bagian lima
#JALAN_TAKDIR 5



Malam semakin larut, tapi mataku enggan untuk terpejam. Takdir itu ajaib. Bisa merubah keadaan yang tadinya tidak mungkin, menjadi sangat mungkin. 

Tuhan, inikah jalan takdirku, akan kah, aku mendapatkan kebaikan dari jalan-Mu ini?

Pintu kamar terbuka. Syakir masuk dengan wajah yang kusut dan langkah yang gontai. Dia melihatku, beberapa saat kami saling mengunci pandangan, hingga akhirnya aku mengalihkan pandangan ke arah lain. 

Aku bingung untuk mengambil sikap. Haruskah aku bahagia karena aku bisa jadi istri dari orang yang aku sayang? 

Ataukah, aku harus sedih seperti dia yang sangat terpukul dengan pernikahan dadakan ini? 

"Thalita," panggilnya lemah.

Syakir duduk di ujung ranjang, tepatnya di sebelahku. 

"Kenapa, kenapa ini harus terjadi padaku, Tha?" Dia menangis dengan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Punggungnya bergetar, dia tergugu di sampingku. 

"Aku ... tidak tahu," kataku menahan diri untuk tidak terbawa perasaan. 

"Aku sangat menyayangi Namira, Thalita. Aku tidak bisa tanpa dia," ujarnya lagi. 

Miris, di malam pengantin, suamiku malah mengatakan kalau dia mencintai wanita lain. Ah, sadarlah, kalau aku hanya pengantin pengganti untuknya. Menggantikan Namira, yang tidak datang karena sebuah kecelakaan. 

***

Entah apa yang terjadi di depan sana. Tepatnya di meja akan dilangsungkannya ijab. Kedua orang tua Syakir begitu cemas. Beberapa kali Om Arman mengusap wajahnya kasar. Tidak berbeda dengan suaminya, Tante Anna terlihat sangat sedih. Dia memegangi dadanya seraya mengelus punggung putranya yang akan jadi pengantin. 

"Ma, ada apa ya, kok kelihatannya Tante Anna sepertinya menangis?" tanyaku pada Mama yang sibuk dengan teman sosialitanya. 

"Eh, iya. Kenapa dengan mereka, ya?" 

Mama berjalan menghampiri Tante Anna dan keluarganya. Begitu juga dengan Papa, ia mengikuti langkah istrinya.

Mereka terlibat obrolan serius di sana. Dan aku, masih duduk di tempatku dengan terus memperhatikan mereka. 

Detik berikutnya, semua orang yang aku perhatikan melihat ke arahku. Aku yang bingung dengan tatapan mereka, mengedarkan pandangan mencari sumber objek yang jadi perhatian mereka. 

Namun, tidak ada yang aneh. Semuanya terlihat normal. Selain orang-orang yang mulai kasak-kusuk menunggu mempelai wanita yang tak kunjung datang ke gedung yang sudah disulap menjadi istana. 

"Thalita." Aku tersentak saat Mama sudah berada di depanku. 

"Kenapa, Ma? Apa semuanya baik-baik saja?" tanyaku. Jujur, aku tidak tahu arti dari tatapan Mama padaku. 

"Menikahlah dengan Syakir, Nak?" ucap Tante Anna yang berdiri di belakang Mama. 

"Hah." Hanya kata itu yang keluar dari bibirku untuk mewakili banyaknya pertanyaan yang bersarang dalam otakku. 

"Tante mohon, jadilah pengantin untuk Syakir. Jadilah istri serta menantu di rumah Tante," pinta Tante Anna semakin membuatku tidak mengerti. 

"Apa yang terjadi, kenapa Tante meminta saya untuk menikah dengan Syakir? Ke mana calon istri Syakir yang tertulis di surat undangan?" tanyaku dengan nada sedikit tinggi. 

"Ikutlah dengan kami, Nak." Tante Anna menarik tanganku untuk mengikuti langkah kakinya.

Aku di bawa ke ruang ganti. Tante Anna menyuruh perias pengantin untuk keluar meninggalkan aku Tente Anna, dan juga Mama. 

"Thalita, bantu Tante, Nak. Bantu Tante," ujar Tante Anna dengan berjongkok memegang kedua tanganku. 

"Ya Allah, Tante kenapa begini? Bangun, Tante." Aku menarik tangan Tante Anna dan menyuruhnya duduk di kursi plastik. 

"Coba cerita sama Thalita, ada apa sebenarnya, Tan?" 

Tante Anna menarik napas, lalu mulai berbicara. "Namira, dia kecelakaan, dan dia mengalami koma, Tha. Namira tidak bisa datang untuk menikah dengan Syakir. Tante bingung, Thalita. Tidak mungkin Tante membatalkan acara yang sudah di depan mata," ujar Tante Anna di sela tangisnya. 

"Menikahlah dengan Syakir, jadilah pengganti Namira," pintanya lagi. 

Aku begitu kaget dengan permintaan Tante Anna. Aku memang mencintai Syakir. Tapi untuk jadi pengantin pengganti, aku tidak mau. Terlebih, Namira saat ini sedang koma. Bagaimana perasaannya nanti, jika dia tahu bahwa pria yang dia cintai malah menikah dengan orang lain. 

Aku memang menyayangi Syakir, tapi aku tidak mau menyakiti hati wanita lain. Aku tidak bisa menikah dengan pria yang tidak mencintaiku.

"Maaf, Tante. Thalita tidak bisa. Thalita tidak mau memyakiti wanita yang bernama Namira," ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Tante Anna. 

"Sayang, pikirkan lagi, hanya kamu yang bisa menyelamatkan nama baik Syakir dan keluarganya," ujar Mama membuatku geleng-geleng kepala. 

