10


Aku memulai pagi ini dengan mempersiapkan sarapan di dapur, karena butuh banyak makan agar kuat hadapi kenyataan. Terutama hadapi kenyataan bahwa hanya ada aku dan lelaki bernama Kenzi, berdua di rumah ini.

Tadi sempat melirik ke kamar utama, tidak ada pergerakan apapun disana. Kira-kira apa yang dilakukan Pak Kenzi setelah ditinggalkan istrinya? Sedih atau senang? Masa bodoh atau masa pintar? 

Dari yang kucoba pahami dengan keadaan kemarin, sepertinya kalimat "kita butuh waktu" yang diucapkan bu Thalia sebenarnya mereka lagi butuh waktu untuk sendiri-sendiri dulu, intropeksi diri, atau mencoba******hati, apakah masih mencintai satu sama lain.

Ternyata pernikahan banyak dinamikanya, rupa dan harta tak menjamin semuanya baik-baik saja.

"Kamu masak apa?"

Mendengar suara yang tiba-tiba muncul dari belakang, aku hampir saja menjatuhkan sendok yang kupakai untuk mengambil garam. Kenapa pula Pak Kenzi harus sidak ke dapur sepagi ini.

"Ini. Ini, Pak. Cuma telur."

Bingung mau kasih nama apa menu ini. Tadi setelah menumis bawang, tomat dan sedikit potongan cabe, aku menambahkan setengah gelas air, lalu masukkan telur tanpa dikocok. Tunggu telur matang dengan sendirinya, lalu tinggal tambah sedikit saus tiram dan daun sop.

"Saya lapar, itu buat saya saja! Kamu masak lain aja, bisa?"

Baiklah, dari intonasinya itu tak terdengar seperti pertanyaan, melainkan pemaksaan. 

"Bisa, Pak."

Aku segera mengambil piring, untuk menghidangkan sarapan untuk paduka raja yang dipertuan agung. Mr. Kim Jong Un.

"Sudah Pak, apa ada yang harus saya lakukan lagi?"

"Buatkan kopi susu."

Aku segera membuat minuman sesuai petintahnya.

"Banyakin susunya."

Tumben pria suka banyak susunya dalam kopi, biasa kan sebaliknya. 

Setelah memastikan komposisinya pas, segera aku meletakkan cangkir itu di meja makan. Pak Kenzi baru memasukkan beberapa suap nasi ke dalam mulutnya.

"Apa nama menu ini? Besok-besok kalau saya minta dimasakin, tau nyebutnya apa," tanya lelaki itu tanpa menoleh padaku.

Bau-baunya review barusan bagus.Tapi, kalau disuruh kasih nama makanan, kayaknya lebih ribet daripada kasih nama anak.

"Telur tumis aja deh, Pak."

"Oke."

Aku akhirnya memilih merendam cucian dulu, daripada memasak kembali. Nanti tunggu Pak Kenzi siap sarapan saja masaknya. 

Btw, ini baru hari ke empat lelaki itu pulang kesini, baju kotornya gimana. Apa seperti baju Bu Thalia juga, yang gak boleh masukin mesin cuci, kecuali berbahan jeans? 

Aku tanya baju kotornya Pak Kenzi gak ya? Biar sekalian kerja.

Duh, mendingan jangan cari perkara deh. Kalau dia gak naruh baju kotornya di ruang laundry, ya jangan ditanya-tanya. Karena bertanya itu tugasnya wartawan, bukan pembantu.

Setelah merendam baju Bu Thalia, aku akhirnya memilih kembali ke dapur demi memasak telur seperti tadi. Syukurlah sarapan yang telat ini gak ada gangguan lagi.

Setelah merasa cukup kenyang, baru aku kembali ke tempat cuci konvensional.

Ternyata sudah ada beberapa helai pakaian lelaki yang direndam di ember terpisah.

"Jangan disikat ya, kucek aja."

Suara itu terdengar lagi dibelakang.

Duh, itu laki! Aku kedapur disidak, ke tempat cuci juga sidak. Lagi rajin benget sih. Bukannya duduk manis di kamar sana, main Barbie.

"Iya, Pak," anggukku.

Aku segera menarik bangku kecil untuk duduk lalu mulai mencuci lain. Namun hal yang tak kusadari adalah, ternyata dia masih berdiri di balik punggungku. 

"Kamu yakin kita gak pernah ketemu, sebelum ini?"

Nah kan, lama-lama pengen aku siram ember nih orang.

"Seingat saya enggak sih Pak, kecuali Bapak mengingat sebaliknya," ucapku penuh dusta.

Akhirnya lelaki itu berlalu, meninggalkaku dengan segenap kenangan.

Canda kenangan.

Efek kebanyakan hirup deterjen kayaknya.

Saat baru hendak mau dijemur, tiba-tiba bunyi panggilan masuk dari ponsel. Aku milih angkat telepon dulu, takutnya Lee Mon Ho nelpon, ajak kawin.

Lihat nama di layar, ternyata kakak.

"Halo Vid. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Sist."

"Apa kabar sist, kita lagi promo sate naga lo Sist. Di order ya Sist."

Duh, kayaknya aku salah memulai menyebut nama panggilan, Sis kan sudah jadi ciri khas panggilan pedagang online.

