Duh! Ini lelaki sebenarnya lagi bicara sama siapa sih, di ambang sadarnya.
"Pak, jangan pegang-pegang Pak. Kita gak lagi mau nyebrang jalan," ucapku berusaha memindahkan tangannya kembali di ranjang.
Lagian horor saja di kamar ini berdua, mana ada latarnya foto romantis suami-istri itu pula. Semacam jadi pelakor rasanya.
"Hoeekkk."
Ya Tuhan, apa lagi ini! Lelaki itu tiba-tiba saja muntah.
Percikannya kemana-kemana. Sebagian mengenai tanganku, namun lebih banyak mengenai sprei.
"Ya ampun, Pak. Jahat banget sih nambahin kerjaan saya," ucapku lemah.
Setelah mengeluarkan isi perutnya kukira ia akan bangun dan sadar. Rupanya hanya sesaat ia melihatku dengan tatapan seperti orang sakau, lalu malah tidur lagi.
Aku terpaksa hanya bisa membersihkan bagian sprei yang terkena muntahannya saja dengan tissu, lalu membiarkan ia tidur disana.
Ini sudah jam satu lewat, aku juga sudah sangat mengantuk. Besok saja kita lihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Semoga tidak ada masalah baru.
****
Aku memulai pagi sedikit lesu, mungkin efek kurang tidur. Namun mengingat ada seorang 'pasien' di rumah ini, terpaksa kuseretkan kaki ke kamar utama untuk memastikan apakah Pak Kenzi baik-baik saja, atau apakah ia perlu bantuan.
"Pak,"
Aku mengetuk pintu untuk menunggu jawabannya.
"Pak, apakah anda baik-baik saja?" ulangku dari luar. Namun belum ada respon juga.
Aku jadi khawatir, jangan-jangan dia kenapa-napa. Udah jam delapan pagi, masak iya belum bangun juga.
"Pak, jangan buat saya takut. Kalau Bapak gak jawab, saya masuk ni!" ancamku.
"Masuk," akhirnya terdengar suara dari balik pintu.
Akupun membuka pintu dengan hati-hati, lalu mendapati lelaki itu terbaring di ranjangnya dengan wajah memprihatinkan. Lebam itu mulai merusak warna wajahnya.
Segera kubuka jendela, demi membiarkan sinar matahari dan udara pagi masuk dengan leluasa. Matahari pagi sangat baik untuk kesehatan, dan aku selalu suka dengan sensasi memulai hari dengan membuka jendela, disapa sinar matahari. Seolah lagu grup band RAN sedang menjadi back songnya.
"Selamat pagi
Embun membasahi dunia
dan mulai mengawali hari ini
Dan kukatakan, Selamat pagi!
Kicau burung bernyanyi.
Dan kini ku siap tuk jadi babu lagi ...."
Semoga RAN tak menuntutku akibat merusak lirik lagu mereka.
Baiklah, saatnya kembali menghadapi kenyataan hidup. Saatnya menjadi pembantu yang professional, menghadapi majikan dengan segenap kemungkinan buruk.
"Apakah, Bapak membutuhkan sesuatu?" tanyaku.
Lelaki itu menggeleng, lalu melihat lengannya sendiri. Walaupun kemeja itu sampai sobek, sepertinya tidak ada cidera parah disana.
Tapi saat ia mencoba berbalik badan, lelaki itu reflek mengerang.
"Argh!"
Walaupun sedikit menahan suaranya, tapi sepertinya Pak Kenzi sedang merasakan sakit yang luar biasa.
"Bapak mau saya carikan dokter?" tanyaku yang cemas dengan keadaannya.
Lelaki ini masih mencoba memperbaiki posisi tidurnya. Seperti merasa kurang nyaman, akhirnya ia coba kembali ke posisi awal.
"Memang kamu mau cari dokter dimana?" tanya lelaki itu dengan sorot mata seperti meragukan kemampuanku.
Duh, ternyata orang lagi sakit masih juga bisa terlihat menyebalkan.
"Kakak saya seorang dokter. Nanti saya suruh dia kesini saja," lanjut lelaki itu akhirnya.
Syukur juga ia tidak memperpanjang penawaran tadi, karena sebenarnya aku juga gak tahu nyari dokter dimana. Taunya cuma dokter Boyke.
"Sepertinya saya susah bergerak, mungkin nanti akan perlu bantuan."
