15


Aku masih duduk terpaku di ranjang kamar, memikirkan banyak hal yang disampaikan Mbak Aisyah tadi. Segala penggalan masa lalu, mulai memenuhi kepalaku kini.

Tentang Diana.

Senyumnya, kebaikannya, sifat pemalunya.
Sosok yang tak berani tampil, tak berani memulai percakapan dengan orang baru.

Aku benar-benar tak percaya temanku telah tiada. Ia pergi selamanya tiga tahun lalu, setelah penyakit leukimia memupuskan harapan hidupnya.

Aku memang pernah berharap bahwa kami tak bertemu di rumah ini, tapi bukan tak pernah bertemu lagi selamanya seperti ini. Aku benar-benar menyesal.

Padahal ia salah satu teman dekatku selama duduk di bangku menengah pertama.

Semoga Diana kini telah tenang di sisi Tuhan, di tempat terbaik, tanpa ada lagi rasa sakit.

Aku masih ingat pertama kali menyapanya  saat Karnaval 17 Augustus, yang di gelar kabupaten.

Tak sampai hati melihat bibirnya kering dan sedikit pucat,  aku menawarkan minuman padanya. Karena sepertinya ia ketinggalan botol minuman di sekolah.

Diana awalnya menolak, namun dengan kepiawaian seorang Vivid meyakinkan bahwa tak ada racun di dalam minuman itu, ahirnya Diana tertawa, lalu menerima pemberianku.

Lalu ternyata saat kelas dua, kami ditempatkan di kelas yang sama. Aku segera memilih bangku disampingnya, saat melihat masih kosong.

Diana akhirnya mulai sedikit terbuka. Tapi dia sama sekali tak pernah menceritakan kalau orang tuanya tidak akur. Yang kutahu, abangnya sangat menyayangi Diana. 

Dari cerita Mbak Aisyah, ibu kandung Diana mulai berubah sejak memutuskan menjadi wanita karir. Tuntutan profesi membuatnya harus selalu tampil cantik paripurna. Aku tak berani bertanya lebih jauh pekerjaan apa sebenarnya.

Dan ternyata petaka berawal dari sini.

Kecantikan sang ibu, telah membuat sang atasan tergoda. Sialnya, gayungpun bersambut.

Intensitas pertemuan yang tinggi dikarenakan pekerjaan, telah menjadi celah bagi sebuah perselingkuhan. 

Hingga akhirnya sang ibu lebih memilih lelaki lain, dan meninggalkan anak dan suaminya.

Itulah menjadi salah satu alasan kenapa Pak Kenzi seringkali meminta istrinya jangan terlalu sering berkegiatan di luar rumah, jangan menjadi beauty vlogger dan mengekspose kecantikannya.

Ada semacam trauma masa lalu mungkin yang belum sembuh.

Sayangnya bagi Bu Thalia, itu dianggap pengekangan. Kolot. Terlebih sosok lelaki itu memang irit bicara, resiko misskomunikasi bisa jadi lebih besar.

Tadi Mbak Aisyah juga bercerita kalau begitu terpuruknya Pak Kenzi di tahun pertama setelah kepergian adik semata wayangnya. Lelaki itu bahkan tak punya siapa-siapa lagi, karena sang ayah telah lebih dulu meniggal dunia.

Aku kini justru sangat prihatin dengan keadaan lelaki itu. Ia ternyata punya begitu banyak kisah hingga membentuk karakternya sepertinya sekarang. 

Kadang sulit untuk percaya, kenapa ada seorang ibu tega meninggalkan darah dagingnya sendiri.

Panggilan masuk dari Pak Kenzi, buyarkan lamunanku. Segera kuraih ponsel, demi mendengar titah paduka raja.

"Masakkan saya bubur! Boleh bubur ayam, atau bubur kanji. Saya lagi malas ngunyah."

Duh, ini bukan spesialisasiku sih. Tapi akan kucoba, sebagai wujud rasa duka cita dengan apa yang menimpanya.

"Iya Pak, saya belanja dulu beberapa bahan yang gak ada di kulkas."

"Iya, jangan lama-lama."

Di depan komplek ini ada sebuah kios sayur, semoga saja dagangannya lengkap disana, jadi gak makan waktu harus ke pasar lagi.

Di tengah jalan, aku merasa seperti diikuti oleh seseorang. 

Saat melihat ke belakang ternyata memang ada sebuah sepeda motor yang berjalan sedikit lambat. Wajahnya tak nampak, tertutup helm.

Lama-lama seperti makin mendekat.

Duh, jangan-jangan perampok! Bagaimana bila dia memang punya niat jahat?

Panik, aku memutuskan segera  mempercepat langkah menuju pos security. Bahkan nyaris berlari.

