7

Sudah genap seminggu aku bekerja dirumah ini. Bu Thalia lebih banyak menghabiskan waktu dengan berkegiatan di luar, kalaupun di rumah ia lebih sering di kamar, sesekali membuat konten untuk vlognya.

Channel Youtubenya punya satu juta subscriber, nama Thalia Noor mungkin pupoler di emak-emak muda atau anak-anak muda milenial.

Nah kalau aku? Anak milenial, rasa kolonial.

"Saya pergi sebentar, ada acara."

Bu Thalia sudah siap dengan gaun merah menyala. Untung yang pakai cantik, kalau punya wajah dibawah garis kecantikan bisa-bisa bakal mirip karung goni berisi cabe merah.

"Sip, Bu. Saya juga izin mau main ke samping. Soalnya kerjaan sudah beres semua."

Ia mengangguk, lalu meminta aku mengambilkan tas merah yang tertinggal di atas ranjang kamarnya. Perempuan itu sedang menerima panggilan telepon, ngomongnya pakai bahasa Inggris.

Begini-begini nilai bahasa Inggrisku sering A saat di bangku sekolah, jadi tau kalau dari percakapannya ada yang tak beres. Dia seperti sengaja mengecilkan suara.

Segera aku masuk ke kamar seperti titahnya, daripada nguping pembicaraan orang dewasa.

Untuk pertama kalinya aku masuk ke ruang tidur utama ini.

Whuiiii.

Kamarnya keren banget. Pemilihan warna didominasi warna keeemasan, lemari riasnya juga sangat besar, belum lagi ranjang bergaya klasik dengan ukuran ala-ala kerajaan.

Akhirnya aku bisa melihat foto sepasang suami istri itu disini, bak putri dan pangeran. Yang satu pakai gaun warna broken white, satunya lagi pakai jas, dengan latar laut Bali. Nampak dari puranya.

Sepertinya foto pre wedding.

Aneh juga, diluar gak ada satupun foto mereka berdua, di sosmed Bu Thalia juga gak ada. Foto langka berarti ini.

"Hai Pak Kenzi! Gak usah pulang-pulang selama setahun ya!" ucapku berbicara pada foto.

Segera kuambil tas branded merah itu, lalu menutup kembali pintu kamar.  Tas mahal ini mirip seperti yang sering dipakai Syahrini, mereknya Herpes.

Eh, salah Hermes.

Heran, tas begini aja harganya sampai ratusan juta. Emang dari kulit buaya mana sih dibuat, sampai harganya selangit? Apa jangan-jangan ini dibuat dari buaya yang telah menghosting banyak anak  gadis orang?

"Ini, Bu."

Aku mengulurkan tas itu pada Bu Thalia Yang sudah mengakhiri panggilan telepon.

"Oia, Iv."

Ternyata caranya menyebut namaku keren juga, pengucapan huruf V nya  semacam ada sensasi Qalqalah Kubra. Nah, begini seharusnya, mirip nama-nama orang barat.

"Ya, Bu?"

"Kamu belum berubah pikiran? Tentang penawaran itu."

Butuh sepersekian detik hingga akhirnya aku paham pertanyaannya. 

"Gak Bu."

Rasanya daripada disuruh berubah pikiran, masih lebih baik berubah wujud. Jadi Chelsea Island barangkali.

Akhirnya perempuan itu benar-benar meninggalkan rumah, melaju dibalik sedan mewahnya, meninggalkaku dengan setumpuk pikiran kusut di kepala.

Ah, lebih baik ketemu Paspampres, mana tahu bisa menghibur hati yang lara.

Segera kupastikan semua pintu sudah terkunci, kecuali pintu surga.

Kususuri jalan menuju rumah majikan Surti yang dipanggil Ummi oleh orang-orang di komplek ini. Konon katanya, beliau adalah janda kaya raya. Almarhum suaminya punya usaha tambang batubara, sekarang sedang dilanjutkan oleh anak lelakinya yang sudah berkeluarga di Kalimantan. Disini beliau hanya tinggal bersama dua anak perempuannya yang masih SMA.

"Assalamualaikum." ucapku ragu, baru perdana kesini sendirian.

"Waalaikumsalam," suara Surti terdengar berteriak, sepertinya ia sedang berada di bagian belakang rumah. Setengah berlari, tiba-tiba perempuan itu sudah berada di depanku. 

"Baru ambil jemuran tadi. Ayo masuk Iv, jangan malu-malu, anggap aja rumah majikan saya."

Dasar Surti.

Aku segera masuk lalu menyalami Ummi yang sedang duduk di ruang keluarga. Ternyata beliau lagi baca tafsir Quran. Masya Allah.

"O, ini yang gantiin Bi Tatik sekarang? tanya Ummi tersenyum.

"Iya, Ummi."

"Namanya siapa?"

"Ivid."

"Hah? Covid?"

