Apa mungkin adegan dewasa kemarin itu aku cuma salah lihat ya? Tapi rasanya tak mungkin, karena plat mobilnya sama kok.
Sebenarnya dari jawaban Bi Tatik, aku bisa menangkap kalau pasangan suami istri pemilik rumah ini tak menjalani pernikahan lazimnya pasangan harmonis.
Bisa jadi aku salah. Tapi bukankah idealnya pernikahan itu selalu bersama? Dengan rumah secantik ini kurasa perekonomian mereka pasti baik-baik saja.
Lalu apa yang menyebabkan keduanya menjalani pernikahan yang sering berpisah seperti ini. Bu Thalia lebih sering di Jakarta, sementara Pak Kenzi lebih sering di luar daerah.
Duh, kenapa begini jadinya. Kenapa pula aku harus terjebak di rumah lelaki ini.
Rasanya mendengar kalau aku dipecat sebelum bekerja, rasanya masih lebih baik daripada berada di rumah ini hingga satu tahun ke depan.
Aku masih ingat belasan tahun lalu.
Hari dimana aku diam-diam melihat temanku Diana, setiap hari diantar saudara lelakinya yang berseragam SMA. Kak Kenzi adalah sosok abang yang ideal menurutku, suka mengajak adiknya makan bakso. Aku juga tak tahu pasti sebenarnya itu cinta, kagum, atau hanya sekedar iri karena abang kami tak sebaik dan seganteng abangnya Diana.
Lalu aku nekat kirim surat panjang lebar, tanpa nama. Hanya memberi inisial V, dan mengatakan bahwa aku sekelas dengan adik perempuannya.
Saat surat kutitipi ke Diana, aku meminta agar jangan memberi tau dulu siapa pengirimnya. Hanya ingin lelaki itu menebak sendiri dengan ciri-ciri yang tertulis di surat cinta itu.
Dan kalian tau apa?
Bukannya mencari tahu siapa perempuan yang memujanya, dia malah langsung membalas keesokan harinya dengan kalimat yang buatku ingin menghilang ke kutub utara.
"Sekolah yang benar dulu dek ya, kamu masih kecil ... nanti kalau sudah tamat SMA baru coba kirim surat lagi yang benar. Itu cara nulis kamu aja masih salah. Jangan lagi menyingkat kata "sekali" dengan "seX”. Saat kamu tulis “cinta seX” nanti otak saya bekerja terlalu dewasa, kamu juga yang repot."
Ya ampun itu manusia.
Setelah kejadian tersebut jangankan menatapnya dari kejauhan, melihat Diana saja aku sudah ingin kabur duluan. Perlahan aku mulai menjauhi perempuan itu. Kebetulan juga kami pisah kelas saat kelas tiga SMP, jadi aman.
Dan sekarang, lihatlah bagaimana masa depan membawa sebongkah masa lalu kehadapanku. Benar-benar mengerikan.
Mau ditaruh dimana wajah ini kalau ternyata Diana memberi tahu siapa perempuan yang mengirimi abangnya surat cinta.
Syukur-syukur kalau lelaki bernama Kenzi Khanadi itu memang gak tau, atau gak ingat sama sekali tentangku. Kalau iya, mungkin dia akan meledek begini nantinya saat kami bertemu.
"Nah kan! Sudah saya bilang dulu, belajar yang benar, jangan mikirin cinta! Sekarang malah jadi pembantu saya, kan kamu?"
Aku mendadak pusing. Bahkan kata-kata Bi Tatik tak lagi mendarat mulus di otak. Yang kuingat hanya tentang surat memalukan itu.
"Bapak dan Ibu jarang di rumah, jadi sebenarnya kerja kamu itu mudah banget. Cuma bersih-bersih rumah aja."
Akhirnya kalimat itu sedikit terdengar bagai angin segar. Harus pandai-pandai mensiasati waktu, lagipula peluang bertatap muka juga kecil.
"Tenang Vid, everything is under control." ucapku dalam hati.
Bi Tatik lanjut memberitahu beberapa hal terkait perawatan furniture, tentang gorden yang harus dilaundry sebulan sekali, atau tentang ruang wardrobe yang tak perlu dibersihkan kecuali ada perintah.
