11


"Aduh maaf, Pak. Maaf! Saya gak tahu kalau ..."

Dengan wajah ditekuk penuh dosa, segera aku mengulurkan ember kecil berisi barang sakral milik Pak Kenzi. Tak berniat melanjutkan lagi kalimat tadi, tak tau harus menyembunyikan rasa malu dimana lagi.

Aku segera memutar badan, berjalan cepat menuju kamar. Pengennya semedi tujuh hari tujuh malam, untuk buang sial. 

Beneran gak curiga sebelumnya, kalau itu bukan berisi baju kemeja yang aku cuci tadi. Hal yang baru kusadari adalah bahwa ember cucianku masih di tempat semula. Ternyata selama aku ditelpon Kakak, lelaki itu mencuci pakaian dalamnya.

Dari pantulan kaca jendela halaman belakang aku bisa melihat kalau gesture Pak Kenzi juga tak kalah awkward. Ia mulai menopang kedua tangannya di pinggang sambil inhale-exhale. Lalu mengetuk-ngetuk dahinya sendiri, seolah dia yang lebih pantas untuk malu.

Sudah dia larang jemur, aku malah maksa dan mengaku itu sudah tugasku. Yang gendeng siapa sih? Kan gak mungkin dia.

Bayangan akan harta karun berbentuk segitiga itu mulai menghantuiku kemana saja. Aku merasa kuwootoooooor.

***

Bangun pagi aku mengendap-ngendap bak seorang pencuri. Menuju dapur, aku mulai memasak menu sederhana agar tak terlalu menimbulkan suara maupun kegaduhan. Hanya sebuah upaya agar lelaki itu tidak terbangun, lalu menyidakku lagi hari ini.

Malu ini belum hilang gara-gara insiden kemarin, seolah sekarang kalimat tertulis besar di jidatku.

"Saya ini pembantu mesum, yang pengen jemur pakaian dalam milik majikan.”

Tak ingin berlarut-larut dalam nestapa, segera kubuat roti bakar sederhana. Aku sengaja memasaknya di teflon. Aku suka sensasinya yang sedikit garing bila ditekan-tekan tekan pakai sendok.

"Saya lapar, buatkan telur seperti kemarin."

Allahu Rabbi.

Dia itu setan atau apa. Kenapa tiba-tiba bisa nongol seperti ini.

"Ba, baik Pak." jawabku tergagap.

"Kopi susu juga."

Ini orang sepertinya hidupnya monoton banget. Menunya sama terus.

"Saya mau mandi dulu, nanti sarapannya ditaruh depan TV saja!"

O, belum mandi toh. Aku kira baru pulang dari klinik kegantengan. Sebenarnya secara rupa lelaki ini layak dicintai,  sayangnya dari perilaku, tidak sama halnya. Aku jadi ragu haruskah mundur atau lanjutkan rencana uji coba ini.

Selesai mempersiapkan sarapan untuk Pak Kenzi, aku segera meletakkannya di tempat diperintahkan.

"Walla! This is it, Egg Rebuso With Tomato Tumiso, ala Parah Quinn," ucapku sambil membusungkan dada, biar total meniru gaya chef seksi itu.

Pak Kenzi akhirnya keluar dengan kemeja magenta dan celana coklat susu yang lubang kakinya ada dua.

Sepertinya kepergian Bu Thalia hanya berefek dua hari, karena pagi ini ia kembali beraktivitas dengan wajah bersemangat.

Lelaki itu mulai sarapan sambil menonton channel CNBC. Sementara aku segera menghabiskan sarapan di dapur, lalu menuju ke halaman depan demi menyapu dedaunan kering yang mulai sedikit merusak pemandangan.

Sampai disana, aku memilih beberapa saat menggerak-gerakkan badan sambil menghirup udara pagi. Setidaknya walaupun komplek ini dikelilingi oleh pemukiman padat, tapi disini suasananya cukup asri. Pengelola membangun dua area terbuka hijau untuk warga. Satunya taman untuk anak-anak bermain, satunya lagi area olahraga. Belum lagi pohonan yang tertata rapi baik jarak maupun ukurannya, di sepanjang jalan.

Ternyata ada Surti yang lagi lewat depan sana. Ia baru pulang jalan-jalan pagi bersama Ummi dan anak perempuannya. Tapi Surti ketinggalan di belakang, karena kepincut makan bubur ayam dulu.

"Rajin benar pagi-pagi udah dinas. Ikut jalan-jalan pagi dong bareng kita. Biar sehat."

