3
#comedy_romance

UPIK ABU METROPOLITAN (2)

***

Usai Thalia pulang, aku dan Tiga masih bertahan di kantor SM-ART untuk membicarakan beberapa hal yang dirasa penting, kurang penting, hingga hal yang sangat tidak penting.

Seperti, kenapa perempuan seperti Thalia suka pakai high heel, padahal itu bagian dari cara menyiksa diri. Bagiku menggunakan sandal dengan hak tinggi adalah bagian dari tutorial mempersulit hidup.

Setidaknya itu pembahasan lima menit lalu, usai melihat sang Beauty Vlogger itu berjalan memasuki mobilnya.

Sekarang kami ingin fokus menduga-duga, apa yang membuat seorang Thalia lebih memilih aku yang tanpa pengalaman kerja untuk menjadi pembantunya. 

"Apakah dirimu sebenarnya memakai sesuatu yang bilamana orang melihat, akan terkesima? Katakan sejujurnya wahai anak muda. Jangan ada dusta diantara kita."

Tiga mulai lagi dengan perbendaharaan katanya yang bikin pusing kepala.

"Ya kali, aku pakai susuk biar jadi upik abu. Hallooo!" jawabku.

"Hallo juga, dengan SM-ART, penyedia jasa ART disini. Ada yang bisa saya bantu, Bu Vivid?"

E buset, saat si Tiga malah mulai cekikan sambil menempelkan HP ke telinga.

Aku malah bingung harus bagaimana, senang dapat pekerjaan, atau bingung kenapa dipilih Thalia.

"Jangan-jangan ini human trafficking! Jangan-jangan Thalia itu sebenarnya seorang mucikari," ucap Tiga tiba-tiba. 

"Kari ayam atau kari kambing?" tanyaku sok serius.

"Iiiiih Vivid, kamu gak takut apa! Kamu, aduh ... nanti! Oh No!"

Tiga mulai pasang mimik takut-takut manja, mirip ulat keket.

"Lagian kamu, teman sendiri dapat kerjaan malah parno. Seharusnya kalian tuh senang, bisa dapat komisi dari memperkerjakanku."

"Benar juga ya! Lagian kamu kan ada ikut UKM Tekwondo selama di kampus, kalau ada yang jahatin tingggal hiat-ciat kan!"

Kini Tiga sedikit terlihat tenang, lalu mulai menuliskan beberapa data yang kubutuhkan untuk melengkapi berkas. Lusa aku akan diantarkan kesana.

Menurut Tiga, kerjaku tak akan begitu berat karena Thalia belum punya anak. Gajinya pun lumayan, semoga saja nanti selama di sana aku diperlakukan baik.

"Rencana masih mau lanjut kuliah lagi atau gimana nantinya, setelah ada uang?"

Aku menggeleng, sudah dua tahun non aktif, aku ragu bisa lanjut lagi di fakultas pertanian. Lagian itu sebenarnya bukan jurusan impian.

"Pengennya cuma sampai satu tahun lah jadi pembantu, setelah itu pengen bukan usaha apa gitu. Atau mana tahu ketemu jodoh yang mapan lagi tampan." 

Walaupun ragu jadi kenyataaan, gak ada salahnya kan berdoa.

"Abangku tampan kok, Vid. Kalau mapan masih otewe."

Untuk kesekian kalinya Tiga menawarkan abangnya, seakan yakin kami akan menjadi pasangan yang serasi.

"Jangan, Abangmu terlalu baik untukku," jawabku saat tak bisa menemukan alasan yang pantas.

"Nanti aku suruh Abangku berubah jadi jahat deh. Demi kamu," selanya bersemangat.

Sebelum pembicaraan makin ngawur, aku memutuskan segera izin pamit. Aku bukannya gak mau dijodohin, tapi keluarga mereka beneran absurd. Gak mau, gak suka. Ghelaaay.  

Demi memghemat uang aku memutuskan pulang berjalan kaki kali ini. Lagipula jarak ke kosan hanya dua kilometer saja. Bisa-lah, sekalian olahraga. Apalagi cuacanya lumayan mendukung, tidak begitu panas.

Namun baru setengah jalan, aku mulai menyadari ini tak semudah dibayangkan. Kedua kakiku mulai pegal. Sepertinya memang harus istirahat sejenak, sebelum melanjutkan lagi perjalanan.

Saat hendak duduk sejenak di trotoar, tak sengaja aku menangkap sosok sejoli di balik kaca mobil yang parkir tak jauh dengan posisi dimana aku berada.

Itu kan mobil Bu Thalia? Plat mobilnya 222. 

Sedikit aku menajamkan pandangan, demi memastikan pemandangan aneh di balik kaca mobil.

Wow!

Apakah mataku gak salah?

Ternyata sedang berlangsung scene romantis yang tak cocok dilihat anak dibawah umur.

Khusyuk banget mereka sepertinya, sampai tak sadar sudah ada penonton lugu di sini.

Apes nian jomblo disuguhkan pemandangan beginian. Pengen meluk tiang listrik, takut kesetrum.

