bagian delapan
#JALAN_TAKDIR 8



"Kakak." Melihat kedatanganku, Thania langsung menghambur dan memelukku. 

Matanya memerah, wajahnya terlihat begitu khawatir. 

"Gak papa, Dek. Sekarang, kamu sekolah diantar supir, ya?"

"Gak mau, Kak. Kalau aku sekolah, pas nanti aku pulang Mama sama Papa ...." Ucapan Thania menggantung. Dia kembali menenggelamkan kepalanya di dadaku. 

"Mereka akan baik-baik saja, Dek. Kamu sekolah, biar Kakak yang lihat Mama sama Papa, ya?" 

Setelah dibujuk, akhirnya Thania mengangguk dan berangkat ke sekolah. 

Thania anak terakhir dan paling banyak mendapatkan kasih sayang dari kita. Wajar, jika dia merasa takut bila kedua orang tuanya berpisah. Jangankan Thania, aku pun tidak ingin orang tuaku berpisah. Cukup satu tahun dulu, aku hidup hanya dengan Mama. 

"Kamu itu jadi ibu egois, Ma. Kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan anakmu. Kamu terlalu terobsesi menikahkan putrimu, hingga tidak pernah berpikir bagaimana dia kedepannya!" 

"Aku hanya ingin yang terbaik untuk dia, Pa!"

"Terbaik? Dengan cara menikahkan dia?"

"Iya."

"Dengan orang yang tidak mencintainya?" 

"Papa, cinta itu bisa datang kapan saja. Dengan seringnya mereka bertemu, apalagi hidup dalam satu atap, tidak akan sulit bagi mereka untuk saling mencintai. Contohnya kita."

Ya Tuhan, ternyata benar yang mereka ributkan adalah aku. 

"Jangan samakan kita dengan Thalita saat ini. Itu jelas beda."

"Sama saja."

Aku masih berdiri di depan kamar Mama dan Papa. Mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir mereka.

"Aku tidak akan datang di resepsi pernikahan Thalita. Kau saja sendiri yang mengurus semuanya," ucap Papa. 

"Terserah, aku tidak peduli. Aku pun bisa mengurus semuanya sendiri. Kau tidak akan peduli pada Thalita, karena kau memang bukan ayahnya!"

"Jangan pernah mengatakan kalau aku bukan papanya Thalita, sampai kapan pun dia adalah putriku!" sergah Papa dengan sangat geram. 

Tidak ingin terus berdiam dengan hanya mendengar dari luar, aku membuka pintu kamar mereka yang tidak terkunci. Keduanya menoleh padaku dengan napas yang sama-sama memburu. Emosi merajai keduanya. 

"Ya Tuhan ... Mama, Papa apa yang kalian ributkan hingga suara kalian terdengar sampai ke luar?" tanyaku melihat keduanya satu persatu.

"Mama tidak suka jika Papamu terus menyalahkan Mama, atas pernikahanmu dengan Syakir," ujar Mama melakukan pembenaran. 

"Karena kau memang salah, Ma. Kau egois." Papa pun tak mau kalah. 

"Sudah hentikan! Kalian semua salah, kalian semua menjerumuskanku. Kalian punya andil dalam pernikahan ini!" kataku dengan air mata yang menganak sungai. 

"Ma, jika Mama ingin membantu teman Mama, kenapa tidak Mama bayarkan hutang mereka dengan uang Mama. Mama punya banyak uang, Mama punya perusahaan, tapi malah mengorbankan anak Mama untuk orang lain!" ujarku melihat Mama. Wanita yang telah melahirkanku menunduk dan memalingkan wajahnya.

"Pa, Papa pun salah. Papa juga ikut andil dalam pernikahan ini. Jika Papa tidak setuju dengan pernikahan aku dan Syakir, kenapa Papa bersedia jadi wali nikahku, Pa? Jika kemarin, Papa pergi meninggalkan tempat itu, pernikahan antara aku dan Syakir tidak akan terjadi, Pa." 

Papa yang tadi menyunggingkan senyum saat aku meyalahkan Mama, kini tidak terlihat lagi. Kedua orang tuaku terduduk di bibir ranjang dengan saling memunggungi. 

Semuanya terdiam. Papa mengusap wajahnya dengan kasar. Mama masih menunduk diam di tempat.

"Kenapa harus meributkan yang sudah terjadi, percuma ... semuanya tidak akan bisa diulang lagi. Mama sama Papa meributkan tentang anak kalian, tapi lupa jika ada anak yang lain yang ketakutan dengan apa yang kalian lakukan. Thania sampai menangis menelponku, dia takut dan khawatir mendengar orang tuanya saling berteriak." 

Aku memundurkan langkahku hingga punggungku menyentuh lemari. Bersandar di sana, dengan melipat kedua tangan di perut. 

"Sekarang, Thalita sudah menjadi seorang istri. Itu kenyataannya. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Thalita ... sudah menerima jalan yang telah Allah gariskan. Thalita harap, Mama dan Papa juga bisa lebih dewasa dalam menyikapi ini semua. Jangan memperdebatkan lagi Thalita, atau pun yang berhubungan dengan pernikahan ini."

Setelah mengatakan itu, aku keluar meninggalkan pasangan suami istri yang masih saling terdiam. Aku berjalan ke kamarku mengambil snelli dan kunci mobil, lalu keluar dan pergi ke dapur. 

Mengambil satu buah apel dan memakannya seraya duduk dengan tatapan kosong. 

Percayalah, saat ini aku sedang mempersiapkan diri agar bisa lebih kuat dan siap untuk mengahadapi ujian hidup yang akan datang nanti. 

Setelah menghabiskan satu buah apel merah, aku keluar dari rumah Mama. Membuka pintu mobil dan akan pergi ke rumah sakit. 