Kadang aku berharap, berandai-andai, kalau saja majikanku adalah Ummi, pasti nasibku tak semalang ini.

"Lain kali ya Sur, kalau bapak komadan lagi gak di rumah. Mana berani minta izin kalau gak penting banget,” lirihku.

"Rayu aja pawangnya dong, Say,” jawab Surti mencoba memberikan saran agar minta izin pada Bu Thalia.

"Pawangnya lagi gak dirumah sampai satu bulan kedepan.”

"E buset, lama benar. Kemana emangnya?"

"Gak tahu," Jawabku sambil mengedikkan bahu.

"Hm, pantesan kemarin itu kata anaknya Ummi, sempat ketemu Bu Thalia mau ambil Visa di kedubes mana gitu," ucapnya seperti sedang berusaha mengembalikan potongan ingatan yang hilang.

"Gak ingat, negara mana?" 

"Lupa. Yang aku ingat, Salsa cuma bilang kalau ketemu Bu Thalia disana, pergi ditemani seorang Bule. Mungkin ada kerjasama atau endorsement apa kali ya, dia kan artis YouTube."

Apa mungkin Bu Thalia pergi liburan dengan selingkuhannya? Bisa jadi mereka sudah merencanakan ini sejak lama, karena Visa gak akan siap satu atau dua hari.

"Yaudah Vid, duluan ya," pamit Surti.

Aku terdiam beberapa saat lamanya, mencoba memahami alur kisah pemilik rumah ini. Benar-benar rumit.

Baru sebentar melanjutkan sapu-menyapu halaman aku kembali pecah konsentrasi dengan sosok Mbak Laksmi yang lewat depan rumah. Diantara anggota Paspampres, perempuan ini paling mirip artis.

Mengingatkanku akan Ely Sugigi.

Gak enak juga kalau gak disapa. Takut dikira gak ramah.

"Dari mana Mbak? Pagi-pagi udah nenteng plastik aja."

Mbak Laksmi ternyata menjeda langkahnya, lalu berdiri sejenak depan pagar rumah ini yang memang rendah. Jadi perempuan itu bisa melipat kedua tangannya untuk bertumpu pada bagian atas pagar. Unik juga, disaat orang beramai-ramai membangun pagar kokoh dan tinggi, justru bagian terendah rumah ini adalah pagarnya. 

"Ini, Ibu minta dibelikan pembalut ... Eh Iv, itu si Ramlan, security komplek ini kirim salam buat kamu."

Aku mencoba mengingat satu-persatu security yang pernah kulihat, namun sepertinya tidak ada yang muda atau menarik. Apa ada yang diluar sepengetahuanku ya? Ah, tapi namanya aja Ramlan. Pasti orangnya kalau gak tua, jelek, ya B saja.

"Dibalas gak salamnya?" tanya Mbak Laksmi.

"Gak usah, Mbak."

"Kok, enggak?"

"Nggak baik balas dendam. Saya orangnya cinta damai."

Perempuan itu memajukan bibir bawahnya hingga terlihat sedikit memble. Duh, gemes banget, jadi pengen timpuk pakai botol Aqua.

"Yaudah Iv, duluan ya. Selamat bekerja, jangan lupa berhenti kalau udah siap," ucapnya.

"Sip senior, Mbak juga hati-hati dijalan. Jangan sampai tersesat dan tak tahu arah jalan pulang ... nanti dikira Cakra Khan."

Eh, kayaknya plot humor generasi kami berbeda deh. Mana tau beliau lirik lagu Cakra Khan. Kami kan selisih belasan tahun.

"Emang Cakra Khan siapanya Salman Khan dan Shahru Khan, Iv?"

Nah kan, apa kukata.

"Mereka bertiga kayaknya ... keponakannya Beranta Khan, Mbak. Nah, begitu!"

Setelah jawaban itu, Mbak Laksmi terlihat makin bingung, namun memilih tetap berjalan pulang dalam kebingungannya.

Saat kembali membersihkan halaman di dekat teras, aku malah mendapati Pak Kenzi keluar dari rumah dengan penampilan sudah menampilkan rupa eksekutif muda milenial. 

Ronald si kucing negro segera berlari menuju ayah kimiawisnya. Gak tega sebut ayah biologis.

Sesaat aku melihat lelaki itu menunduk lalu mengelus bagian kepala kucingnya.

"Hi Ronald, aku pergi dulu. Baik-baik di rumah, kalau masih ada yang ngatain kamu belagu, dicakar saja, "

Wah, ada yang minta dicakar duluan ni kayaknya.

( Bersambung )