"Napa kak? Ayah apa kabar?" tanyaku segera memulai pembicaraan sebagaimana seharusnya.

"Ayah, sehat Alhamdulillah, paling kalau hujan rematiknya kambuh. Kamu apa kabar?"

"Alhamdulillah."

Ya, bukankah dalam keadaan bagaimanapun harus bersyukur. 

Akhirnya pembicaraan mulai berlangsung gara-gara ceritain bang Ridwan yang dikejar-kejar penagih hutang.

"Kasihan Vid, abang akan terancam penjara juga karena terlibat investasi yang ternyata bodong. Kasihan anaknya, tahun ini Asyi gak bisa masuk TK Karena gak ada biaya. Bagaimanapun itu kan keponakan kita juga."

Aku menghela nafas panjang. Seharusnya sebagai lelaki abanglah yang melindungi kami, memikirkan nasib kami, bukan sebaliknya.

"Kalau kamu memang punya uang, ya kita bisa bantu makan sehari-hari anak dan istrinya saja. Atau untuk sewa rumah, kasihan udah diusir sama yang punya rumah. Kamu ingat kan, amanah almarhumah ibu sebelum beliau meninggal?"

Bagaimana mungkin aku lupa, kata ibu kami harus saling membantu satu sama lain. Tak boleh saling benci karena kami bertiga tumbuh dari rahim yang sama, dibesarkan dengan air susu yang sama. Harus saling sayang, saling membantu kalau ada yang tertimpa musibah.

Bagaimanapun bang Ridwan telah mengorbankan dirinya hingga tak melanjutkan sekolah, agar dua adik perempuannya bisa mengenyam pendidikan.

Justru yang aku pikirkan adalah nasib anak istrinya kini. Dimana Kakak ipar dan  keponakanku tinggal sekarang? Apakah mereka sudah makan hari ini?

"Kakak mau jual aja mahar, walaupun gak bisa nutup semua hutang, minimal bisa mengurangi sedikit. Lagian abang kita udah banyak berubah sekarang, kasihan."

Mendengar itu, seketika ada gerimis dimataku. Ka Sita rela jual emasnya demi bantu keluarga. Sedangkan aku? 

Apa aku terima saja ya tawaran Bu Thalia?

Ya, setidaknya tidak sampai menjebak lelaki itu. Minimal narik perhatiannya dulu. Kalaupun nanti gagal, ya gak apa-apa.

Lagian kalau hasil dari menguping perdebatan mereka, masalah Pak Kenzi cuma di kaku doang. Otot aja bisa direnggangin kalau kaku, masak dia enggak. Lagian gak boleh clubbing, gak boleh arisan, gak boleh pakai baju seksi, itu hal sepele kok. Memang akunya gak suka juga begituan.

Ada waktu sebulan sebelum Bu Thalia pulang. Sepertinya aku bisa melakukan sedikit pemanasan, sebelum keputusan finalnya nanti ketika ia kembali. Jadi kalau perempuan itu masih dengan penawaran awal, aku sudah setengah jalan, bukan dari nol lagi.

Kalau tidak, ya sudah. Gak rezekinya Bang Ridwan.

"Halo, Vid? Kok diam? Kamu gak lagi kesambet kan?"

Eh, sampai lupa kalau diseberang sana masih ada orang.

"Iya kak, nanti kuusahakan. Tapi gak bisa janji juga," jawabku tak ingin memberikan angin segar.

"Kakak doa dari sini, semoga dimudahkan rezeki dan jodoh buat kamu."

Layaknya acara-acara perayaan keagamaan, semua ditutup dengan doa. "Amin."

"Yaudah kak, aku lanjut kerja dulu ya."

Akhirnya setelah ngobrol hampir satu jam, aku segera mematikan panggilan karena mengingat kerjaan yang belum keluar. Cuci kain kali ini memang banyak bersambungnya, sudahlah harus buat sarapan dulu, bersambung pula terima panggilan telepon dulu.

Saat hendak balik ke bagian belakang rumah, aku kaget lihat Pak Kenzi sudah berada di depan tempat jemuran, dengan salah satu ember kecil yang berisi cucian tadi.

Duh, sudahlah dia yang rendam, masak sekarang dia yang jemur lagi? Pembantu macam apa aku ini.

Tak boleh terjadi! jangan sampai citraku buruk. Karena mulai sekarang seorang Vivid harus menarik perhatian lelaki itu.

Aku segera berlari mendekati Pak Kenzi.

"Aduh, jangan Pak! Biar saya saja!"

Lelaki itu tampak kaget melihat kemunculanku yang ngos-ngosan.

"Jangan, biar saya saja!" larangnya.

"Jangan Pak, ini tugas saya." paksaku.

"Jangan, ini seharusnya pekerjaan istri saya."

"Tapi sudah ditugaskan ke saya. Sini Pak, gak enak saya."

Aku memaksa menarik ember kecil berisi cucian tadi, dari tangannya. Segera mengambil pakaian tersebut untuk dijemur.

"Jangan!" 

Lho, apa ini? Kenapa bajunya berubah jadi kecil-kecil. Perasaan tadi waktu cuci warnanya biru dan cream, kok sudah hitam semua.

Oh my goodness!

Ternyata ini underwear semuanya.

( Bersambung )