"Aku tuh, enggak gatel," sanggah Mbak Menik. "Aku cuma mau ingin bersikap baik pada tetangga."
"Bersikap baik pada tetangga?" Kedua alisku terangkat tinggi. Selama ini Mbak Menik lebih sering nyinyir terhadap tetangga.
Mbak Menik meletakkan piring di atas meja. "Makan saja brownies-nya, terus nanti piringnya dikembalikan ke Pak Hardin, ya?" pintanya.
"Ya," sahutku pendek.
"Kalau enggak suka manis-manis, berarti suka yang asin-asin," gumam Mbak Menik berjalan menuju pintu keluar.
"Atau yang pahit-pahit, Mbak. Tanya aja sama Pak Hardin sukanya makanan apa. Biar pasti. Dari pada sia-sia. Iya, kan?"
Mbak Menik menoleh, matanya melotot, bibirnya monyong sedikit. Perempuan yang mengenakan kemeja hijau itu makin mengecil dan hilang di dalam toko sembakonya.
Aku pun cepat menutup pintu. Namun, baru beberapa langkah berjalan. Terdengar suara ketukan pada pintu kayu.
Bergegas aku membuka pintu. Bu Mirah datang dengan membawa rantang berwarna putih. Senyumnya lebar. Perempuan berusia enam puluh tahun itu adalah ibunya Mbak Menik.
"Silakan masuk, Bu."
Sambil duduk di kursi tamu yang sederhana, Bu Mirah berkata, "Ini ada makanan untuk anak-anak. Telur balado dan sop."
Ya, Bu Mirah sering sekali memberikan makanan. Kadang aku merasa sungkan dengan perhatiannya. Sikapnya juga berbeda jauh dengan Mbak Menik. Kadang aku berpikir, Mbak Menik bukan putri kandung Bu Mirah.
"Matur nuwun, Bu." Aku ikut duduk, disusul Faiz yang minta dipeluk dan dipangku.
"Yang menempati rumah sebelah, sebenarnya dulu sekali pernah tinggal di lingkungan sini ...."
"Pak Hardin tetangga baru?" Aku menyela ucapan Bu Mirah.
"Iya. Sepuluh tahun lalu atau lebih seingatku, dia dan istrinya pernah tinggal di rumah itu. Sebelum Menik membangun rumah dan toko, sebelum kamu ngontrak di sini," terang Bu Mirah. "Sepertinya setelah sukses, mereka pindah."
Aku mendengarkan cerita Bu Mirah sambil menepuk punggung Faiz, bocah kecil itu mengantuk.
"Tapi, aku belum melihat istrinya. Lalu, kenapa mereka pindah ke rumah itu lagi, ya?"
"Aku juga enggak tahu, Bu. Mungkin istrinya akan menyusul," sahutku.
"Kok, aku jadi ingin tahu urusan orang." Bu Mirah tertawa kecil.
"Kepo dikit enggak apa-apa, Bu," timpalku. Asal jangan over kayak Mbak Menik.
"Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk bilang, ya, Raya ... aku tahu, kamu sendirian di kota ini," ucap Bu Mirah. "Anggap saja aku saudaramu, ibumu, budemu, atau apalah."
Aku tersenyum menanggapi ucapan Bu Mirah. "Akan aku ingat itu, Bu," ujarku.
"Jangan hanya diingat," canda Bu Mirah.
***
Aku menyeruput es jeruk, rasa dahaga seolah lenyap dengan cepat. Lalu, beralih memperhatikan Yasmin dan Raihan yang sedang menikmati semangkuk bakso.
"Hei, Raya," sapa seorang perempuan berambut panjang.
Mataku memindai perempuan yang berdiri dihadapanku. Sepertinya tidak asing, kami pernah bertemu. Tapi, entah di mana.
"Apa kabarmu?" Perempuan itu duduk di samping Raihan.
Aku masih terdiam. Mencoba mengingat sesuatu.
