Keributan makin menjadi, Mbak Menik menolak pulang. Dia masih berkoar-koar tidak jelas. Makin banyak orang yang keluar rumah. Kami menjadi tontonan.
"Ada apa ini? Malam-malam kamu bikin keributan, Nik," tegur Pak RT.
"Pak Hardin diam-diam datang ke rumah Raya, Pak." Mbak Menik mengadu.
Kembali Pak Hardin menjelaskan tentang dompet yang tertinggal di mobil, tentang dia yang harus berangkat besok pagi ke bandara.
"Harusnya kamu enggak main tuduh, Nik. Enggak ada bukti apa-apa ...."
"Ya, belum ada bukti, Pak RT. Tapi, tujuan ke perbuatan******sudah terendus." Mbak Menik menyela ucapan Pak RT. "Untung aku memergoki duluan, coba kalau enggak."
"Cukup, Menik!" hardik Andre. "Kamu tahu siapa Pak Hardin sebenarnya ...?"
"Silakan kalian bertengkar. Oh, ya, Bu Menik, sepertinya kamu belum pernah mendekam di balik jeruji besi. Aku bisa menuntutmu," kata Pak Hardin. "Mbak Raya, aku permisi dulu."
Pak Hardin berjalan pulang ke rumahnya. Yang lain juga bubar.
"Kamu keterlaluan, Nik," keluh Andre. "Aku bisa kehilangan pekerjaan gara-gara kamu." Andre pun meninggalkan halaman rumah kontrakanku.
"Apa maksudmu, Mas?!" teriak Mbak Menik, dia lantas menatapku tajam. "Kamu lolos kali ini, Raya. Kamu bisa berkelit dengan dalih dompet," ucap Mbak Menik.
"Ya, mungkin lain waktu dengan alasan sandal jepit yang tertinggal, Mbak. Bagaimana menurutmu?" Aku tersenyum. "Aku tutup pintunya, Mbak. Selamat malam, selamat beristirahat. Tidur yang nyenyak."
Aku masuk ke rumah. Menutup pintu rapat-rapat. Lalu mematikan televisi, berjalan terhuyung ke kamar. Mendadak aku menggigil kedinginan dan pusing. Tubuh yang lelah langsung rebah di tempat tidur. Meringkuk di balik selimut.
***
Pukul 05.47 aku menutup pintu perlahan. Dengan kondisi tubuh yang lemah aku berjalan menuju warung makanan terdekat. Pagi ini aku memutuskan tidak memasak.
Rupanya di warung tengah membicarakan kasak-kusuk kejadian semalam. Aku membuang napas, lebih memilih diam karena sakit yang melanda tubuh ini.
"Eh, ada Mbak Raya," ujar Bu Romlah pemilik warung. "Bener gosip yang beredar, Mbak. Kalau Mbak Raya pacaran dengan tetangga baru itu?"
Aku menggeleng pelan. "Itu enggak benar, Bu. Aku beli ayam goreng tiga, sayur asem lima ribu, tahu bacem lima. Semua berapa?"
Sambil membungkus makanan yang kupesan, Bu Romlah menjawab, "Tiga puluh ribu, Mbak. Eh, tapi kalau bener pacaran enggak apa-apa, lho ...."
Tiga lembar uang sepuluhan ribu aku ulurkan pada Bu Romlah. "Kami enggak ada hubungan apa pun. Mbak Menik yang salah paham," sahutku.
"Lelaki bersikap baik, pasti ada perasaan, Mbak." Bu Romlah tersenyum jahil.
Lagi-lagi aku memilih mengabaikan dan keluar warung. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, padahal aku sudah mengenakan baju hangat.
Aku mendorong pintu pagar besi yang sudah karatan. Mendengar suara benturan keras, aku menoleh. Tampak Andre membuka masuk ke mobil, melajukan dengan cepat. Kemudian muncul Mbak Menik yang berteriak memanggil suaminya.
"Heh, ngapain kamu lihat-lihat?"
Lebih baik menghindari manusia setengah waras seperti Mbak Menik, aku pun melanjutkan langkah.
"Kamu senang ya, melihat aku dan Mas Andre bertengkar!? Ngaku saja, Raya!" teriak Mbak Menik.
Perempuan berdaster itu menarik bahuku dari belakang. "Aku sedang bicara dengan kamu, Raya."
"Tolong, Mbak. Jangan ganggu aku. Aku tidak peduli dengan urusan rumah tanggamu." Aku menepis tangan Mbak Menik dari bahuku.
"Aku akan membuktikan bahwa kamu perempuan murahan. Kerja cuma titip-titip makanan bisa menghidupi tiga anak. Rasanya enggak mungkin ...."
Kepalaku makin terasa pusing. Ocehan Mbak Menik tidak bisa aku imbangi. Tapi, kemudian Mbak Menik muntah.
"Pulang, Mbak. Jangan muntah-muntah di sini," tegurku.
Huwek. Huwek.
Mbak Menik tidak berhenti muntah. Aku tidak peduli dengan masuk ke rumah. Sepertinya aku tidak akan memperpanjang masa sewa rumah ini. Karena Mbak Menik, juga karena biaya.
***
Seminggu berlalu, kesehatan Raihan sudah pulih. Dia sudah masuk sekolah seperti biasanya. Sebelum menjemput Raihan pulang, aku dan Faiz menyempatkan datang ke rumah Bu Madre, pemilik rumah kontrakan.
