9


Syukur hari ini minggu, jadi aku bisa free dan pergi kemana kusuka. Setelah dua kejadian memalukan kemarin, rasanya akan sangat tidak betah berlama-lama di rumah tersebut, terlebih selama pria itu masih disana.

Sunday is my day.

Siang ini aku bisa ketemu dua teman dekat sejak seragam putih-abu-abu. Yasmin mau traktir aku dan Tiga sebagai bentuk syukur karena perempuan itu naik gaji. Walaupun janjian di tempat lumayan mewah, sayangnya stock bajuku memang casual semua. Penampilan juga rambut cuma kuncir kuda doang. Untung gak ada yang kira aku pelayan.

Eh, lupa. Aku kan memang seorang pelayan, tapi bukan disini.

"Vid, lu make up sikit napa?"

Yasmin memang paling glowing diantara kami, dia selalu update fashion kekinian, sedangkan aku sebaliknya. Pasti ia kesal sudah diajak ke tempat berkelas, penampilanku malah tak berkelas. Lagian ini kan Cafe, bukan kelas, bagaimana sih!

"Kalau gue ikut make up, tar menang kali gue. Kasihan kalian kalau sampai insecure."

Kalau lagi ngomong sama mereka aku sering pakai 'lu-gue', sesuai tuntutan lawan bicara.

"Lu gak pengen apa punya pacar? Harus dipoles dong dikit itu wajah, masak hari gini, cuma modal lip balm doang," lanjut Yasmin mengompori saat Tiga sedang sibuk pilih menu.

"Trus, kalau pengen dapat pacar harus make up, gitu? Gak ah, tar kayak tetangga gue lagi."

"Kenapa emangnya tetangga lo?" timpal Tiga.

"Suaminya histeris pas pagi setelah malam pertama. Kaget lihat wajah asli istrinya tanpa make up, pas bangun tidur!”

Kadang memang ada kan orang begitu, cantik buatan. Ada juga orang yang suka warna-warni sampe diaplikasikan ke badannya sendiri. Wajahnya putih, matanya biru, eh badannya hitam, trus giginya kuning. 

Lagipula, aku gak mau rupa menjadi alasan seseorang untuk cinta. Tar kalau setelah nikah rupanya tubuhku melar, wajah berjerawat, trus dia gak cinta lagi dong? 

Merasa gagal menceramahiku tentang kriteria cantik, Yasmin mulai mencari topik pembahasan baru.

"Gimana hari-hari lo di rumah si Beauty Vlogger?" 

Aku masih bingung harus cerita tentang Pak Kenzi dan penghianatan yang dilakukan istrinya. 

"So far so good," jawabku tak ingin mendramatisir keadaan.

"Sebenarnya suami Thalia itu gimana sih Vid. Kayaknya gak pernah nongol di manapun."

"Suaminya? Lelaki Alhamdulillah."

Aku ketularan penyakit usil Bi Tatik.

"Ya iyalah laki, namanya juga suami," timpal Yasmin.

"Eh, jangan salah lo Yas, itu ada kejadian  kemarin di negara kita. Udah nikah sebulan, baru tau kalau suaminya ternyata juga perempuan." 

Kini giliran Tiga yang mengeluarkan suara.

"Iya juga ya. Jadi, yakin lo Vid, kalau suaminya beneran laki? Udah lihat langsung, merasakan langsung, atau gimana?"

"Kalian kira aku perempuan apaan. Suaminya laki kok."

"Trus kenapa jarang di expose ya? Gak PD sama suami sendiri atau gimana?" tanya Yasmin.

"Ada banyak alasan dan kemungkinan kenapa hari gini ada suami istri yang gak mekspose  pasangannya masing-masing, coba kita runutkan satu persatu. Nomor satu? Seperti yang Yasmin katakan tadi, gak PD. Yang kedua, menurutku mereka ingin privasi .... kalau yang nomor tiga, menurut kamu apa, Vid?"

"Tiga? Persatuan Indonesia." jawabku menyebut urutan pancasila, yang disambut tepukan di pundak.

Beneran lagi malas berpikir. Bisakah aku tak membahas mereka saat sedang merdeka sehari saja.

"Bisa jadi, suaminya punya istri lain. Jadi itu hanya taktik, supaya gak kebongkar antara dua istri."

Nah, kalau pikiran Tiga memang kadang suka out of the box.

"Jadi antara kemungkinan-kemungkinan itu, menurut kamu mana yang paling mendekati, Vid? Emang suaminya jelek ya?" 

