Setelah pemasangan kain sprei saat pagi, aku tak mendapatkan panggilan apapun lagi. Padahal ini sudah siang hari, namun sepertinya lelaki itu belum ingin makan apapun sejak tadi pagi.
Aku tak berencana menawarkan makanan lagi ke kamar, dengan pertimbangan bahwa lelaki itu sudah punya nomorku, kalau-kalau ia ingin makan sesuatu. Sebenarnya aku juga sudah mepersiapkan beberapa menu juga tadi, kalau-kalau Pak Kenzi lapar.
Rumah sudah kinclong, baju juga sudah disetrika, kini saatnya rebahan.
Tapi bukannya santai, aku malah kepikiran. Masak orang sakit kubiarkan kelaparan? Belum lagi wajah lebamnya yang seharusnya masih perlu di kompres air dingin.
Pucuk dicinta, ulampun tiba.
Pak Kenzi menelpon.
"Di kebun belakang sepertinya pisangnya udah bisa dipanen. Kamu bisa buat kolak pisang gak? Kalau gak bisa, buka Google, trus masakin. Mulut saya lagi pahit, pengen yang manis-manis."
Wow. Spesies ini ternyata juga bisa ngomong panjang lebar.
"Baik Pak, saya usahakan."
Kolak pisang bukan hal sulit bagiku, itu makanan kesukaan ayah.
Segera aku bekerja dengan cepat, mengumpulkan bahan-bahan satu persatu. Tapi bagiku bukan kolak namanya kalau dimasak pakai santan kemasan. Terpaksa kuhubungi Surti, bertanya dimana bisa membeli parutan kelapa yang terdekat.
"Wah, kebetulan nih. Aku baru beli tiga kemarin sore, buat masak rendang, rupanya lebih satu. Ambil kesini saja," jawabnya di seberang telepon.
"Mana berani aku ambil punya majikanmu."
"Udah, Ummi mah semuanya juga dikasih ke orang."
Aku akhirnya pergi ke tempat Surti demi mengambil bakal santan. Lalu langsung pamit setelah mengucapkan terima kasih banyak.
Baru memasuki perkarangan kembali, aku mendapati sebuah mobil di depan pagar. Seorang perempuan yang kutaksir berusia tiga puluhan keluar dari sana, menggunakan jilbab berwarna merah hati.
"Saya kakaknya Kenzi, bisa tolong dibukain?"
O, ini toh yang disebut tadi pagi. Bahwa Pak Kenzi punya kakak seorang dokter.
Tapi seingatku dulu Diana tak pernah bercerita kalau punya kakak.
"Mari Mbak, silahkan masuk."
Aku segera membuka pintu pagar demi membiarkan kendaraan roda empat tersebut masuk. Perempuan itu turun, lalu tersenyum kepadaku.
"Sudah berapa lama kerja disini, saya belum pernah lihat sepertinya."
"Baru dua minggu, Mbak." jawabku.
"Oo, pantes. Oia saya Aisyah."
Perempuan itu terlihat sangat ramah, ia tak enggan berkenalan dengan seorang pembantu.
"Ivid, Mbak."
"Saya cuma disuruh mampir sebentar, katanya punggung Kenzi sakit. Memang sebenarnya dia kenapa?"
Duh, sepertinya bukan kapasitasku bercerita tentang perihal ini. Masak harus kukatakan kalau adiknya mabuk semalam.
"Sepertinya jatuh saat pergi dengan temannya semalam ... saya juga gak tahu pasti."
Kurasa itu adalah jawaban paling aman.
"Hm, emang beneran, istrinya lagi gak di rumah?"
Aku menganggukkan kepala sedikit ragu, lalu membuka pintu utama agar kami berdua bisa masuk.
"O, yaudah, saya ke kamarnya dulu. Terimakasih Ivid."
"Sama-sama, Mbak."
Walau baru melihat dan berbicara dengan Mbak Aisyah pertama kali, tapi aku tahu perempuan ini sepertinya sangat baik, juga extrovert. Berkebalikan dengan adik lelakinya..
Kembali ke dapur, segera aku mulai mengeksekusi semua bahan, agar menjadi olahan pisang yang enak. Semoga saja nanti juga sempat bisa dihidangkan buat Mbak Aisyah.
Belum setengah jam ternyata semua sudah siap disajikan. Aku juga tak menyangka akan secepat ini, mungkin karena sudah mempersiapkan semua bahan sebelum mengambil santan.
Melihat pintu kamar utama yang terbuka, aku bergegas kesana untuk membawa request orang sakit.
"Permisi, maaf kalau mengganggu waktunya. Mumpung lagi panas, saya antarkan terus kemari. Mana tahu Mbak Aisyah mau juga."
Aku membawa nampan berisi dua mangkuk kolak pisang, lalu meletakkan di atas meja rias yang masih punya sedikit space.
"Masya Allah, sekalinya datang langsung dapat kolak."
Mbak Aisyah terlihat antusias, usahaku dihargai demikian saja sudah cukup senang.
"Bisa makan sendiri kamu?" tanya Mbak Aisyah pada adiknya.