Lelaki itu membuang wajahnya dengan menatap ke luar jendela. Sepertinya butuh usaha besar baginya untuk menurunkan gengsi dalam diri.
"Tolong ambilkan air putih hangat!" perintah lelaki itu.
"Airnya dihangatkan pakai dispenser, atau dihangatkan pakai pelukan saya, Pak?"
Tentu saja pertanyaan itu hanya diucapkan di dalam hati. Seorang Vivid, alias Iv, tentu tak segenit itu. Bagaimanapun bidadari surga harus kalem.
Ya, menurut Yasmin, kami bertiga memang ibarat bidadari yang jatuh dari langit.
Hanya saja saat jatuh ke bumi, anggota tubuh yang jatuh pertama kali adalah muka.
Aku segera mengambil air di dapur agar lebih cepat, karena di dispenser kamar ini air panas tidak dihidupkan.
Setelah aku berhasil memenuhi gelas dengan air hangat dan kembali ke kamar, terlihat Pak Kenzi berusaha duduk dengan sedikit kepayahan.
Padahal menurut lelaki --yang tak kutahu namanya-- Pak Kenzi cuma lebam saja. Apakah mungkin, ada hal yang tak dilihatnya selama disana?
Aku segera mengulurkan air hangat itu padanya, Pak Kenzi segera mengosongkannya dengan cepat.
"Maaf Pak, spreinya gak bisa saya ganti semalam. Soalnya setelah muntah, Bapak langsung tidur," ucapku menjelaskan kronologisnya, takut dia tak nyaman tidur dengan alas kena muntah.
Lelaki itu seperti butuh waktu untuk memahami kalimatku.
"Pantas, tadi seperti ada bau aneh," ucapnya seperti baru menyadari sesuatu.
"Apa saya ganti sekarang aja ya, Pak. Spreinya? Bapak bisa bangun, sebentar?"
Lelaki itu seperti butuh waktu sejenak untuk berpikir, seperti ragu dengan kekuatan badannya sendiri.
"Iya, saya coba."
Pak Kenzi mencoba menegakkan badannya dengan hati-hati. Aku tak berani menawarkan bantuan, karena menduga beliau tipe orang yang tak suka dikasihani.
Akhirnya berhasil, walau ia tidak melakukannya dengan mudah.
"Cepat pasang spreinya, saya mau ke kamar mandi dulu."
Dengan langkah lambat dan hati-hati, Pak Kenzi menuju me depan lemari. Mengambil pakaian dan handuk.
Lalu setelahnya ia melanjutkan langkah ke lamar mandi di bagian kiri kamar, dengan langkah masih tak seimbang.
Segera kulepaskan sprei itu dengan cepat sesuai perintahnya, lalu mengambil yang baru.
Sepertinya warna hijau lebih menyejukkan mata. Segera kupasang kain berbahan katun lembut itu ke ranjang berukuran king size di kamar ini.
Begitu aku selesai, disaat yang sama Pak Kenzi juga sudah keluar dari kamar mandi. Lelaki itu telah berganti pakaian. Ternyata untuk tampan tak perlu mandi lama-lama. Atau bisa jadi ia terpaksa mandi paket kilat, karena tak sanggup berdiri lama.
"Sudah, Pak," ucapku mempersilahkannya kembali beristirahat.
Setelah memastikan ia berhasil duduk dengan nyaman, aku menanyakan apakan ada sesuatu yang ingin dimakannya untuk sarapan. Namun lelaki itu menggelengkan kepalanya. Tak ingin makan apapun.
"Terima kasih, kamu sudah baik ..."
Lelaki itu tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Tapi aku melihat sorot matanya tak lagi semenyebalkan kemarin.
Aku bahkan tak berani balik menatapnya, takut tersesat dibalik manik matanya yang hitam. Sehitam Malika, kacang kedelai yang dibesarkan seperti suami sendiri.
Eh.
"Sama-sama, Pak. Semoga cepat pulih. Kalau memang ada yang dibutuhkan, bilang saja."
"Berapa nomor Hp mu?"
Wah, beneran ini dimintai nomor Hp? Jangan-jangan sebentar lagi dia minta nomor sepatu, ukuran baju, nama wali, dan jumlah mahar.
"Jadi kalau saya butuh sesuatu, tinggal telepon. Pastikan kamu selalu meletakkan HP di saku," jawab Pak Kenzi mengakhiri halusinasiku.
( Bersambung )