Seharusnya dua perempuan ini kerja jadi wartawan infotainment cocoknya, minimal admin Lambe Turah.

"Suaminya keturunan Arab, lu bayangin aja  sendiri. Mirip anak Achmad Albar."

Mereka butuh sepersekian detik untuk menemukan wajah wajah Fahri Albar dalam ingatan masing-masing. Maklum, artisnya dah lama gak nongol.

"Jadi kenapa disembunyikan ya?"

Ni perempuan kenapa pada kepoin orang sih. Aku tak lagi meladeni pertanyaan mereka terkait rumah tangga orang. Lebih baik segera menghabiskan segala menu yang sudah dipesan. Jarang-jarang bisa makan di tempat mahal seperti ini.

Jam berikutnya kami lanjut bercerita tentang film terbaru di bioskop, yang mungkin bisa kami nonton minggu depan. Membahas tentang destinasi wisata baru, juga tentang kawan SMA dulu yang sudah sukses jadi business man. 

"Eh, panjang umur majikan lo, Vid. Itu dia kan yang baru masuk?"

Aku segera menoleh ke belakang demi memastikan apa yang Yasmin maksud.

Begitu melihat Bu Thalia masuk dengan lelaki berambut pirang itu, aku segera memutar badan, agar jangan sampai ketahuan.

Syukurlah mereka memilih tempat yang jauh, hingga aku selamat dan tak terlihat.

"Jadi suaminya bulee? Bukannya kata lo tadi suaminya keturunan Arab? Sejak kapan Arab rambutnya pirang? Apa jangan-jangan sejak negara api menyerang?" serang Tiga dengan pertanyaan yang sepanjang kereta api.

"Vid, kayaknya lu sembunyiin the hot issuesnya ya sama kita-kita?" timpal Yasmin penuh curiga. 

Akhirnya.

Dengan terpaksa aku menceritakan segalanya. Tak terkecuali tentang Pak Kenzi, dan uang yang ditawarkan istrinya. 

Tiga dan Yasmin mendengar dengan seksama, dan perubahan ekspresi wajah mereka begitu ketara. 

"Wah, bego lo! Uang 100 juta, plus cogan ditolak!" ucap Yasmin menarik kesimpulan.

"Jangan gitu dong Yas, kita gak boleh bikin Vivid sedih, walaupun iya juga sih ... beneran bego."

Duh, punya dua teman dekat gini banget kelakuan.

"Aku gak mau jadi pelakor. Titik, pakai K gak pakai D."

"Bukan pelakor itu namanya mah, kamu gak merebut, justru istrinya yang datang menawarkan.”

"Ada topik lain gak sih? Masak lagi free gini, malah bahas yang berkaitan dengan mereka lagi. Bahas apa kek gitu?” 

Akhirnya tak lama kemudian aku berhasil mengalihkan pembahasan, agar menjauh dari topik tadi.

Setelah dua jam lebih duduk berbagi tawa disana, tiba saatnya say goodbye. Yasmin  ada jadwal kencan, sementara Tiga harus antarin ibunya belanja bulanan.

"See you next week ya," ucapku saat saling menempelkan pipi satu sama lain, sebelum berpisah dengan Tiga.

"See you Vid ... Oia, kalau kamu emang gak mau cowok ganteng plus 100 juta, bilangin dong sama Bu Thalia, kalau aku aja yang gantiin."

“Dasar ketek uler lu pada.”

*** 

Tadi setelah nagkring hampir tiga jam di cafe, aku memilih duduk menghabiskan sore di bibir pantai, karena kalau duduk di hidungnya kasihan, ntar pantainya gak bisa bernafas. 

Setelah dari sana mampir ke swalayan sebentar. Rencana mau beli kapal pesiar, tapi sayang mereka gak jual, jadi cuma beli facial wash, shampo, dan cotton bud.

Tiba di Primadona resident hampir jam enam sore, aku kaget melihat Bu Thalia baru keluar rumah dengan koper besar.

Loh ada apa ini?

"Kita butuh waktu, Mas.”

Cuma itu yang terdengar.

Setelah mengucapkan itu pada suaminya, ia akhirnya sadar kalau aku sudah pulang. Mungkin kehadiran orang lain membuat keduanya tak lagi leluasa. 

"Saya titip rumah selama sebulan ya, Iv."

Lho, bagaimana sih ini!

Kalau sebulan Bu Thalia pergi, Pak Kenzi juga ikut, gak masalah.
Nah, ini suaminya ditinggal?

Emang dikira aku tempat penitipan suami!

( Bersambung )