Tepat pukul satu malam alarm yang kusetel di ponsel berbunyi. Memulai memasak nasi kuning yang kutitipkan pada lapak-lapak penjual makanan. Inilah kegiatan rutin diriku selain menulis di beberapa aplikasi untuk menambal sulam kehidupan. Tidak ada benang gratis untuk merajut pakaian anak-anakku. Semua harus diperoleh dengan memerah keringat.
Aku hendak keluar kamar, tapi perasaanku tidak enak. Kulihat anak-anak yang terlelap. Pandangan mata tertumbuk pada Raihan yang tampak gelisah. Bergegas aku mendekatinya. Tangan ini bagai terbakar saat menyentuh pipinya.
Raihan segera aku kompres dengan air hangat. Dia terbangun dan mengeluh pusing. Aku membuatkan teh, membantunya makan biskuit, lalu obat penurun panas.
Tidak berselang lama Raihan terlelap lagi. Aku duduk di sisi tempat tidur mengawasinya. Beberapa kali aku menghela napas, rasa khawatir telah menerjang. Mendadak Raihan mengalami kejang, aku yang panik hanya bisa memeluknya. Pikiranku seolah buntu.
Setelah kejangnya hilang, aku segera memesan taksi online. Raihan harus dibawa ke rumah sakit.
"Mama, ada apa?" tanya Yasmin yang terbangun.
"Kita akan ke rumah sakit, Yasmin."
Aku berlari keluar rumah, tapi taksi yang kupesan belum juga datang. Di luar sangat sepi dan gelap. Menunggu lebih dari lima menit, akhirnya si sopir taksi menelepon bahwa tidak bisa datang karena mobilnya mogok.
Di tengah kebingungan, aku terkaget dengan teguran seseorang, "Mbak Raya, kok di luar?"
Aku berpaling, rupanya Pak Hardin dan Pak Rejo. "Mau ke rumah sakit, Pak. Tapi, taksinya enggak bisa datang. Raihan tadi kejang," jelasku.
"Aku antar, Mbak." Pak Hardin langsung menuju rumahnya.
"Anak-anakmu yang lain biar bersama istriku, Raya," kata Pak Rejo suaminya Mbok Wanti. "Aku akan memanggil istriku."
Aku pun berlari masuk ke dalam rumah. Menjelaskan pada Yasmin bahwa aku akan ke rumah sakit.
"Aku ikut, Ma," rajuk Yasmin.
"Kamu dan Faiz sama Mbok Wanti, ya. Mama enggak akan lama." Aku mengenakan sweter dan mengambil tas.
Gadis kecilku itu memberengut. "Janji enggak lama?"
Aku hanya sempat mengelus rambut Yasmin. Buru-buru membopong tubuh Raihan dan keluar kamar bersamaan dengan Mbok Wanti masuk ke rumah. Perempuan yang tampak mengantuk itu berpesan supaya aku tidak khawatir dengan Yasmin dan Faiz.
"Sudah sana buruan keluar, itu Pak Hardin sudah menunggu. Kebetulan dia tadi ikut ronda karena tidak bisa tidur," kata Mbok Wanti.
"Aku nanti akan meneleponmu, Mbok," ujarku sembari berjalan keluar.
Tadi aku sempat berpikir Pak Hardin akan mengantarku dengan motor, ternyata menggunakan mobil. Aku duduk di kursi samping pengemudi.
Mobil meluncur dengan kecepatan sedang. Melintasi jalanan yang lengang. Kami berdua tidak bicara. Terdiam seperti gelapnya malam.
*
Raihan harus di rawat setelah diperiksa di UGD. Hatiku terasa terbelah, memikirkan Raihan juga Yasmin dan Faiz. Aku menyempatkan menelepon Mbok Wanti memberitahu Mbok Wanti.
"Raya, jangan bersedih. Aku tahu kamu kuat. Anak-anakmu masih tidur."
Aku mengusap air mata yang terjun bebas. "Iya, Mbok. Terima kasih banget."
Aku kemudian menutup panggilan telepon. Duduk di kursi, menatap Raihan. Tangan kecilnya terpasang infus. Di saat seperti ini, aku sangat merindukan kehadiran almarhum suamiku. Tangan kananku menepuk-nepuk dada, seolah bisa menepikan beban.
"Mbak Raya." Pak Hardin sudah berdiri di ujung ranjang. "Aku belikan makanan dan minuman" ucapnya, meletakkan kantong plastik di nakas.
"Te-terima kasih, Pak." Aku menyusut sisa air mata, mengembuskan napas perlahan. Hampir terbit matahari, Pak Hardin masih menemaniku di rumah sakit. "Sebaiknya Pak Hardin pulang, nanti dicari istrinya," saranku.
"Iya, aku memang akan pulang. Istriku tidak akan mencariku." Lelaki itu tersenyum lebar. "Tidak ada yang menungguku pulang. Aku pulang karena harus kerja."
Aku tidak bertanya lebih lanjut, mungkin istri dan anaknya Pak Hardin belum ikut pindah.
"Terima kasih sekali lagi atas bantuannya, Pak Hardin."
"Nanti sore aku akan datang kembali--"
"Enggak perlu, Pak," potongku cepat.
Pak Hardin tidak berkomentar. Dia berjalan ke luar rawat inap kelas dua. Aku tidak ingin memanfaatkan kebaikan lelaki dengan manik hitam itu.
"Itu suaminya, Mbak?" tanya seorang perempuan yang juga menjaga anaknya yang satu kamar rawat dengan Raihan.
"Oh, bukan," sahutku, "bukan suami saya."
***
"Mama, kapan pulang?" Suara Yasmin terdengar sedih di ujung sana
"Sebentar lagi, mama dan Raihan pulang. Mungkin agak sorean."