"Ma, bagaimana aku bisa menyelamatkan nama baik satu keluarga, dan menyakiti keluarga yang lain. Aku tidak bisa, Ma." Aku menatap tajam pada Mama. 

Aku perempuan, Namira pun sama. Meskipun aku sangat ingin menikah, tapi bukan seperti ini jalannya. Aku ingin menikah dengan orang yang juga memiliki perasaan yang sama padaku. 

"Thalita, Om mohon, selamatkan Om dari kebingungan ini. Om tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi. Namira, Om tidak tahu kapan dia akan bangun dari koma. Akan bangun atau tidak, kami tidak tahu." Om Arman masuk dan langsung berucap dengan sangat ringan. 

"Justru karena Namira ada dalam keadaan yang sulit, harusnya kalian ada untuk memberikan dukungan padanya. Namira koma, bukan meninggal. Setiap orang yang koma, masih memiliki harapan untuk bangun dan hidup dengan normal!" kataku dengan emosi. 

Sebagai orang yang berpendidikan, harusnya mereka bisa berpikir lebih jernih. Bukan malah mengedepankan ego tentang nama baik. 

"Masalahnya bukan di sana, Thalita. Masalahnya adalah, kita--"

"Sudah, Om. Apapun masalahnya, aku tidak bisa membantu kalian. Silahkan kalian cari sendiri pengantin pengganti untuk putra kalian," ujarku seraya pergi meninggalkan mereka semua. 

Aku tidak mengindahkan mereka yang terus memanggilku. Aku terus berjalan hingga keluar dari gedung di mana mereka sedang kebingungan mencari pengantin pengganti untuk putra sulungnya. 

Menurutku, mereka egois, tidak memikirkan bagaimana perasaan Namira di sana. Dia sedang berjuang antara hidup dan mati. Sedangkan calon suaminya, malah mencari istri untuk menggantikan dia. Sangat miris. 

"Thalita!" 

Aku berhenti dan berbalik saat suara bariton pria memanggilku dengan lantang. 

"Syakir," lirihku. 

"Tunggu, Tha. Aku mohon bantulah aku dan juga keluargaku, Tha." Dia berkata dengan napas terengah, mungkin dia berlari mengejarku. 

"Kau tidak merasa kasihan dengan Namira, Syakir?" tanyaku dengan sedikit geram. 

"Masalahnya ada pada keluargaku, Tha. Kita terlilit hutang yang sangat besar. Kita bisa terlepas dari hutang, asal kita menikah menggunakan WO teman Mama. Dengan cara kita mempromosikan WO tersebut, ke media sosial. Kalau pernikahan ini batal, kita harus membayar hutang yang akan segera jatuh tempo. Tolong, Tha. Jangan buat batal pernikahan ini. Kasihani keluargaku, Thalita. Aku mohon."

Syakir mengiba dengan kedua tangan menggenggam tanganku. Sekarang, dia bukan hanya memohon, melainkan berlutut di depanku. Semua orang yang datang melihatku dengan Syakir. Kita jadi tontonan tamu undangan yang semakin banyak berdatangan. 

"Bangun, Syak. Kita diliatin banyak orang," kataku menggoyangkan tangan yang masih digenggamnya. 

"Aku tidak akan bangun sebelum kamu mau mengabulkan permintaanku, Tha. Thalita, kita masih sahabat, kan? Kenapa kau tidak mau membantu sahabatmu ini, Tha?" 

"Bukan begitu, Syakir. Tapi, aku--"

"Aku janji, akan mengabulkan keinginanmu jika kau mau membantuku, Thalita. Tolong, tolong aku kali ini saja," pintanya lagi. 

"Tapi ...."

"Aku mohon, Thalita. Aku mohon." Syakir melihatku dengan begitu sendu. Matanya berkaca-kaca.

Aku bisa melihat kalau dia sedang berada dalam situasi yang serba salah. Dia tidak ingin menyakiti hati wanitanya yang kini tengah berbaring koma. Tapi, dia juga tidak mau keluarganya ada dalam masalah besar. 

"Tha ...."

"Thalita!"

"Ok, iya," kataku dengan memejamkan mata. 

"Apa? Katakan lagi, Tha. Kau mau menikah denganku? Iya, Tha?"

"Iya, aku mau," ucapku lemah. 

"Terima kasih, Thalita. Kau memang pahlawanku. Ayok," ajaknya menarik tanganku. 

Aku dan Syakir berjalan beriringan masuk ke gedung dimana acara ijab akan di mulai. Semua tamu undangan sudah berkumpul. Penghulu pun sudah duduk di tempatnya. 

Aku dibawa Syakir ke ruang ganti tadi. Semua orang yang berada di sana mengucap syukur karena aku bersedia menikah dengan Syakir. Kecuali, Papa .... Wajahnya tidak secerah yang lainnya. Dia terlihat sedikit murung, tapi tidak berkata sedikit pun. 

Kini, aku berada di sebelah Syakir yang menjabat tangan penghulu. Dia, dengan satu tarikan napas, berhasil mengucapkan ijab dan mengikatku dengan pernikahan. 

Aku memejamkan mata saat saksi mengatakan sah, bahwa aku dan Syakir sekarang sepasang suami istri. 

Entah, pernikahan apa yang akan aku jalani nanti. Demi Tuhan, aku tidak ingin mempermainkan janji suci ini. Haruskah aku meminta untuk tidak ada kata perpisahan sebagai permintaanku pada dia, yang sudah berjanji akan mengabulkan semua keinginanku? 




Bersambung







Komentar

Login untuk melihat komentar!