Duh, kalau di tengah jalan saja aku melihat mereka berbuat begini. Apalagi kalau kerja di rumahnya. 

Tak lama kemudian lelaki itupun keluar dari mobil. Ternyata suami Bu Thalia seorang bulee.

***

Pagi ini aku diantarkan oleh supir SM-ART, ke sebuah rumah yang katanya tak jauh dari pusat kota Surabaya. Tempat dimana aku akan dikontrak selama setahun oleh seorang fashionista bernama Thalia. Aku harus membiasakan diri memanggilnya Bu, walau mungkin hanya berbeda usia empat tahun saja.

Walaupun tak sebesar istananya para crazy rich, tapi ini rumah keren banget. 

Sepertinya luas tanah tak lebih dari 1000 meter persegi. Di atasnya berdiri bangunan bergaya industrial tropis. Perpaduan unik elemen urban, industrial, dan kekayaan unsur tropis membuatnya terlihat sangat berbeda.

Jangan heran kalau aku sedikit tau istilah-istilah arsitek, itu jurusan my dream yang gak come true. Dulu waktu daftar kampus pilihan utamanya arsitek, namun karena otak minus di matematika, nilainya jatuh. Luluslah di fakultas pertanian.

Rumah perempuan ini layak disebut sebagai breathing house: rumah dengan ruang terbuka indoor yang mengagumkan. Sitenya menyatu dengan lingkungan yang hijau, terutama pagar serupa bukit yang menutupi area depan rumah.

Sirkulasi udara memberikan ruang terbuka terhubung hingga lantai dua. Cahaya dan udara sangat leluasa masuk.

Ibarat kata nih, rumahnya modern banget, canggih, tapi semacam potongan hutannya yang dimasukin kemari.

Sungguh kawin silang yang emejing. Sampai aku lupa menutup mulut saat melihat setiap jengkal rumah ini.

Walau yang punya belum pulang dari liburan, aku disambut baik oleh calon mantan pembantunya, Bi Tatik. Perempuan ini sudah mengikuti keluarga Bu Thalia selama enam tahun, namun kini memutuskan berhenti karena ingin mengurus orang tua di kampung. 

"Nanti setiap hari minggu kamu boleh keluar seharian."

Bi Tatik memberikan sedikit gambaran bagaimana kerja di rumah ini. 

"Bu Thalia orangnya gimana, Bi?" tanyaku ingin tahu sedikit karakter tuan rumah.

"Bu Thalia? Sama aja kok kayak kita."

"Sama gimana maksudnya, Bi?" 

Ini orang ngadi-ngadi. Dari kasta dan rupa aja jelas-jelas beda.
 
"Sama-sama lubang hidungnya dua." jawabnya lalu tertawa sejenak, sebelum melanjutkan kembali kalimatnya sambil tersenyum. "Baik, walaupun kadang terlihat acuh, Bu Thalia baik kok. Gak pelit."

"Kalau suaminya?"

"Suaminya? Ya laki-laki lah."

Ya ampun ini perempuan walaupun usia udah kepala empat, tapi masih suka usil.

Bi Tatik yang baru hendak menjawab, tiba-tiba harus mengangkat panggilan masuk dari ponselnya.

"Tunggu ya, adik saya telepon."

Menunggu Bi Tatik, aku memilih melihat-lihat kolase foto yang dipajang di dinding.

Ada banyak sekali foto jadul, mulai dari foto kecil bu Thalia, hingga foto saat ia wisuda. Ada juga beberapa foto kecil yang kuduga saudara kandung perempuan itu.

Namun saat melihat salah satu foto anak lelaki menggunakan kaus hitam dengan sablon dua angka delapan di bagian depannya, sesuatu di kepalaku seakan melesat dengan cepat ke bilik memori dimana banyak kenangan tersimpan.

Itu kan Kenzi Khanadi?

Ya ampun. Dulu saat kelas dua SMP aku kan pernah kirim surat cinta ke kakaknya temanku.

Ingat itu jadi merasa hina banget jadi perempuan. Walau bisa jadi dia  gak tau wajah atau namaku tapi tetap aja kalau suatu saat ketemu dia, bakal tengsin abis. Apalagi kalau sempat dia tau sosok dibalik inisial V itu.

Apa hubungannya Kak Kenz dengan si pemilik rumah ya? Kalau sempat orangnya sering main kemari, bisa kacau ini.

"Bi, yang ini siapanya Bu Thalia?"

Aku bertanya kepada Bi Tatik, saat perempuan itu sudah selesai menelpon.

"Itu pak Kenzi waktu remaja, suami Bu Thalia."

Oh no, oh no, oh nononono.

Tiba-tiba backsong ala-ala Tiktok seakan terdengar memenuhi telinga.

"Bu -- bukannya suaminya bulee?"

Aku sampe tergagap ngomong mencoba memahami semua ini.

"Bulee? Enggak! Walau kerja Pak Kenzi sering keluar daerah, jarang di rumah, tapi mereka masih suami istri.”

What!

Jadi lelaki yang kemarin di mobil, bersama Bu Thalia?

( Bersambung )