Jam sudah menunjukkan angka sebelas malam, tapi aku juga belum bisa memejamkam mata. Berselancar ke dunia maya, kucoba melacak jejak Bu Thalia. Tapi tak ada jejak apapun yang ditinggalkan terkait posisinya sekarang.
Bak seorang ditektif, kucoba melihat akun-akun yang difollownya. Barangkali ada kemunculan bulee itu disana.
Setelah menggeledah hampir seribu akun, aku akhirnya mendapatkan enam akun warga negara asing, terutama yang rambutnya pirang. Tiga diantaranya ternyata bukan yang aku cari, sementara tiga lagi – sayangnya -- akun tersebut diprivate.
Kemungkinan besar salah satunya adalah dia.
[ Ternyata Vaksin dua kali tak cukup membuat anda bebas dari virus Covid ]
Sebuah link masuk ke grup Paspampres, dari Mbak Laksmi, tentang sepak terjang virus abad ini. Virus yang benar-benar aneh. Selain pernah mengakibatkan, masker, vitamin C, dan tabung oksigen langka, ternyata virus ini juga bisa mengakibatkan minyak goreng jadi langka. Entah apa hubungannya.
Kabar baiknya adalah, ternyata anggota Paspampres ada yang belum tidur juga. Aku ada teman ronda.
Kulihat Surti sedang typing disana, sedikit lama.
[ Pertama dibilang masker aja gak cukup, harus sanitizer. Trus Sanitizer ternyata juga gak cukup, harus PPKM. Terus ternyata PPKM juga gak cukup, harus vaksin. Setelah vaksin, ternyata gak cukup juga?
Itu virus, atau istri juragan? Gak cukup-cukup. Banyak sekali maunya. Ribet benar! ]
[ Wkwkkw. Pada belum tidur juga? ]
Aku akhirnya ikut nimbrung.
[ Belum, lagi menjaga dunia dari serangan alien. ] jawab Surti.
[ Belum bisa tidur, keingat anak di kampung. ] lapor Mbak Laksmi.
[ Lagi kesal, gak bisa tidur. ] sahut Mbak Mariati.
[ Kesal kenapa? ] Kepo Surti.
[ Dimanfaatkan keluarga sendiri, sakit rasanya. ]
[ Makanya, pakai motto hidupku dong ... "Jadilah kamu manusia yang tak bermanfaat, agar tak bisa dimanfaatkan oleh orang lain." ] balasku dengan emoticon pakai kacamata.
[ Sendirian di rumah, Iv? ] tanya Surti sebelumnya didahului emot tertawa.
[ Iya, nasib kerja dengan orang sibuk. ]
Yang satu sibuk kerja, yang satunya lagi sibuk pelisiran.
Lalu mengalirlah chat-chat panjang, saling berbalas pantun antara kami berempat--yang belum bisa terlelap--padahal lima menit sudah jam 00.
[ Hati-hati ya Iv, jangan mentang-mentang istrinya gak ada, kamu tergoda rayu suaminya. ]
Baru membaca pesan Mbak Laksmi tiba-tiba mendengar deru mobil memasuki perkarangan rumah. Tapi sepertinya itu bukan suara mobil Bu Thalia juga bukan punya Pak Kenzi.
Duh, kalau ternyata perampok bagaimana?
Segera kupantau dari balik tirai ruang tamu. Demi mengetahui siapa yang datang tengah malam begini.
Seorang lelaki berbaju biru keluar dari sedan berwarna hitam tersebut. Aku tak pernah melihatnya sebelum ini. Ia membukakan pintu mobil bagian belakang, lalu mengeluarkan seseorang dengan cara dipapah.
Pak Kenzi kenapa?
Sepertinya telah terjadi hal yang tak baik.
Aku segera membukakan pintu agar memudahkan kedua lelaki itu masuk. Pak Kenzi sepertinya diambang kesadaran, terlihat dari matanya yang sulit membuka.
"Pak Kenzi mabuk."
Aku bahkan tak sempat melihat ekspresi rekan kerjanya itu saat berkata demikian, karena begitu kaget melihat Pak Kenzi dengan penampilannya yang sangat patut dikasihani.
Ada lebam di bawah mata lelaki itu, bahkan lengan bajunya sobek.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyaku. Kalau hanya mabuk rasanya tak akan babak belur seperti ini.
"Saat mabuk, ia buat kekacauan di club ... maaf saya gak tau kalau beliau belum pernah minum alkohol sebelumnya," lanjut lelaki itu dengan suara nyaris tak terdengar. Seperti mewakili perasaan bersalah.
"Saya merasa beliau terlihat kacau. Padahal saya hanya ingin mengajak beliau sedikit bersenang-senang," lanjutnya.