"Ayo, sini duduk dulu." Seperti biasa Bu Madre selalu bersikap ramah.
Aku duduk di kursi teras dan mengutarakan niatku. "Bu Madre, dua minggu masa sewa sudah habis. Aku ingin menyewa hanya untuk satu bulan, Bu. Aku akan pindah ke kampung halaman. Apa bisa, Bu?" tanyaku.
"Tentu bisa, Raya. Sudah yakin mau pindah, sebelumnya kamu enggan pindah?"
"Iya, Bu." Memang sebelumnya aku tidak ingin pindah karena takut tidak bisa ziarah ke makam suami kapan pun. Tetapi, aku harus memikirkan kondisi diriku.
"Semoga kamu mendapatkan jodoh yang bertanggungjawab dan mencintai anak-anakmu," kata Bu Madre.
Sebenarnya aku sudah tidak memikirkan tentang jodoh. Bukan menjadi prioritas penting. Hidup berempat dengan anak-anak sudah bahagia.
"Aamiin, Bu." Aku menimpali doa Bu Madre.
"Semua mungkin, Raya. Tidak ada yang mustahil," lanjut Bu Madre seperti tahu pikiranku.
Memang tidak ada yang mustahil. Tetapi, lelaki yang mencintai anak-anak mungkin langka atau tidak ada sama sekali.
"Aku permisi dulu," pamitku.
"Tunggu. Tunggu, Raya," cegah Bu Madre, perempuan bertubuh subur itu masuk ke dalam rumah. Dia kembali dengan kantong plastik hitam. "Ada pepaya dan pisang, si bapak baru saja panen."
Si bapak yang dimaksud adalah suami Bu Madre yang mempunyai kebun pepaya dan pisang. Aku mengucapkan terima kasih, kemudian pergi dari rumah Bu Madre menuju sekolah Raihan.
Seperti biasa, ibu-ibu pada berkumpul di bawah pohon. Tentu saja ada manusia yang julidnya luar biasa.
"Mbak Menik, kok pucat, ya? Biasanya cetar," seloroh Bu Tia. "Sakit?"
"Enggak, Bu." Mbak Menik menepuk-nepuk pipinya. "Mungkin karena aku enggak pake bedak."
Memang Mbak Menik terlihat lesu, letih, dan lemah. Mungkin kurang bahan gosip.
Farel, anaknya Mbak Menik, keluar kelas. Berlari menghampiri ibunya. Saat berjalan tepat di depanku, mata Mbak Menik persis kayak ikan koki. Ternyata kebencian yang tidak beralasan masih bercokol.
***
Warna jingga kemerahan sudah berada di panggung barat saat aku selesai seterika. Untuk menghilangkan penat, aku duduk di kursi meja makan. Meneguk segelas air putih. Kemudian meraih ponsel, mengecek beberapa pesan yang masuk.
"Mbak Raya!" panggil Bu Madre dari luar.
Aku segera berjalan keluar rumah. Perempuan yang mengenakan tunik warna pink pucat itu tampak tidak ramah.
"Bu Madre, ada apa?" tanyaku.
"Maaf, aku enggak bisa ngasih kamu perpanjangan waktu. Besok tolong tinggalkan rumahku." Jawaban Bu Madre membuatku terkejut.
"Besok, Bu? Kemarin ibu bilang boleh--"
"Aku berubah pikiran," sela Bu Madre memotong perkataan yang belum sampai pada ujung titik.
"Sebenarnya ada apa, Bu?" Aku pikir, tidak mungkin Bu Madre berubah pikiran begitu saja. "Masa sewa masih dua minggu lagi," lanjutku.
Gumpalan uang dilempar Bu Madre. "Itu ongkos untuk pindahan. Aku enggak ingin rumahku jadi tempat maksiat," ujarnya.
Aku makin tidak mengerti dengan ucapan Bu Madre. "Maksiat apa?"
"Kamu open BO dan melayani lelaki di rumah ini setiap malam."
"Demi Tuhan, itu enggak benar, Bu Madre." Suaraku bernada tinggi, menyanggah tuduhan Bu Madre.
"Kamu selalu bilang punya penghasilan dari menulis, tapi itu hanya untuk menutupi kebobrokan ...."
Aku masuk ke rumah, mengambil si benda pipih yang tergeletak di meja. Lantas kembali menghampiri Bu Madre, memperlihatkan penghasilanku yang lumayan di aplikasi menulis.
"Aku enggak pernah berbohong, Bu Madre. Aku memang janda, tapi bukan perempuan ja lang. Siapa yang menyampaikan kebohongan itu? Siapa yang menyebarkan fitnah, Bu?" Aku mulai memuntahkan amarah.
"Seseorang."
"Seseorang itu punya nama," desakku, menatap nyalang wajah perempuan yang gelisah itu.
Bu Madre terdiam. Tapi, ujung matanya sempat melirik ke arah rumah Mbak Menik.
"Mbak Menik. Benar, kan?" tanyaku lagi.
"Sudahlah, Raya. Aku yang bersalah, seharusnya aku enggak percaya ...."
Aku menutup pintu rumah dan berpesan pada anak-anak tidak keluar rumah. Dengan rasa amarah yang bagai lahar gunung berapi, aku melangkah menuju rumah Mbak Menik.
"Raya, kau mau ke mana?" Bu Madre mengikutiku dari belakang.
"Tentu saja membuat perhitungan, Bu Madre."