#JALAN_TAKDIR 7
Setelah pertempuran aku dan Syakir, kini kita terbaring lemas di lantai. Kamar pengantin yang tadinya rapi, kini berantakan bak kapal pecah yang terombang-ambing di lautan. Tidak berupa.
Kertas kado berserakan, kado yang sudah dimasukan ke keranjang, sudah keluar dari tempatnya. Bantal, selimut bertebaran tidak pada tempatnya.
Napasku terengah-engah, detak jantungku sangat cepat seperti baru selesai lari maraton.
"Syakir."
"Hmm." Lelaki yang berbaring di sampingku menjawab dengan bergumam.
"Lo, kenapa gak nikahi Namira kemarin? Kan, pernikahan akan tetap sah jika yang tidak sadarkan diri adalah mempelai wanitanya." Aku menoleh di mana dia terbaring.
Syakir menyimpan tangannya sebagai bantal. Matanya lurus melihat Langit-langit kamar.
"Gue, juga sudah bicara sama orang tuanya di telpon. Malah, penghulu juga sudah membantu gue untuk menjelaskan. Tapi, ayahnya Namira tetap tidak mengijinkan. Dia bersikeras ingin membatalkan pernikhan. Gue juga gak ngerti," ujarnya dengan tatapan yang sendu.
"Sudah kembali menghubungi mereka?"
Syakir menggeleng.
"Kenapa?"
"Gue, akan ke rumahnya besok. Dan menanyakan langsung di mana Namira dirawat."
"Hmm, itu lebih baik," ucapku dengan tercekat.
"Terima kasih," ucapnya membalikan badan hingga mengadapku.
"Untuk?"
"Pengertianmu. Tha, apa lo, pernah patah hati?" Syakir menyangga kepalanya dengan sebelah tangan. Matanya begitu lekat menatapku.
"Pernah." Sampai sekarang pun, aku masih merasakannya.
"Serius? Kapan? Kok gue gak pernah tahu lo, jatuh cinta, ya?" Keningnya berkerut. Aku tersenyum tipis ke arahnya.
Aku memiringkan tubuhku hingga berhadapan dengannya. Menyangga kepala dengan sebelah tangan, persis seperti yang dia lakukan.
"Tidak semua orang harus tahu tentang isi hati, lo. Dan tidak semua perasaan bisa lo, ungkapkan. Gue, patah hati bukan karena diputuskan, atau ditinggalkan. Melaiankan, karena cinta yang tidak kesampaian," ucapku dengan menatap matanya tajam.
Ini bukan perumpamaan, tapi sebuah kebenaran. Dan dialah, orang yang kini aku tatap matanya yang telah membuatku patah hati.
"Gak nyangka gue, kalau lo pernah jatuh cinta. Mirisnya, cinta lo bertepuk sebelah tangan."
Ya, sangat miris. Mirisnya lagi, dia tidak sadar telah aku cintai. Dan itu kau, Syakir.
Aku memejamkan mataku menahan agar tidak ada tatapan sendu yang aku perlihatkan padanya.
Aku membuka mata dan menggeliat. Ada yang aneh saat aku membuka mata. Aku tidur dengan bantal di bawah kepalaku. Kamar yang tadinya berantakan sudah sangat rapi. Selimut yang teronggok di lantai, kini sudah menempel menutup tubuhku.
Aku bangun dan melihat pada jam dinding di sebelah foto keluarga Syakir.
"Jam lima."
Apa semalam aku langsung tidur saat sedang ngobrol dengan Syakir? Memalukan.
"Sudah bangun?"
Aku menoleh pada orang yang bertanya. Rupanya Syakir, dia keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Aku masih berdiam mengumpulkan tenagaku.
"Lo ... yang beresin kamar?" tanyaku saat Syakir tengah menyisir rambut basahnya.
"Kalau bukan gue, terus siapa? Gak akan ada yang berani masuk ke sini. Apalagi, sekarang ada, lo."
"Hm, sorry. Gak bantuin beresin," ucapku tak enak hati.
"Makanya, kalau lari ya, lari. Jangan sambil lempar barang," ujarnya melempar senyum. Aku menundukkan kepala menghindari senyumnya yang membuatku semakin berdebar.
Semalam aku dan Syakir terlibat kejar-kejaran. Dia yang jail, dengan berusaha menangkapku membuatku menghindar dengan melempar barang ke arahnya. Alhasil, kamar menjadi berantakan dan tubuhku kelelahan.
Syakir keluar dari kamar. Aku pun pergi mandi dan bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Meskipun katanya aku pengantin baru, aku tetap harus kerja. Karena pernikahanku tidak direncanakan.
Setelah selesai bersiap, aku pun turun untuk menyapa semua penghuni rumah. Saat aku akan sampai di ruang makan, terdengar Tante Anna yang berbicara pada Bi Inah–pembantu di rumah ini.
"Kenapa Bibi tidak mau pindah kerja? Bukankah Bibi mempunyai tanggungan dan harus membayar uang sekolah anak, Bibi? Kalau di sini terus, bagaimana dengan biaya sekolah anak Bibi?" tanya Tante Anna. Pasti Tante Anna memberhentikan bibi.
"Tidak apa, Bu. Saya tidak mau berhenti. Biarkan saya di sini dulu, sampai masalah di kampung saya selesai. Keluarga saya, akan sangat menyudutkan saya jika saya pulang sekarang, Bu." Bi Inah berkata dengan wajah tertunduk.
Untungnya, semalam aku sudah berbicara pada bibi agar jangan mau berhenti jika Tnte Anna memecatnya.
***
"Bi, sudah lama bibi bekerja di sini?" tanyaku.
"Sudah, Neng. Tapi, sepertinya sebentar lagi saya akan diberhentikan Ibu, Neng."