Nah, ini ni! Akibat salah pilih teman.
Kalau gak ingat bahwa aku hanya seorang pembantu, sudah kuceramahi temannya ini.
"Apakah sebaiknya saya bawa ke kamar saja?" tanya lelaki yang sepertinya hanya selisih satu atau dua tahun dengan Pak Kenzi. Ia bahkan tak bertanya apakah aku ini keluarga atau pembantu dari pemilik rumah.
"Iya, dipapah ke kamar saja."
Aku cuma sendiri disini, tak mungkin minta bantu Ronald --si kucing negro-- untuk pindahkan Pak Kenzi kamar.
Aku mengekori kedua lelaki itu di belakang mereka, menuju kamar utama. Beruntung tidak dikunci.
"Perempuan******semua ... kamu juga, cantik-cantik kok jadi pembantu!”
Walau terdengar seperti orang kumur-kumur, aku bisa menangkap umpatan itu, tepat setelah Pak Kenzi berhasil direbahkan ke atas ranjang. Namun setelahnya lelaki itu sepertinya benar-benar pingsan, atau tertidur. Kami tak begitu yakin.
Yang pasti matanya tak lagi ada pergerakan sedikitpun. Demikian juga anggota tubuh yang lain.
"Ini gak apa-apa, Pak? Gak harus dibawa ke rumah sakit dulu?" tanyaku pada rekannya yang entah siapa namanya.
"Jangan, Mbak. Selama ini bapak terkenal sangat menjaga privasinya. Kalau dibawa ke rumah sakit takutnya Bapak gak suka. Biasanya orang mabuk nanti akan sadar sendiri. Lagipula gak ada luka sobek. Hanya memar di bagian wajah, bisa kompres saja."
Aku akhirnya sedikit bernafas lega. Soalnya kalau dia kenapa-kenapa, aku pula yang akan repot.
Getar ponsel dari saku celana lelaki yang tak kutahu namanya itu, membuatnya berhenti menjelaskan apa yang mungkin harus kuketahui.
Karena suasana hening, aku sedikit bisa mendengar kalau di seberang panggilan sana adalah seorang perempuan. Dari intonasinya seperti orang sedang kesal.
"Iya Ma, iya, Papa pulang sekarang! Jangan dikunci Ma, dingin diluar!" jawab lelaki itu seperti panik. Lalu mematikan teleponya.
"Maaf Mbak, saya pamit dulu. Karena juga sudah ditelepon oleh istri saya!" ucap lelaki itu padaku.
Dasar lelaki! Udah tahu istri nunggu di rumah, malah clubbing. Pakai ajak orang lain sampe babak belur gini, lagi.
Aku membiarkan lelaki itu pergi.
Setelah memastikan rumah sudah terkunci semua, segera aku mencoba melakukan sedikit tindakan untuk mengurangi lebam di wajah Pak Kenzi.
Kuambil air dingin dan handuk kecil, untuk mengompres. Lebam diwajahnya harus diberi tindakan agar tak sampai bengkak parah.
Aku tahu sedikit bagaimana menangani lebam seperti ini dari kak Sita. Walau sedang sedang berhenti bekerja, sebenarnya dia adalah seorang perawat.
Lelaki yang tak sadarkan diri itu tidak bergerak saat aku menyentuhmu wajahnya.
"Semoga bisa jadi pelajaran. Cukup pertama dan terakhir kalinya minum alkohol, ya belagu." ucapku dengan suara nyaris tak terdengar.
Sesaat aku memindai wajahnya, dari sudut atas begini hidungnya terlihat begitu menanjak. Ia juga punya alis yang begitu hitam dan rapi.
"Maafkan abang, Diana. Maafkan abang .. gak dengarin nasehat kamu."
Lelaki itu mengigau tentang adiknya.
Mendengar nama temanku disebut, seketika merasa terlempar ke masa lalu. Diana adalah teman yang sangat loyal, dan rendah hati. Hanya saja dia merupakan sosok introvert, tak bisa berteman dengan keramaian.
Aku sempat merasa tak enak hati saat menjauh darinnya, karena ia tak punya banyak teman dekat. Tapi karena aku dimasukkan ke kelas unggul, mau tak mau kami mulai berjarak karena tak sekelas lagi.
Semoga ia tak menduga kalau aku menjauh karena abangnya menolak cinta ini, ada banyak faktor pada kenyataanya.
"Jangan pergi!"
Aku tak yakin sebenarnya lelaki ini sudah sadar atau belum. Matanya terpejam, ucapannya lemah, tapi tangannya berusaha menggapai tanganku yang sedang mengganti kompres di wajahnya.
"Duh, jangan pegang-pegang dong Pak. Sepi lho ini. Jangan buat saya khilaf."
( Bersambung )