CSB 5
Dari sekian banyak mata kuliah yang harus kuikuti, mata kuliah umum adalah favoritku. Apa pun jenisnya. Mau itu Agama, kek; Kewiraan, kek; Ilmu Budaya Dasar kek; aku tidak peduli. Yang jelas, saat mengikuti mata kuliah umum, semua mahasiswa dari berbagai jurusan tumplek di sebuah ruang kuliah berkapasitas besar. Ruangan—yang juga merupakan ruang serbaguna—itu dipenuhi barisan-barisan kursi; yang semakin ke belakang, posisinya semakin tinggi. Persis seperti ruangan bioskop 21.

Kebayang, kan, serunya? Bisa cuci mata, ngerumpi, ngerjain tugas, atau baca novel dan majalah. Dan, saking banyaknya mahasiswa di ruangan itu, para dosen pun tidak ambil pusing dengan apa yang dilakukan oleh para mahasiswanya. Hanya mahasiswa yang serius mengikuti kuliah—para pengejar IP tertinggi—yang duduk di barisan depan. 

Sudah jelas, aku dan Chika tidak termasuk di antaranya. Kursi favorit kami adalah di deretan paling belakang. Posisi yang paling tinggi membuatku dapat memantau seisi ruangan dengan mudah. Dan, pastinya, dapat memandangi cowok-cowok oke—yang tak mungkin kumiliki—dari kejauhan.

Saat ini, aku sedang kuliah di ruang itu. Bukannya menyimak, aku malah membolak-balik majalah yang dibawa Chika. Pak Amir sedang bercuap-cuap di depan kelas. Bahkan, suaranya yang terdengar dari  soundsystem sama sekali tak mengusik keasyikanku membaca majalah. Tiba-tiba, mataku menangkap sebuah artikel pendek atau tips…, entah apa namanya, tentang cinta. 




_________________________________________
SIAPA TAKUT BILANG CINTA

Siapa cepat, dia dapat. Ungkapan yang satu ini ternyata enggak cuma berlaku saat musim diskon, Girls. Tapi, dikenal juga dalam dunia percintaan. Terlebih lagi dalam urusan mendapatkan cowok potensial. Sudah bukan kabar baru lagi kalau jumlah cewek di  dunia ini empat kali lebih banyak dibandingkan dengan cowok. Nah, lupain saja, deh, mengirim sinyal-sinyal cinta. Selain kaum cowok dikenal enggak mahir menerjemahkannya, manuver tersebut cuma bakal membuat gerakmu secepat siput.

So, go for it, Girls. Jangan sampai menyesal kalo gebetanmu disamber cewek lain, hanya karena kamu takut bilang cinta.
_________________________________________






Oooh, jadi gitu, toh? Jadi, sekarang ini, sudah bukan zamannya untuk bersikap malu-malu kucing atau sekadar mengirim sinyal-sinyal cinta? Tapi, sinyal-sinyal cinta itu yang bagaimana, sih, yang tidak bisa diterjemahkan cowok? Aku pun sibuk berpikir.

Tiba-tiba, Chika yang duduk di sebelahku menyikut lenganku. Aku menoleh padanya dan menatapnya bingung.

“Apaan, sih?” tanyaku.

Chika menunjuk ke depan kelas dengan dagunya. “Nage….” [itu ....] 

Aku mengikuti arah pandangannya dan melihat seorang cowok yang baru datang. Ia menuju bangku kosong di deretan belakang. Aku terbelalak melihat cowok berbadan atletis itu. Jantungku berdebar keras. Nicholas Saputra! Aku mengucek-ngucek mataku, tak yakin dengan apa yang kulihat.

Mungkinkah tanpa kusadari, aku terlempar ke masa lalu? Di saat Nicho masih muda?

“Gila, ya! Cakep banget!” bisik Chika. “Mirip banget sama Nicholas Saputra waktu masih muda.”

Ooh, jadi bukan Nicholas Saputra, atau aku yang terlempar ke masa lalu, cuma mirip, toh. Aku sedikit kecewa. Tapi tidak masalah, yang penting kemiripannya dengan Nicholas Saputra hampir 100%. Kecuali, badannya yang—mungkin—sedikit lebih pendek dari Nicholas Saputra, selebihnya dia benar-benar duplikat sempurna artis idolaku itu. Rambutnya yang lurus pendek membuatnya persis Nicholas saat main dalam film Gie. 