"Jangan ke rumah sakit, Papa sudah menugaskan dokter lain untuk menggantikanmu beberapa hari ke depan. Bersiaplah untuk resepsi pernikahanmu."

Papa keluar dengan diikuti Mama dari belakang.

"Kalian ... sudah baikan?" tanyaku yang dijawab anggukkan serta senyum penuh makna dari keduanya. 

"Papa membenarkan perkataan putri Papa, semuanya sudah terjadi, dan ribut pun tidak akan bisa mengulang semuanya dari awal. Bukan begitu?" 

"Hmm," kataku bergumam. Cepat juga mereka baikan. Seperti yang tidak pernah terjadi apa-apa pada keduanya. 

"Papa dan Mama harus pergi menemui Oma. Dan kita juga akan mempersiapkan acara resepsimu. Pulanglah ke rumah suamimu, nanti kita juga akan ke sana."

Setelah mengatakan itu, Papa masuk ke dalam mobilnya bersama Mama. Keduanya pergi dan meninggalkanku yang masih berdiri di samping mobil milikku. 

*

Setelah dari rumah Mama, aku pergi ke supermarket untuk membeli sayur mentah dan kebutuhan lainnya. Dikarenakan aku tidak tahu apa saja yang harus di beli, alhasil aku mengambil satu persatu jenis sayur yang ada di sana. 

Dua keranjang sayur dan bumbu dapur, serta beberapa macam ikan segar dan daging sudah aku dapatkan. Bersusah payah aku membawa semua belanjaanku ke depan kasir dan membayarnya.

Setelah selesai, aku kembali terdiam dan menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Lagi, aku kesulitan membawa empat kantong keresek besar belanjaanku. Sedangkan mobilku terparkir lumayan jauh dari pintu supermarket. 

"Butuh bantuan?" Seorang pria berjalan dengan menebar senyum padaku. 

"Ah, tidak usah terima kasih. Nanti ... saya bawa satu persatu saja," ucapku menolak. Padahal aku memang butuh bantuan. 

"Jangan menolak bantuan, itu tidak baik," ujarnya mengambil dua kantong belanjaanku dan membawanya.

"Eh." Buru-buru aku mengangkat dua kantong belanjaanku. Dengan langkah lebar, aku menyusul pria tadi yang sudah berjalan terlebih dahulu. 

"Di mana mobilnya?" Dia berhenti dan berbalik secara mendadak, membuatku hampir saya menubruk dadanya. 

"Eh, di sana." Aku menunjuk mobil yang terparkir di ujung tempat parkir. 

"Terima kasih, Dok. Sudah mau membantu saya," ujarku saat sudah menyimpan barangku di bagasi mobil. 

"Sama-sama. Jangan terlalu sungkan, Dokter Thalita."

"Hm, kalau gitu saya permisi." 

"Dokter Thalita," panggilnya saat aku hendak masuk ke dalam mobil. 

Aku menoleh ke arahnya yang masih berdiri dengan memasukkan tangan ke dalam saku celananya. 

"Selamat atas pernikahannya. Semoga selalu bahagia," ucapnya lalu membalikkan badan dan meninggalkanku. 

Dalam hati aku mengaminkan doanya. Selalu bahagia, itu juga harapanku. Aku menatap punggung pria yang kini berjalan semakin menjauh dan hilang di balik pintu mobil miliknya.

Dokter Adam. Dia adalah salah satu dokter spesialis bedah umum di rumah sakit Papa. Orangnya baik, tapi dingin dan cuek. 

Aku mengedikkan bahu dan masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesin, dan langsung tancap gas pulang ke rumah Mama Anna. 

Lima belas menit perjalanan, kini aku sudah sampai di halaman rumah. Membuka bagasi untuk mengambil belanjaan yang tadi aku beli. 

"Kenapa gak bilang kalau mau belanja?" 

Tangan yang hendak mengangkat kantong keresek berisi sayur dan buah, terhenti saat ada suara yang bertanya di belakangku.

"Hanya kebetulan lewat," ujarku tanpa menoleh. Aku sudah mengenal pemilik suara itu. 

"Kebetulan atau janjian?" Aku mengernyitkan kening saat Syakir kembali bertanya. 

Tunggu, kenapa jantungku semakin berdetak dengan cepat? Ada yang terjadi kah, di belakangku? 

Aku membalikan badan dan kurasakan dadaku semakin terasa sangat sesak saat menyadari ternyata posisi Syakir begitu sangat dekat denganku. Syakir maju selangkah dan aku memundurkan kakiku. Nihil, kakiku sudah tidak bisa mundur lagi karena terhalang mobil. 

Sekarang, jarak anatara wajahku dan Syakir hanya sekitar satu jengkal. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya yang menerpa wajahku. 

Aku kian menegang saat Syakir mencondongkan badannya. Bukan hanya itu, dia juga mengangkat kedua tangannya semakin membuat darahku membeku.

Kedua tangan Syakir melewati pinggangku, pipinya hampir saja bersentuhan dengan pipiku. Aku tersenyum dan hendak melingkarkan tanganku di pinggangnya. 

"Geser kali, Tha gue mau ambil belanjaan, lo." Buru-buru aku menarik kembali tanganku yang sudah hampir menyentuh pinggangnya. Rupanya dia mau mengambil belanjaanku bukan untuk memelukku.  

Syakir menjauhkan badannya dan berlalu masuk ke dalam rumah setelah menenteng dua keresek dari dalam mobilku. Aku menjatuhkan bokongku di bagasi mobil, menetralkan perasaanku yang ... kecewa. 





Bersambung








Komentar

Login untuk melihat komentar!