8


Aku tak ingat apapun lagi setelah mata ini  mengabur.

Sosok yang terakhir kulihat adalah lelaki itu,  pria bernama Kenzi. Walau wajah blasteran timur tengah sempat membiusku beberapa saat, nyatanya setelah dilumpuhkan --bak penjahat-- aku malah pingsan. Entah karena kuatnya ia menekan punggungku, atau karena kuatnya rasa malu melihat wajah itu lagi.

Sekarang saat kembali membuka mata, aku malah mendapati diri terbaring di kamar sendiri.

Lalu siapa yang bawa kesini?

Sayup-sayup kudengar perdebatan di luar sana. Suara Bu Thalia, dan sepertinya Pak Kenzi.

"Aku memang selalu saja salah dimatamu! Semua harus izinmu. Bahkan memilih pembantu saja harus dengan syaratmu! Aku bukan istri zaman dulu Mas, yang semua harus tunduk sama kamu. Aku punya mimpi, aku punya teman-teman. Gak boleh clubbing, gak boleh arisan, gak boleh pakai baju terbuka!

Kamu gak lihat disana! Yang pakai jilbab aja ada yang kedapatan jadi pencuri, berzina!

Kamu itu terlalu kulot Mas, kaku!

Kalau kamu mengharapkan istri rumahan, yang selalu menyambut suamimya pulang, seharusnya kamu jangan menikahiku. Seharusnya kamu nikah sama pembantu!"

Suara Bu Thalia terdengar hingga kemari.

Duh, apa mereka berdua gak ada empatinya sama sekali? Aku ini pingsan lho tadi! Masak mereka pilih ribut daripada mengkhawatirkan keadaanku.

"Lebih baik kamu urus tu pembantu, gara-gara kamu dia pingsan! Kalau sampai dia gak bangun juga! Kamu dalam masalah!" lanjut Bu Thalia.

Setelah suara pintu yang dibanting kuat, aku tak mendengar suara apapun lagi. Mungkin perempuan itu memilih mengunci diri di dalam kamar.

Duh.

Apa gara-gara aku ya mereka berantam? My heart not delicious jadinya. Alias gak enak hati.

Belum sebentar aku sudah mendengar derap langkah kaki kian mendekat.  

Harus bagaimana ini?

Kalau masih pura-pura pingsan, takutnya dibawa rumah sakit. Mana aku punya ketakutan akan tempat itu, apalagi sama jarum suntiknya.

Atau bagaimana kalau lelaki itu kalap, terus mau bunuh aku dengan menekan bantal menutupi wajah, jangan-jangan dia psikopat.

Buka mata.
Enggak.
Buka mata.
Enggak.

Akhirnya aku memutuskan pura-pura baru buka mata. Dalam hati aku terus berdoa, semoga Pak Kenzi gak ingat wajaku belasan tahun lalu. Jangan sampai Diana memberitahu siapa perempuan dibalik inisial V itu.

"Kamu sudah sadar?"

Aku membuka mata sepertiganya saja, karena tak kuat mental menatap lelaki itu. 

Aku mengangguk perlahan, seolah sakit sekali. Padahal cuma pusing sedikit saja.

"Maaf." 

Kami mengucapkan kata yang sama, secara bersamaan.

"Maaf atas insiden tadi, saya gak tau kalau itu Bapak."

Akhirnya ia membiarkanku bicara pertama. Lagipula kalau aku sedikit teliti, semua ini tak akan terjadi. Bukan dia pemicu utamanya.

Setelah itu  tak tahu harus merespon apa lagi. Lelaki itu terlihat mengusap tengkuknya, apa mungkin efek sakit setelah kupukul dengan gagang sapu tadi masih berasa?

Aku bisa melihat kalau dia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Tapi anehnya gak berefek ke wajahya, tetap enak dilihat meski lagi nahan sakit.

"Kamu yakin tak perlu ke rumah sakit?" tanya lelaki itu lagi.

Aku menggelengkan kepala.

"Tak apa-apa, saya hanya perlu istirahat sebentar, Pak."

Lelaki itu berusaha memastikan sendiri dengan memindaiku lebih lama.

"Besok-besok jangan seperti tadi. Sudah keluyuran, rumah tak dikunci, malah menyerang sembarangan. Makanya saya tak pernah mau ART perempuan muda sepertimu. Merepotkan saja."

Sialan ini orang, mulutnya gak ada manis-manisnya. Dari dulu gak berubah.

Pantes istrinya gak betah.

Tiba-tiba matanya memicing lebih tajam, seperti berusaha memikirkan sesuatu saat melihat wajahku. Jangan sampai ...

"Sepertinya wajah kamu gak asing."

Celaka! Apa kubilang!

Duh, jangan sampai ia ingat apapun.

"Saya sakit perut, Pak. Maaf, mau ke toilet dulu."

