2

"Vid, sory ... kali ini aku belum bisa bantu."

Yasmin menatap dengan mata yang seperti menyimpan rasa bersalah. Temanku ternyata tak bisa membantu banyak untuk mencarikan peluang di kantornya bekerja. Wajar, disini yang dicari pasri sarjana. Sedangkan lowongan untuk Office Girl yang sesuai untuk orang sepertiku, sudah terisi.

"Gak apa-apa Yas, belum rezeki. Nanti aku cari di tempat Tiga saja."

Tiga adalah nama teman kami. Orang tuanya memang suka bercanda dalam memberi nama anak. Kelima saudara kandung Tiga, pasti dinamai dengan angka sesuai urutan kelahiran.

Tiga baru dua bulan bekerja sebagai staff administrasi di sebuah yayasan penyedia jasa asisten rumah tangga. 

"Emang kamu mau, kerja di sana?" tanya Yasmin sambil memicingkan matanya, seakan tak percaya dengan keputusanku. 

"Ya, mana tahu di sana mereka sedang mencari talent sebagai model vidio klip."

"Maksudmu? Itu kan bironya ART! Bukan biro modeling."

"Ya mana tahu kan, ada yang mau buat vidio klip, trus butuh peran pembantu.”

Tiba-tiba wajah Yasmin banyak kerutannya.

Ya, mana tahu gitu ceritanya. Kan sah-sah saja menghayal, gratis juga. Kata pepatah memang gitu, gantung cita-citamu setinggi langit. Kalau gak ada cita-cita yang bisa digantung, mantan juga boleh. 

Beginilah nasib perawan di ibu kota. Udah hidup sebatang kara di perantauan, kuliah berhenti di tengah jalan, sekarang terancam terusir dari kosan pula.

"Kasian perempuan kayak kamu jadi pembantu, Vid," cegah Yasmin lagi.

"Udahlah Yas, gak jelek-jelek amat kok jadi pembantu. Itu contohnya Pak Ghani, M.Sc. Pembantu kan profesinya sampai sekarang? Tapi, jadi orang nomor dua di kampus kita!"

Butuh beberapa saat bagi Yasmin untuk menyadari apa yang sebenarnya kumaksud.

"Astaghfirullah Vivid! Itu Pembantu rektor, alias Purek! Mana bisa disamain Pak Ghani dengan pembantu yang kerjanya ngosek kamar mandi orang!"

"Apakah arti sebuah jabatan Yas, sama-sama pembantu kok. Sama kayak kamu tuh, asik ngeluh jadi tenaga kontrak. Belajar dong dari Christiano Ronaldo!"

"Kok larinya ke Christiano Ronaldo sih Vid!"

"Emang kamu gak tau, kalau selama ini dia jadi pemain sepak bola terkenal dan kaya raya itu cuma dikontrak!"

Tiba-tiba, Yasmin mendaratkan sebuah cubitan di lenganku.

"Lama-lama otakku menyusut kalau kelamaan ngomong sama kamu!" ucapnya sambil tertawa.

Gak tega bikin isi kepala orang nyusut, akhirnya aku memilih pamit ingin menemui Tiga.

"Sekali lagi maaf ya, belum bisa kasih kamu pekerjaan, tapi kalau lu perlu bantuan lainnya jangan sungkan kasih tau ya."

Yasmin masih dengan perasaan bersalahnya akhirnya memelukku sebelum kami berpisah. Aku tahu, perempuan ini sudah berusaha semampunya. Dan aku tak ingin membiarkannya merasa menjadi teman yang tak bisa diandalkan.

"Udah, gak usah merasa bersalah gitu. Belajarlah dari anggota dewan ... walau udah menzalimi seluruh warga negara, gak ada rasa bersalah sedikitpun."

Yasmin kini kembali tersenyum sebelum melepasku pergi. Aku bukan tipe manusia yang suka mendramatisir keadaan. Sudah banyak kepahitan kualami sejak kecil, tak punya uang atau pekerjaan hanya hal kecil. Apalagi tak punya pacar.

Pacar? Apa itu pacar? Apakah sejenis umbi-umbian?

***

"Yakin kamu Vid? Mau jadi pembantu?"

Sekarang giliran Tiga yang kembali menanyakan hal yang sama.

"Dan terjadi lagi ..." balasku sambil menyanyikan lagu bang Boril, temannya Bang Bokir.

"Serius duhai Vivid. Sesungguhnya kamu tidak pantas atuh jadi pembantu, kamu cocoknya jadi model, sekretaris pribadi, atau minimal jadi istri simpan pejabat."

