"Lain kali kalau jalan lebih hati-hati, ya, Mbak Menik," ujarku.
Perempuan berusia 33 tahun itu dengan susah payah berdiri. Bibirnya monyong ke depan. Bau tidak enak menguar dari tubuh Mbak Menik. Dengan langkah terseok dia berjalan ke rumahnya--yang berseberangan dengan rumah kontrakanku.
"Mbak Menik kenapa, tuh?" tanya Mbak Ratih.
"Jatuh ke selokan, Mbak."
"Oh, ya, Raya. Aku ke seni mau pesan empat bolu gulung. Yang dua toping meses coklat, yang dua keju. Ukuran besar Berapa harganya, Mbak?" Mbak Ratih menggali ke dalam tas, dia mengambil dompet.
"Empat bolu gulung 180 ribu, Mbak," jawabku. "Mau diantar kapan?"
"Besok sore. Bisa, kan? Ini aku bayar sekalian." Mbak Ratih mengulurkan dua lembar uang seratus ribuan. "Kembaliannya buat anak-anakmu saja, untuk beli es krim dan permen."
Seraya menerima uang dari Mbak Ratih, aku berkata, "Terima kasih, Mbak Ratih."
"Aku pulang dulu," pamitnya. "Jangan lupa besok sore jam lima."
Aku pun masuk ke rumah. Tampak Faiz dan Raihan duduk di depan televisi. Menonton serial kartun Thomas and Friends.
Ponsel di atas meja makan berdering, buru-buru aku meraihnya, lalu menggeser tombol hijau.
"Halo, Ibu."
"Bagaimana kabarmu dan anak-anak?"
"Sehat, Bu."
Pembicaraan dengan Ibu di ponsel tidak lama. Beliau selalu menanyakan anak-anak dan kondisi kami. Berpesan, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk cerita. Namun, aku tidak ingin menyusahkan ibu dan kakakku yang tinggal di Surabaya. Ibu sudah sepuh, sementara Mbak Wina hanya ibu rumah tangga. Kadang kalau ada rezeki lebih, Mbak Wina mengirim uang untuk anak-anak.
Keluarga dari pihak almarhum suamiku termasuk berkecukupan. Mereka juga kadang memberikan bantuan. Aku tidak ingin bergantung pada keluarga. Kadang keluh kesah hanya akan mendatangkan luka. Dan, itu sudah pernah aku alami. Lebih baik diam, kecuali dalam kondisi darurat.
***
"Selain maem, minum, dan susu. Sudah ada tambahan kosakata lagi?" tanya dokter yang memeriksa perkembangan tumbuh kembang Faiz.
"Belum ada, Dok."
"Terapi okupasi dan wicara masih dilakukan, kan?"
"Terapi okupasi dan wicara satu kali dalam seminggu, Dok," jawabku sambil merapikan rambut Faiz.
"Kalau bisa okupasi ditambah jadi dua kali," saran dokter.
Aku hanya menggangguk. Karena keterbatasan biaya, aku belum bisa menambah jadwal terapi untuk Faiz. Sekarang aku mencium ubun-ubun Faiz, meredam rasa sedih.
Setelah selesai, kami berdua keluar dari poliklinik Tumbuh Kembang. Aku menggandeng tangan Faiz, berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Langit bulan Februari tampak berawan hitam.
Kami berdua pulang menggunakan ojek online. Tepat pukul sebelas siang kami sampai di rumah. Biasanya, setiap kali mengantar Faiz ke rumah sakit, aku menitipkan Raihan dan Yasmine di rumah Mbok Wanti. Aku mengajak kedua anakku pulang dan mengucapkan terima kasih pada perempuan yang rambutnya sudah memutih.
"Biarkan di sini sampai sore, Raya. Aku enggak ada teman," ujar Mbok Wanti.
"Nanti enggak bisa tidur, karena anak-anak pasti berisik." Aku beralasan.
"Cari suami lagi, Raya. Kamu masih cantik," seru Mbok Wanti yang berdiri di teras rumahnya yang bergaya joglo.
"Waduh." Aku meringis. "Terima kasih, Mbok. Kami pulang dulu."
Aku bergegas menyusul anak-anak yang sudah berlari pulang ke rumah. Mencari suami tidak semudah yang dibayangkan. Sosok lelaki itu harus menyayangi anak-anakku. Lalu, apakah ketiga anakku bisa menerima kehadiran lelaki lain? Huff, terlalu banyak rintangan.
Selesai menyiapkan makan siang untuk ketiga malaikatku, aku langsung membuat pesanan bolu gulung Mbak Ratih. Pukul empat sore aku sudah selesai. Rasanya sangat penat, karena harus memandikan Faiz dan Raihan.
"Yasmin, Raihan mana?" tanyaku saat tidak melihat Raihan.
"Main ke rumah Farel, Ma."
Farel adalah anaknya Mbak Menik. Aku keluar rumah, Raihan terlihat bermain di halaman rumah Mbak Menik. Sementara, di depan toko sembako Mbak Menik ada ibu-ibu tengah memperhatikan truk yang terparkir. Sepertinya ada tetangga baru yang pindahan, karena terlihat beberapa orang mengeluarkan kardus-kardus besar dari truk.
"Raihan, pulang, Nak!" seruku. "Mandi dulu."
"Enggak mau," tolak Raihan.
"Setelah mandi. Kita beli es krim. Mau?" bujukku.
"Sama ayam goreng kayak punya Farel." Raihan menunjuk Mbak Menik yang sedang menyuapi Farel dengan ayam goreng dari negara Paman Sam.
"Itu lain waktu saja, ya?" lirihku.
"Makanya punya anak cukup dua saja, Raya. Iya, kan, ibu-ibu!?" Mbak Menik seolah mencari dukungan. "Sekarang tuh, enggak jamannya lagi, banyak anak banyak rezeki. Banyak anak, kalau enggak kaya, bikin anak-anak sengsara."
"Pasti dicukupkan rezekinya oleh Allah, Mbak," sahutku kalem, walaupun ingin kurobek bibirnya yang bergincu merah itu.
"Kayak aku, udah dapat anak cowok dan cewek. Cukup. Enggak bakalan nambah anak lagi," cerocos Mbak Menik.
Aku tidak memedulikan Mbak Menik. Kubujuk Raihan supaya mau pulang bersamaan dengan datangnya Bu Bidan Heni.
"Eh, Bu Bidan, mau borong minyak goreng atau telur?" tanya Mbak Menik ramah.
"Emang ada minyak goreng?" Bu Heni balik bertanya. "Nik, bukannya lima hari lalu, katanya mau datang ke klinik?"
"Duh, lupa. Emang aku mau apa, ya, Bu Bidan?" Mbak Menik mengerutkan keningnya.
"Lho, di wa kamu bilang mau suntik KB seperti biasanya. Kan, kamu suntik tiap satu bulan sekali," jawab Bu Heni.
"Gawat!" pekik Mbak Menik panik. "Padahal tadi malam Mas Andre minta jatah, kemarin juga, kemarinnya juga ...." Wajahnya berubah pucat.
"Wah, produktif sekali," celetuk Bu Heni tertawa lebar.
Aku pun ikut menahan tawa. Mbak Menik meraup wajahnya, lalu menepuk-nepuk dadanya sendiri.
"Bu Bidan, kira-kira kebobolan enggak, ya?" tanya Menik pelan seperti tidak ada daya.