Akhirnya aku menemukan cara mengusir lelaki itu dari ruang ini. Namun sebelum berbalik badan, ia masih saja menatapku seperti belum selesai dengan pikirannya.

***

Pagi sekali aku memulai hari dengan sedikit tak tenang. Walau sejak kemarin Pak Kenzi sudah disini, namun efeknya saat bekerja baru terasa hari ini. Seolah kemanapun aku berjalan, ada dia yang menguntit di belakang.

Seperti lagu duo Ratu.

"Aku mau makan, kuingat kamu ..."
"Aku mau tidur, kuingat kamu ..."
"Aku mau tak mau, juga kuingat kamu ..."

Padahal sudah mencoba memasang telinga lebih teliti, tapi tak ada suara apapun, masih aja aku was-was. Tidak terdengar orang berbicara, tidak terdengar derap langkah, suara keran, atau sejenisnya.

Ini kuburan atau bagaimana sebenarnya.

Tapi semalaman memang sempat terdengar bunyi pintu dari lantai dua. Bisa jadi Pak Kenzi tidur di kamar tamu setelah perang dunia dengan istrinya kemarin sore.

Duh, ternyata pelik juga jadi pembantu di rumah majikan yang lagi ribut seperti ini. Pengen jadi wasit, takut kena gebuk juga.

"Iv, baju saya yang saya letakkan di ruang setrika, tolong di selesaikan sebelum siang  ya."

Kemunculan Bu Thalia hampir saja membuatku kaget.

"Baik. Bu, apakah kira-kira saya harus buat sarapan ya buat Bapak?" tanyaku karena bingung bagaimana tugas bagian dapur, selama lelaki itu ada di rumah.

"Kalau dia gak minta, gak usah."

Mendengar jawaban Bu Thalia aku sedikit lega. Semoga saja lelaki itu gak pernah memintaku masak, aku gak siap dengan reaksinya kalau gak suka. 

Saat Bu Thalia kembali ke kamarnya, Aku mendengar suara teriakan dari pagar.

"Iv, ini aku. Mbak Mariati."

Aku segera berlari kesana, demi menemui perempuan yang bekerja tepat di samping rumah ini. Selain Surti, Mbak Mariati adalah orang yang sangat enak diajak bercanda. Pagi ini ia menggunakan baju daster dengan motif mawar dan tulip.

"Eh masuk mbak Mar. Bajunya penuh dengan bunga, gak takut riba?" godaku.

"Daripada kamu, pakai baju kaus garisnya kok dua? Gak takut hamil?"

Perempuan ini jangankan mengalah, seri aja gak mau. Aku baru menyadari ia membawa sesuatu di tangannya. Sebuah wadah Tipuware yang sepertinya berisi makanan.

"Nih, Mbak baru coba resep baru. Coba deh."

Ia mengulurkan wadah berwarna ungu itu padaku.

"Widih, makasih banget, Mbak."

"Sama-sama, jangan lupa baca doa sebelum makan ya. Minimal kalau kamu kenapa-kenapa setelah makan, udah sebut nama Tuhan terakhir kali."

Setelah mengatakan itu Mbak Mariati malah buru-buru pergi setelah dipanggil anak majikannnya, meninggalkaku yang tertawa sambil membuka wadah tersebut.

"Enak kayaknya nih."

Saat hendak masuk kembali ke rumah, aku mendengar kegaduhan layaknya pertengkaran kemarin sore, antara sepasang kekasih. Tapi bukan keributan antara Pak Kenzi dan Bu Thalia, melainkan antara Pak Ronald dan kekasihnya.

Si kucing negro itu.

Pagi-pagi udah ajak kucing betina kawin, ribut benar.

"Hush! Hush!" usirku pada dua kucing kampung yang ingin berbuat asusila itu.

Di bagian samping rumah memang sepi, kata Bi Tatik bagian ini dipakai kalau ada garden party saja. Sudut ini merupakan tempat Ronald sering malas-malasan.

"Heh kucing, awas sana! Jangan******depan jomblo!" ucapku lantang.

Bukannya bubar, Ronald malah berdiri menatapku seakan tak suka.

"Apa! Gak suka? Dasar kucing belagu, sama aja kayak yang punya!"

Ucapan Pak Kenzi kemarin yang mengatakan kalau pembantu sepertiku 'merepotkan', membuatku ingin melakukan sedikit pelampiasan, walau hanya bisa dengan menggerutu pada hewan peliharaannya.

"Ekhem!"

Tiba-tiba aku mendengar suara dehaman dari lantai dua. 

Celaka. Ternyata Pak Kenzi sedang berdiri di balik jendela. Hanya kepala dan badan bagian atasnya saja yang nampak.

"Kalau ada masalah, sini ngomong ke saya! Jangan ke kucing."



( Bersambung )