklatan keluar dan mengguyur bajunya. Sarah kini terkulai dan terpejam. Ia terdiam. Tak ada denyut nadi saat kuraba badannya yang kaku. "Sarah, Saraaaah! Bangun,Sarah!" Sarah masih terdiam. Kulihat pupil matanya telah menepi bersembunyi, pertanda bahwa mata itu tak hidup lagi. Sarah ... telah tiada. Saraaah!
Aku meraung dan menangis. Ingin kumendekap dan membangunkannya lagi. Tapi kulihat ada kobaran api diujung lorong, kobaran api yang terus mengarah ke arahku. "Maafkan aku Sarah, aku harus meninggalkanmu," pamitku pada Sarah sambil tertatih menyeret kakiku.
Terus, terus, aku harus terus berjalan. Lihat, ada sedikit sinar terang di depan. Tidak, ia tidak ada di depan persis. Aku harus terus berjalan melalui lorong ini dan berbelok ke kanan. Oh jauh sekali. Kakiku nyeri, pedih, ngilu, sebatang besi seperti menghimpitku. Tapi aku harus terus berjalan.
Kakiku terantuk pada sebuah benda yang sepertinya hidup. Kuraba benda itu, seperti jaket. Ya,ini jaket Hans.
"Alicia," terdengar suara Hans lemah.
"Hans, kau kah itu? Kenapa ruangan ini sangat gelap? Aku tak bisa melihatmu?" kataku panik.
"Pergilah," lemah kudengar suara kekasihku itu.
"Tapi ..."
"Pergilah, sebelum kobaran api itu mengejarmu."
Oh tidak, kobaran api itu semakin dekat. Dengan cepat aku berusaha lari. Akhirnya kutemukan lorong itu, lorong yang lebih terang. Lihat, di depan ada cahaya. Ayo Alicia terus, terus berlari, kusemangati diriku sendiri.
Ah sebentar lagi, ya sebentar lagi. Lima langkah lagi. Cahaya terang itu makin dekat. Terus ... Cepat ... Bertahan... Akhirnya aku berhasil. Aku bisa keluar dari labirin mengerikan ini.
Cahaya di luar sangat menyilaukan. Mataku hampir tak kuasa menghadapi terangnya. Hingga akhirnya setelah beberapa saat aku bisa menyesuaikan dengan cahaya terang itu. Kubuka mata. Tersadar aku dalam ruangan serba putih.
"Kamu sudah sadar, Nak," kata mama yang berada di sampingku.
"Apa yang terjadi, Ma?"
Mama tak menjawab. Dia hanya memelukku haru.
Beberapa hari kemudian baru aku tahu kalau aku, Hans, dan Sarah mengalami kecelakaan. Hans dan Sarah meninggal. Hanya aku yang bisa bertahan.