"Yasmin kangen sama Mama."
Mendengar ucapan Yasmin aku tersenyum. Baru satu hari dia sudah merindukan kehadiran diriku.
"Halo, Raya." Suara Mbok Wanti mengambil alih.
"Bagaimana dengan Faiz, Bu? Semoga dia tidak merepotkan." Aku sadar Faiz anaknya aktif sekali.
"Faiz anteng, kok. Sudah aku bilang, anak-anak tidak merepotkan. Raihan sudah boleh pulang?"
"Sudah, Bu."
"Aku ikut senang mendengarnya. Ya, udah aku tutup dulu teleponnya."
Kondisi Raihan sudah membaik setelah dua hari dirawat dan sudah diizinkan pulang. Karena ada Bu Mirah yang datang menjenguk, aku segera mengurus ke bagian kasir. Cukup lama karena harus antre.
Setelah selesai aku pun berjalan kembali ke kamar rawat. Tampak dari kejauhan sosok Pak Hardin. Kemarin dia memang tidak datang. Ternyata sore ini datang.
Makin lama, makin mendekat. Kami seperti bertemu di satu titik.
"Bagaimana kondisi Raihan?" tanya Pak Hardin. Sekarang langkah kami bersisian di sepanjang koridor.
"Sudah boleh pulang, Pak. Aku baru menyelesaikan urusan administrasi kepulangan."
"Aku antar pulang sekalian."
"Tidak perlu. Biar nanti kami pesan taksi saja." Buru-buru aku menolak.
Mungkin sudah kebiasaan, Pak Hardin tidak berkomentar. Namun, dia tetap berada di kamar rawat sampai aku selesai mengepak baju ke tas. Mau tidak mau, aku menurut saja saat dia menyuruh aku dan Bu Mirah menunggu di teras rumah sakit, sementara Pak Hardin ke tempat parkir.
"Sepertinya ada yang suka kamu, nih," celetuk Bu Mirah yang memegang kursi roda.
"Siapa, Bu?"
"Itu Pak Hardin."
Bu Mirah ngaco. "Dia, kan, ada istri, Bu."
"Aku dengar istri dan anaknya meninggal."
"Dengar dari mana?"
"Dari burung-burung, Raya," canda Bu Mirah. "Dari suamiku. Kan, kemarin malam Pak Hardin ikut ronda. Dia bercerita sedikit tentang istri dan anaknya."
Aku ingin bertanya, mengapa Pak Hardin menempati rumah lamanya, tetapi mobil berwarna putih sudah merapat di depan kami. Aku segera mengangkat tubuh Raihan dari kursi roda, lalu masuk ke kursi belakang mobil. Sementara Bu Mirah duduk di depan samping pengemudi.
*
Aku memperhatikan ketiga anakku yang tertidur pulas. Lantas, keluar kamar menonton televisi. Walaupun tubuh terasa lelah sekali aku tidak bisa tidur. Jarum jam menunjukkan pukul 22.35
Suara ketukan pada pintu mengalihkan pandanganku dari televisi. Aku beranjak dan mengintip dari balik tirai. Pak Hardin?
"Maaf, Mbak Raya. Ini tadi dompetnya tertinggal di mobil," ucap Pak Hardin ketika pintu terbuka.
"Terima kasih, Pak." Aku tidak sadar kalau dompetku lenyap.
"Ya, sudah. Kalau begi--"
"Ternyata kamu mengundang lelaki pada malam hari, ya?" Tanpa angin, tanpa petir Mbak Menik sudah berdiri di belakang Pak Hardin. "Aku jadi enggak respek sama Pak Hardin, ternyata laki-laki yang doyan gituan," tuduh Mbak Menik.
"Mbak Menik, Pak Hardin ke sini cuma mengembalikan dompet," terangku.
"Halah, kalau enggak ketahuan, pasti kalian sudah berselimut di dalam rumah. Ngaku aja!" Teriakan Mbak Menik membuat orang yang melintas di jalan berhenti memperhatikan kami. Lalu mendekat.
"Bu Menik, jangan salah paham dan asal tuduh," kata Pak Hardin.
"Terus ngapain Pak Hardin malam-malam ke rumah Raya kalau enggak ada maksud tertentu? Maling mana ngaku," sahut Mbak Menik.
"Mbak Menik! Cukup!" seruku.
"Sayang, ngapain kamu di sini?" tegur Andre yang baru saja datang. "Ada keributan apa ini?"
"Ada pasangan mesum," jawab Mbak Menik keterlaluan.
"Bu Menik, aku harus mengembalikan dompet Mbak Raya malam ini juga, karena sebelum subuh aku harus ke bandara." Pak Hardin masih tenang.
"Halah, alasan!" sungut Mbak Menik.
"Duh, Menik. Ayo, pulang." Andre meraih lengan istrinya. "Maafkan istri saya, Pak Hardin. Mohon dengan sangat dimaafkan sikap istri saya," ucap Andre dengan tubuh agak membungkuk ala orang Korea.
"Kamu ngapain minta maaf?" hardik Mbak Menik pada Andre. "Orang seperti mereka jangan diberi kesempatan. Kita laporkan ke Pak RT saja."
"Sepertinya istrimu harus ikut sekolah kepribadian," tukas Pak Hardin.
"Iya, Pak. Saya minta maaf." Kembali Andre membungkuk, lalu dia menarik lengan istrinya. "Pulang!"
"Kenapa kamu takut sama Pak Hardin?" protes Mbak Menik sambil mengibaskan lengannya dari cengkeraman. "Kamu itu manajer toko, Pak Hardin itu cuma pengangguran. Setiap hari cuma di rumah dan nongkrong di pos ronda pada malam hari."
"Menik!" Andre mendelik, tampaknya lelaki itu hilang kesabaran.