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Sekarang, keuangan ibu sedang tidak baik. Ibu juga sudah bilang pada saya, kalau dia akan memecat saya. Padahal, saya sangat betah dan butuh pekerjaan ini," ujar Bi Inah memsaukkan sampah ke kantong plastik.
"Bi, bibi mau tetap bekerja di sini?" tanyaku membuatnya mengangguk.
"Nanti, jika Tante Anna menyuruh Bibi berhenti, Bibi jangan mau. Cari saja alasan yang membuat Bibi akan bertahan di sini. Untuk upah Bibi, biar nanti saya yang bayar. Tapi, Tente Anna dan yang lainnya jangan sampai tahu tentang kerja sama kita, ya. Gimana, Bi?"
"Bisa, bisa, Neng. Jadi, mulai sekarang yang gaji saya, itu Neng Dokter?"
"Heem, asal Bibi harus jaga rahasia. Bibi mau kan?"
"Iya, Bibi mau. Yang penting, bibi tetap kerja. Bibi janji akan jaga rahasia, Neng," ujarnya semangat.
Bukan tanpa alasan aku mempertahankan bibi. Salah satunya aku tidak mau Tante Anna kecapekan mengurus rumah. Apalagi aku dan anak-anaknya yang sering di luar rumah. Dan yang paling penting, aku tidak bisa masak. Apa kata dunia jika nanti akau disuruh masak dan rasanya ancur-ancuran.
***
"Pagi," ucapku membuat semua yang tadinya membujuk Bi Inah, berhenti bekerja kini terdiam.
"Pagi Thalita, kamu mau ke mana? tanya Tante Anna.
"Thalita mau ke rumah sebentar, Tan. Dan mungkin ke rumah sakit juga," kataku dengan senyum semanis mungkin.
Bi Inah menyimpan satu gelas teh di depanku. Dia juga mengacungkan jari jempolnya saat aku mengambil piring darinya. Aku pun membalasnya dengan mengedipkan sebelah mata padanya. Untungnya, semua tengah sibuk dengan sarapan masing-masing.
"Thalita, kamu kan sudah menjadi anak kami, jadi jangan panggil Om dan Tante lagi. Sekarang, panggilnya mama dan ayah, sama seperti Syakir dan kedua adiknya," ujar Tante Anna.
"I–iya, Tan. Eh, Mama maksudnya," kataku sangat canggung.
Acara sarapan sudah selesai. Semua orang mulai pergi satu persatu. Tinggalah aku sendiri yang berniat membereskan dan mencuci bekas sarapan. Setelah menyimpan piring kotor dan mencucinya, aku membuka kulkas siapa tahu ada buah segar yang bisa aku makan. Memang sudah kebiasaanku, jika setelah makan, aku akan ngemil buah atau membawanya ketika bekerja.
Namun, sayang tidak ada buah di kulkas. Juga tidak ada sayur lainnya. Yang ada hanya telur tiga butir dan air mineral saja. Pantas saja, pagi ini Tante Anna hanya menyuguhkan sarapan dengan nasi goreng saja.
Ok, sepertinya pekerjaanku sekarang bertambah. Setelah dari rumah sakit, aku akan membeli sayur ke supermarket.
"Ma, Ayu harus beli buku, Ma. Uangnya ada
gak?"
"Aluna, juga, Ma."
Langkahku terhenti saat mendengar kedua anak kembar Tante Anna merajuk.
Aku jadi ingat kedua adik kembarku yang kini sedang melanjutkan kuliah di luar negeri. Mereka juga akan merajuk jika seandainya Mama dan Papa tidak memiliki uang untuk kuliah mereka.
"Nanti dulu ya, Nak. Uang yang semalam, akan Mama dan Ayah gunakan untuk acara resepsi kakakmu besok. Mamanya Kak Thalita yang minta. Mama tidak enak kalau menolak," ujar Tante Anna.
Kedua anak gadisnya merengut sedih karena tidak bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan.
"Yaudah, deh. Kita berangkat, ya Ma."
Keduanya berangkat setelah mencium tangan ibunya dengan bergantian.
Aku pun keluar dan berpamitan pada mama mertuaku. Rencana hari ini ke rumah Mama terlebih dulu, lalu ke rumah sakit. Aku mengeluarkan ponsel dan memesan taxi online. Lihat, suamiku saja sudah pergi entah ke mana. Mana dia peduli aku akan ke mana dan naik apa. Dan lebih sakitnya lagi, dia pasti akan menemui kekasihnya. Malang sekali nasibku.
Sebuah mobil berhenti di depanku yang berdiri di depan gerbang rumah Mama Anna. Aku pun masuk dan mobil mulai melaju kembali.
Aku mengambil ponsel yang berbunyi, menggeser tombol hijau di layar, lalu menempelkannya ke telinga.
"Kakak ... hiks, hiks."
"Thania, kenapa kamu nangis, Dek?"
Aku sangat kaget saat suara tangis Thania yang pertama aku dengar.
"Mama, Kak. Mama sama Papa, bertengkar. Aku takut, Kak."
Astaga, apa yang mereka ributkan, hingga membuat Thania menangis ketakutan. Ini pasti ada yang tidak beres. Tidak biasanya orang tuaku bertengkar sampai diketahui anaknya.
"Kamu tenang, ya. Kakak segera ke sana, sekarang."
Ya Tuhan, ada apa dengan kalian orang tuaku? Kenapa sampai Thania tahu kalian bertengkar. Biasanya juga hanya akan diam-diaman saja. Itu pun akan sebentar dan anak-anak tidak akan tahu jika kalian ada masalah.
Apa karena aku? Ah, mungkin saja.
Bersambung