"Bu Thalia juga vegetarian, jadi punya katering makanan sehat sendiri. Paling kalau bapak pulang, beliau cuma minta dibikinin makanan sederhana saja. Pernah, sebulan cuma sekali saya masak buat mereka."
Baiklah, setidaknya itu terdengar lebih menarik agar aku tak terlalu mendramatisir keadaan.
"Yaudah, ayo saya tunjukkan kamar kamu. Sekarang kalau ada yang ingin ditanyakan, tanyakan terus. Besok sore saya akan pulang kampung."
Aku akhirnya memilih mengekor dibelakang perempuan bertubuh tambun itu, menuju sebuah ruang dimana seorang upik abu metropolitan ini akan menghabiskan malam dengan kejombloan.
"Kamu boleh langsung isi lemarinya. Barang saya udah dimasukin tas, cuma tinggal dua pasang pakaian saja disana," jelas Bi Tatik sambil membuka lemari dua pintu tersebut. Di sampingnya juga ada sebuah dispenser dan meja rias minimalis.
Ah, syukurlah ada kamar mandi di dalam, tak seperti di kosanku selama ini.
"Oia Bi, emangnya pekerjaan Pak Kenzi apa ya?" tanyaku sambil menoleh ke jendela kamar yang menampilkan halaman samping.
"Beliau arsitek, punya perusahaan design interior juga di Bandung. Jadi suka pulang pergi."
Sialan, lelaki itu malah berhasil menjadi arsitek, disaat aku bahkan gak lulus di jurusan tersebut.
"O, pantesan rumahnya secantik ini ya Bi."
Aku masih terpesona dengan kolam tenang indoor yang berada tak jauh dari ruang keluarga. Walau berada dalam ruangan yang tak begitu besar, namun bisa terlihat sangat menarik.
Mungkin karena kombinasi alam tropis dibalik dinding kaca, membuatnya seakan berada di dalam kabin tengah alam bebas.
"Ya, walau rumahnya cantik tapi fungsinnya tidak seperti rumah, ya untuk apa."
Setelah mengucapkan itu Bi Tatik malah terlihat menutup mulutnya. Aku menangkap ia seperti tak ingin bercerita tak lebih jauh tentang sesuatu yang membuat rumah ini terasa hampa. Tanpa ada chemistry pemiliknya, tanpa riuh anak-anak, bahkan Pak Kenzi dan Bu Thalita juga sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
"Intinya begini ... bu Thalia itu baik, kita hanya tak perlu terlalu banyak ikut campur. Tugas kita hanya bekerja, merapikan apa yang berantakan, membersihkan apa yang kotor, bukan mengasihani keadaan mereka. Biarkan itu menjadi urusan Bu Thalia dan Pak Kenzi. Kamu tugasnya kerja, di luar itu biarkan menjadi hal pribadi mereka."
Nasehat Bi Tatik terdengar masuk akal.
"Bibi akan balik kesini lagi gak? Kayaknya aku bakal gak betah disini ... rumahnya sepi."
Aku tak perlu menjelaskan alasan sebenarnya, cukup memastikan apakah bila suatu waktu Bibi akan kembali, karena aku berharap demikian.
"Kemungkinan sih enggak, saya uda bosan hidup di kota besar. Pengen ngabdi sama orang tua di kampung. Pahala saya cuma dari sana saja sumbernya. Maklum gak punya suami."
Duh, aku jadi gak enak sudah mengarahkan pembicaraan ke topik ini. Semoga Bi Tatik cepat dapat jodoh, dan aku juga.
"Berapa lama sudah mereka menikah, Bi?" tanyaku lagi.
Setahuku perempuan bernama Thalia itu baru terkenal satu tahun belakangan, namun ia tak pernah mengekspose pasangannya.
"Dua tahunan sepertinya ..."
"O, udah lama juga ya. Tapi memang belum punya anak, Bi?"
"Ada tuh! Anak kucing."
Yaelah si Bibi asik bercanda aja dari tadi, biar sekalian aja aku ladeni.
"Maksud Bibi, kucingnya darah daging Pak Kenzi?" tanyaku sedikit tertawa.
"Nah, itu dia. Kalau lagi galak, mirip banget mereka berdua. Jangan-jangan memang anak kandungnya."
( Bersambung )