By the way, Ssebenarnya, cuma satu hal yang membuatku bisa bertahan menonton film itu hingga tamat. Apa lagi kalau bukan karena si Nicho itu? Coba kalau pemainnya bukan dia, aku pasti bosan dan tertidur.

“Siapa, sih?” tanyaku penasaran. “Kok, gue baru liat. Jurusan apa?”

“Namanya Farrel. Anak Jerman tingkat dua.”

“Kok, gue baru liat?” aku mengulangi pertanyaanku.

“Kabarnya, sih, dia cuti semester kemaren.”

Aku mengangguk-angguk sambil terus mengamati duplikat Nicholas Saputra, yang sekarang duduk di barisan bangku di depanku.  

“Kok, lo tau-tauan, aja, sih?” aku menatap curiga pada Chika.

“Ya, tau, doong…. Makanyaa, gaul doong, gauul…. Jadi, nggak ketinggalan berita.” 

“Alaa, paling Danu yang kasih tau elo. Danu juga jurusan Jerman, kan?” aku mencibir. Danu adalah pacar Chika.

Chika nyengir. “Hhh, kira-kira Danu rela nggak, ya, kalo gue tuker tambah sama Farrel?” bisiknya sableng.

“Lo kata Danu barang bekas bisa dituker tambah?” gerutuku geli. “Lagian, cowok seganteng itu, emang mau sama cewek sarap kayak elo? Dia, sih, pasti udah punya cewek.”

“Positif jomblo!” sahut Chika santai. “Tapi, yang ngejer banyak,” lanjutnya, membuatku terbelalak takjub menatapnya.

“Kok, lo tau? Emangnya, Danu segitu naifnya? Sampe mau aja menyampaikan informasi yang lumayan detail?” 

Bukannya menjawab pertanyaanku, Chika malah senyum-senyum penuh arti. Hmphf, dasar sableng! Kasihan amat, sih, Danu, punya pacar model begini?

Tiba-tiba, aku tersentak. Jangan-jangan, ini suatu pertanda. Bukankah aku nge-fans banget sama Nicholas Saputra? Dan, baru saja aku membaca artikel tentang “Siapa Takut Bilang Cinta”. Lalu, tiba-tiba, aku bertemu duplikat Nicholas Saputra. Masih jomblo pula! Ditambah lagi, inisial kami sama. 

Eh ...? 

Tapi, ada pengaruhnya atau nggak, sih? Apa punya inisial yang sama berarti jodoh? Hmm, kayaknya, nggak, deh, hi hi hi…. Tapi, ini bisa berarti, aku harus menyatakan cinta pada duplikat Nicholas Saputra. Tidak dapat Nicholas Saputra, duplikatnya juga nggak apa-apa, deh. 

Ya, Tuhan, apakah ini petunjuk dari-Mu? Apakah ini jawaban dari doaku? Apakah Farrel memang diperuntukkan bagiku? Waaah, ini, sih, benar-benar suatu hadiah besar dari Tuhan. Benar-benar mimpi yang jadi kenyataan! Tapi, apa dia mau sama aku, ya? 

Aku tersenyum pahit mengingat kondisi fisikku. Bisa-bisa, jadi seperti Pangeran Tampan dan Putri Kodok. 

Hmphf! 

Eh? Tapi, kalau sudah jodoh, sih, yang mustahil bisa jadi mungkin, kan? Kan, ada pepatahnya, kalau jodoh tak akan ke mana. Lagi pula, aku, kan, tidak menyebalkan seperti Lestat? Mungkin masih ada peluang untukku.

Tapi, aku, kan, belum mengenalnya? Tidak mungkin, kaan, tiba-tiba saja aku menghampirinya dan bilang, “Farrel, I love you…. Wo ai ni.” Hmphf, bisa-bisa, aku dikira salah satu penghuni RSJ yang kabur. Tapi, bagaimana caranya supaya bisa kenalan sama dia, ya? Aduuh, tolong kasih aku jalan, dong, Tuhaan…. Aku, kan, sama sekali tidak berpengalaman dalam urusan beginian. Ada tidak, sih, panduan buat berkenalan dengan pria idaman? 

Hingga kuliah berakhir, tidak ada hal lain yang kulakukan selain mencuri-curi pandang ke arah Farrel. Walaupun aku hanya dapat melihat bagian belakang kepalanya, tetapi hatiku terasa senaaang sekali. Dan, aku semakin bersemangat mengikuti mata kuliah umum. Tra la la la….


*


Komentar

Login untuk melihat komentar!