'Dan terjadi lagiiiiii ...' nyanyiku lagi dalam hati.
Kalau bukan sepenggal kenangan memalukan bersama lelaki di komplek ini, tak perlu ada drama tiap kali memperkenalkan nama diri.

"Ivid, Ummi. Tanpa R setelah V," timpal Surti.

Duh, pakai diperjelas pula.

"Oo, Ivid. Ayo silahkan duduk, anggap aja rumah sendiri. Sur, keluarin makanan atau buah-buahan."

Nah, ini terdengar enak sedikit didengar. Sepertinya memang benar kata Paspampres kalau Ummi memang sosok baik hati. Perempuan berpakaian serba hitam itu meletakkan buku tafsir yang sangat besar tersebut, lalu melepaskan kacamatanya.

"Betah disini?" tanya beliau.

"Alhamdulillah, Ummi."

Aku tentu tak perlu menjelaskan lebih detail terkait gangguan non mistik yang membuat tidur tak kenyang, makan tak lelap. 

"Seumuran dengan Surti ya sepertinya?"

"Iya bu, duluan Surti setahun."

Surti akhirnya kembali dengan satu keranjang buah-buahan lokal, interlokal, sampai internasional. Lalu mempersilahkanku makan, juga minum pastinya.

Aku, Ummi dan Surti berbincang banyak hal. Ternyata pengetahuan agama Ummi benar-benar baik. Aku jadi malu karena menjadi satu-satunya yang tak menutup aurat dengan baik disini. Walau selalu memakai bawahan panjang dan kaus longgar, tapi aku belum berjilbab.

"Setiap jumat siang ada pengajian disini, datang ya. Ustadzahnya yang isi kajian keren-keren lo."

Ummi memberi tahu terkait agenda mingguan di rumahnya yang besar ini.

"Insyaallah Ummi," jawabku antusias.

Lalu kami mulai melanjutkan obrolan tentang Surti yang berencana akan menikah tahun depan, dan berhenti kerja. Ia sudah dijodohkan oleh orang tuanya.

"Kalau jodohnya gak baik atau gak ganteng, gimana ya Ummi," tanya Surti terlihat galau.

"Jangan berburuk sangka kepada Allah, Sur. Orang tua aja gak mungkin kasih yang buruk buat anaknya, apalagi Tuhan ... kalaupun suami kamu nanti jelek atau gak baik, pasti karena ada fase yang menurut Tuhan memang harus kamu lewati, biar jadi perempuan tangguh. Biar layak dapat surga."

Jawaban Ummi sejuk banget, seperti lagi dengar kajian di Indomaret.

"Calonnya Surti memang orang mana? Satu desa?" tanyaku ingin tahu.

"Iya Iv. Kata ibu calon suamiku seorang Bintara, awalnya senang banget tau punya suami Bintara, rupanya malah kena prank."

"Memangnya ternyata dia bukan Bintara?"

"Bintara sih ... tapi ada spasinya antara Bin dan Tara."

Butuh sepersekian detik, hingga aku paham maksudnya.

"Maksudnya, dia anak pak Tara?"

"Iya, Iv. Dia pedagang jilbab di tempat langganan ibu."

Pengen ngakak takut dosa. Aku cuma lihat Ummi bahan tawa, akupun sama.

Aku segera pamit saat menyadari sudah duduk satu jam lebih disini, ternyata orang-orang di rumah ini memang baik-baik semua. Kalau kata FYP; Ammedikkittu.

Tulisanya mah "Im Addicted to."

Saat kembali ke rumah aku mendapati seperti ada yang berbeda. Seingatku tadi, tak lupa mengunci pintu. Kenapa bisa terbuka begini ya?

Tiba-tiba rasa takut hadir begitu saja, aku curiga jangan-jangan ada malingnya. Bagaimana kalau ada perampok?

Dengan mengendap-ngendap, aku berjalan menuju setiap ruangan, memastikan kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tidak ada apapun yang aneh, setidaknya hingga aku lihat kamar tidur utama sedikit terbuka. Segera kuambil sapu untuk jaga-jaga.

Kulangkahkan kaki, sambil meminta pertolongan Tuhan. 

Lalu saat mendapati ada seorang laki-laki di dalam kamar, sedang membuka lemari bu Thalia, segera kuayunkan sapu sekuat tenaga mengenai bagian belakang lehernya.

"Maliiiiiiingggg!!!" teriakku.

Walau sempat hampir tumbang ternyata dia masih bisa menangkis dipukulan kedua, lelaki itu segera berbalik badan lalu menarik sapu dari tanganku, demi memberikan serangan balik.

"Aaaaaaaa!!!" teriakku lagi, saat menyadari siapa lelaki ini.

Dengan cepat ia berhasil membuatku tersungkur, layaknya polisi menangkap penjahat.

"Ampun Pak, Kenzi ...."

( Bersambung )