"Pak, tolong," ucapku ngos-ngosan pada Pak Udin. "Sepertinya di belakang ada yang buntutin saya."

Lelaki bertubuh tambun itu malah menatapku seperti orang aneh. 

"Emang kamu ada pakai emas?"

Aku menggeleng.

"Ada bawa HP?"

Duh, ternyata kelupaan. Terpaksa menggeleng lagi.

"Uang berapa juta di dompet?"

"Cuma selembar 20.000." Buat beli sedikit rempah.

"Yaudah, ngapain takut! Memangnya, apa yang bisa di curi dari kamu?"

Lha! Benar juga rupanya!

Demikianlah nasib dikandung badan. Jangankan harta benda, hatiku saja gak ada yang pengen curi.

Kini terdengar bunyi sepeda motor tadi seperti kian mendekat. Bedanya, sekarang aku gak takut lagi karena sudah ada security disini.

Lagian benar juga kata Pak Udin, bahwa gak ada yang bisa dicuri dariku. Selain hati.

"Mana aja lu, Ram? Capek saya tunggu."

Hah, Pak Udin ternyata kenal orang tersebut.

Lelaki itu kini berdiri di depan kami berdua, masih dengan helmnya.

"Lagi buntutin cewek cakep, Pak. Rupanya dia malah kesini, mungkin itu yang namanya jodoh."

Duh, gombal banget itu orang. Kurang kerjaan banget buntutin orang.

Setidaknya demikian suara hatiku, sebelum lelaki itu melepaskan helmnya.

Namun saat pengaman kepala itu dilepaskan, mendadak buyar semuanya.

Duh, ganteng juga rupanya. Mirip Ammar Zoni, suaminya Irish Bela tanpa Tung.

"Perkenalkan, saya Ram. Security baru di komplek ini."

"Ram Punjabi?" Aku menyebut nama produser film kaya raya itu.

"Ramlan. Mbak Mariati udah sampein salam saya kan buat kamu?"

Duh, jadi malu. Seharusnya Ramlan cocoknya dengan Surti. Nama dan wajah gak selaras.

"Udah, terima kasih."

"Kenapa gak dibalas?"

"Biarkan saja Tuhan yang membalas segala kebaikan hambaNya."

Aku hanya memberikan sedikit  senyum sebelum melanjutkan langkah yang tertunda tadi, meninggalkan Ammar Zoni KW dua disana dengan segenap pesonanya. Ada tugas negara yang segera diselesaikan segera, yakni belanja bumbu dapur.

Bukan tak tergoda, hanya saja aku kasihan ingat pasien di rumah yang mungkin sudah lapar. Rasa kemanusiaan lebih besar dari rasa kegatelan.

Demikian sekilas info.
  

*** 

Di halaman samping, Pak Kenzi baru menghabiskan semangkuk bubur buatanku. Tak bersisa. Sementara itu di bawah meja, ada Ronald yang lalu-lalang sambil sesekali menggesekkan badannya pada kaki lelaki itu. 

Tadi di telpon, aku diminta kesini untuk mengantarkan lagi segelas air putih.

"Kamu udah lama jadi pembantu? Atau pernah kerja dimana sebelumnya?"

Ternyata ada tambahan sesi tanya jawab, selain minta air. 

"Kalau jadi pembantu, baru ini. Sebelumnya pernah jadi karyawan penjagaan toko cuma satu tahun, lalu tokonya bangkrut dan 
saya daftar jadi ART."

"Asal dari mana?"

"Cilacap," jawabku sama seperti modus operandi kemarin dengan Mbak Aisyah.

"Sekolah sampai jenjang apa?"

"Sempat kuliah dua tahun Pak, tapi karena satu dan lain hal, saya harus berhenti di tengah jalan."

"Fakultas?"

"Pertanian. Lagipula saya seperti gak dapat chemistry dengan jurusan itu."

"Hm ..."

Udah? Cuma 'Hm' gitu aja rupanya? Gak ada inisiatif bilang kalau bubur buatanku enak? Usaha keras lho tadi bikinnya. Sampai nolak pesona seorang Ram, tanpa Punjabi.

"Oia Pak, apa Bapak gak mengompress lagi luka lebam itu?"

Apakah Mbak Aisyah lupa memperingatkan akan hal ini atau gimana? Seingatku tak sekalipun lelaki ini minta dipersiapkan air panas untuk kompres.

Seharusnya kalau pengompresan dilakukan dengan baik, lebam diwajah itu akan lebih cepat hilang. Nah ini malah seperti tidak ada perubahan berarti.

"Gak apa-apa biar saja begini. Kalau saya terlalu tampan, kasihan kamu nanti gak fokus kerja."

Astaghfirullah! Sapu, mana sapu! Sepertinya lelaki ini perlu digebukin sekali lagi.

( Bersambung )