"Bisa Mbak, ini mau makan."
Lelaki itu segera mengambil mangkuknya, dan mulai makan.
"Berarti kayak Mbak bilang tadi ya, jangan banyak gerak dulu. Di rumah aja, gak usah kerja sekitar seminggu. Perkiraan Mbak akan pulih dengan sendirinya sih. Tapi kalau memang sakitnya bertambah, hubungi aja Mbak lagi, kita ronsen."
Walau tak memahami apa yang terjadi sebenarnya, tapi sedikitnya aku paham kalau Pak Kenzi tak boleh kerja dulu.
"Wow, enak sekali ini buatan Ivid. Mbak aja udah umur 35 tahun belum bisa buat kolak seenak ini."
"Terima Kasih atau pujiannya Mbak, puji dua kali gratis satu porsi, untuk dibawa pulang," ucapku mencairkan suasana.
"Wah, mau dong. Enak sekali ini, aroma pandan dan gula merahnya benar-benar mantap surantap ... sudah cukup syarat belum nih, untuk dapat bonus?" ucapnya sambil tertawa.
"Beneran Mbak, mau dibungkusin? Wah, kehormatan banget bagi saya diapresiasi seperti ini. Bentar ya, saya ke dapur dulu."
Aku segera ke dapur, ingin mencari wadah yang layak untuk diisi kolak. Bahkan tak sempat lagi memastikan lagi apakah Pak Kenzi menyukai olahan pisang buatanku.
Dia memang makan, tapi ekspresinya biasa saja. Jadi aku tak tahu sebenarnya bagaimana tanggapan lelaki itu.
"Betah disini?"
Ternyata kini Mbak Aisyah sudah berdiri di belakangku beberapa langkah.
"Alhamdulillah Mbak."
"Maaf sebelumnya, sebenarnya kamu tahu gak, Thalia kemana? Saya tanya Kenzi, katanya sedang ke luar daerah, tapi berbelit-belit jawabnya."
Sudah tadi ditanyai tentang kejadian semalam, sekarang ditanyai tentang keberadaan majikan. Pusing pala Barbie, Cin.
"Enggak tahu Mbak," jawabku masih cari aman.
"Oo, begitu. Kalau selama disini kamu ada lihat hal yang mencurigakan gak?"
"Mencurigakan seperti apa maksudnya, Mbak?"
Perempuan terdiam sejenak, lalu mulai terlihat ragu melanjutkan kalimatnya.
"Ah, lupakan saja. Mungkin saya saja yang salah lihat."
Jangan-jangan Mbak Aisyah tahu kelakuan istri dari adiknya.
"Oia, nanti saya suruh anak saya kemari untuk lihat-lihat Kenzi. Nanti Rayyan atau Rayyana bakal sering mampir ... saya tahu kamu juga gak nyaman cuma berdua saja begini. Semoga nanti kehadiran mereka juga bisa bantu-bantu Ivid."
"Terimakasih Mbak," jawabku merasa terbantu.
"Soalnya Mbak lagi banyak urusan di Puskemas, mau akreditasi. Gak bisa sering-sering mampir. Lagian ini si Thalia juga, suaminya sakit bukannya pulang," keluhnya.
"Emang gak coba dihubungi, Mbak?" tanyaku
"Gak aktif semua nomornya. Lagian saya gak berani ikut campur terlalu jauh ... makanya tadi saya tanya kamu, Kenzi itu gak terbuka orangnya, gak suka orang lain ikut campur urusannya."
Apa aku cerita aja ya tentang bulee itu? Ah jangan, itu terlalu jauh. Aku takut terlalu mencampuri rumah tangga orang.
"Oia, memangnya Ivid asli mana?"
Duh, kalau jawab asli Malang, terus pertanyaannya berlanjut, nanti ketahuan pula aku pernah berada satu wilayah dengan mereka saat masa sekolah.
"Asli Cilacap, Mbak." jawabku gak bisa dikatakan bohong juga, sebenarnya orang tua asli Cilacap, hanya saat remaja pindah ke Malang.
"Wah, sama seperti ibu saya dong."
Lho, gimana bisa sama! Aku sengaja menghindari "Malang" malah ketemu "Sial".
"Bukannya, orang tua Pak Kenzi dari Malang?"
Diana pernah berkata bahwa keluarga mereka asli Malang, hanya saja ayahnya punya sedikit darah Arab.
"Itu ayah dan ibu Kenzi, kandung. Saya kebetulan kakak tirinya," lanjut Mbak Aisyah membuatku sadar sesuatu.
"O, pantesan beda. Yang ini ramah, banyak ngomong, yang ono enggak. Rupanya lain pabrik," ucapku sambil bercanda.
Perempuan itupun tertawa sejenak.
"Iya, jadi setelah orang tua Kenzi bercerai, nikah sama ibunya Mbak."
Hm, ternyata Diana dan abangnya besar dari keluarga broken home. Kasihan.
"Jadi, kami ada empat. Mbak dan Ukail, serta Kenzi dan almarhumah Diana."
Ya Tuhan, apakah aku tak salah dengar?
( Bersambung )