Tiga memang kadang sedikit absurd. Selain gaya ngomongnya yang suka campur-campur antara bahasa jadul dan bahasa gaul, idenya juga jarang-jarang out of the box. Masak aku disaranin jadi simpanan pejabat.

"Serius duhai Tiga. Emang pekerjaan apa lagi yang bisa aku dapatkan selain jadi upik abu. Modal Ijazah SMA doang juga, mana bisa aku belagu mendaftar jadi rektor."

Kalau bukan kesalahan bang Ridwan yang asik main trading, bisa jadi aku sudah tamat kuliah dari tahun kemarin dan sekarang bisa bekerja di kantoran. Satu-satunya saudara laki-laki yang kupunya malah tega menjual menghabiskan semua uang keluarga, bahkan menggadaikan sertifikat rumah demi main saham. Lalu hasilnya?

Kami tak punya apa-apa lagi, bahkan ayah sakit-sakitan sekarang.

Syukurlah, walau tak bisa meraih gelar sarjana, tapi setidaknya ayah masih bisa tinggal sedikit layak dengan Kak Sita di desa. Rumah tipe 35 milik abang iparku setidaknya masih sedikit leluasa selama mereka masih hanya punya satu anak.

"Tapi, Vid, bukannya mau matahin semangat kamu. Sesungguhnya para pencari jasa ART biasanya mereka nyari pembantu yang umurnya diatas 30an. Bahkan yang banyak dicari 40an."

"Kenapa begitu? Padahal secara energi banyak-banyak anak muda. Aku biasa kok melakukan pekerjaan rumah tangga, kamu kan tau aku gimana."

"Iya aku tahu, yang kamu masak sesungguhnya enak semua. Kamu juga jago bersih-bersih. Tapi para ibu-ibu out threre gak mau kalau sampai seorang pembantu menjadi ancaman dalam rumah tangga mereka."

"Maksudnya?"

"Duhai, Vivid. Your look, your age, kamu itu pasti akan menggoda iman, islam, dan ihsan suami mereka."

Ya ampun sebegininya hidup. Saat perempuan diluaran sana beramai-ramai ingin lebih cantik, ingin terlihat lebih muda, seketika aku inginkan sebaliknya.

Terdengar suara mobil mendekati ruko dimana aku dan Tiga sedang berbicara tentang peluang kerja. Kami berdua segera menoleh saat derap langkah terdengar kian dekat.

"Itu bukannya si Beauty Vlogger? Thalia?"

Tiga mengangguk menyadari sosok yang kini berdiri di hadapan kami dengan high heel merah, tas branded, dan kacamata hitam yang membuatnya terlihat berbeda kasta dengan kami.

"Silahkan duduk, Bu. Ada yang bisa kami bantu."

Tiga memberi isyarat dengan matanya agar aku menjauhi mereka dulu.

Akhirnya aku memilih menepi ke sudut ruangan sambil menonton TV. Kantor ini konon hanya ada empat pekerja, dua staf di atas, dua di bawah, satu petugas lepas. Yang punya lembaga adalah tantenya Tiga, beliau hanya standby di sini sampai zuhur.

Sekilas aku menoleh ke perempuan cantik bernama Thalia itu. Parasnya benar-benar layak jadi pusat perhatian, walaupun kami tak begitu yakin itu cantik bawaanya atau polesan. 

Aku tak tahu apa yang mereka obrolkan saat melihat-lihar CV pekerja, tapi dari raut Thalia sepertinya ia tak mendapatkan kriteria yang diinginkan. Padahal tadi aku sempat melihat ada belasan berkas pekerja, yang punya pengalaman kerja tinggi, bahkan ada yang pernah kerja di rumah pejabat penting dan artis.

Tiba-tiba Thalia melihatku, seperti berusaha memindai tubuh ini dari ujung rambut sampai ujung kulon. Eh sorry, kelewatan.

Karena tak nyaman, aku segera memalingkan wajah. Takut kalah saing.

Beberapa saat lamanya aku kembali menonton TV, hingga kemunculan Tiga yang tiba-tiba di samping sedikit mengagetkanku.

“Aneh. Thalia justru maunya ... kamu yang jadi pembantunya,” bisik Tiga.

"Hah? Gak salah dengar ni?

Walaupun senang, tapi aku jadi bertanya-tanya. Kenapa influencer sepertinya lebih memilihku, yang hanya seorang pendatang baru di dunia perbabuan?

Apakah ada sesuatu di balik ini? 

( Bersambung )