"Aku mamanya Olan. Kamu enggak ingat aku?" Dia menatapku. "Fuji namaku."
"Oh, Mbak Fuji ...." Sekarang aku ingat, dulu kami pernah bertemu tempat terapi. Setelah itu kami tidak pernah bertemu, karena dia pulang kampung karena melahirkan anak kedua. "Maaf, ingatanku kayak sumbu pendek. Sendirian aja, nih?"
"Iya, cuma beli bakso dibungkus. Gimana kabar Faiz?"
"Baik, lumayan sudah ada kemajuan."
"Masih terapi?"
"Masih di RS pemerintah dengan menggunakan BPJS. Hanya seminggu sekali."
"Terapi di tempat lain?"
Aku tertawa getir, kemudian menjawab dengan pelan, "Sementara berhenti dulu. Biayanya belum ada."
"Kamu itu perempuan kuat, Raya. Belum tentu aku bisa setegar kamu seandainya aku berada di posisimu," kata Fuji. "Eh, aku duluan, ya ...."
"Iya. Senang bertemu denganmu."
Setelah membayar bakso pesanannya, Fuji meniggalkan warung bakso. Dia menggunakan mobil sedan.
"Sudah selesai makannya?" Aku beralih pada Raihan dan Yasmin.
"Sudah, Ma," jawab Yasmin dan Raihan secara bersamaan. Mereka menandaskan es teh manis.
Kami berempat kemudian berjalan menyusuri trotoar jalan. Minggu sore yang cerah dengan siluet jingga dibatas cakrawala. Yasmin dan Raihan bergandengan, sementara tangan Faiz berada dalam genggamanku. Aku mengajak anak-anak mampir ke toko bahan kue.
"Raihan dan Yasmin enggak boleh berisik," pesanku sebelum masuk ke toko bahan kue.
Aku membeli tepung, kismis, dan mentega. Setelah selesai membayar, kami keluar toko.
Saat berdiri menunggu taksi online. Aku melihat Andre, suaminya Mbak Menik, yang melangkah keluar restoran di seberang jalan. Tidak berselang lama, seorang perempuan menyusul di belakangnya. Mereka berdua berjalan beriringan. Yang membuat dahiku mengernyit adalah tangan Andre menggamit pinggang perempuan berbaju kuning itu.
Wajah perempuan yang bersama Andre, tidak asing. Dia Icha, pegawai paruh waktu di toko sembakonya Mbak Menik. Karena masih mahasiswi Icha hanya bekerja dari jam dua siang sampai jam tujuh malam.
"Ma. Mama." Yasmin menarik bajuku. "Itu taksinya, ya?"
Perhatianku berpindah pada Yasmin, lalu mobil taksi online. Lalu, pada pelataran parkir restoran. Andre dan Icha tidak terlihat lagi. Sial. Aku belum sempat mengabadikan dalam foto.
"Ayo, cepat masuk." Aku membuka pintu belakang mobil taksi untuk Yasmin dan Raihan.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku tertuju pada Andre dan Icha. Apa mereka punya hubungan spesial? Kemarin kalau tidak salah dengar, Andre kekuar kota karena pekerjaan. Ah, sudahlah bukan urusanku.
Taksi online yang kami tumpangi merapat di depan pagar rumah. Tampak ada ambulans melaju dan berhenti di rumah Mbak Livy. Oh, mungkin tetanggaku itu akan melahirkan karena sedang mengandung.
Anak-anakku sudah masuk ke rumah, taksi sudah berlalu, sementara aku masih berdiri di depan pagar karena ingin tahu apa yang terjadi.
"Wah, ternyata ada yang kepo." Mbak Menik berdiri di depan tokonya. "Itu si Livy ingin mengakhiri hidupnya karena suaminya ternyata selingkuh sudah lama dan baru ketahuan. Selingkuhannya juga hamil," terang Mbak Menik tanpa kuminta.
"Kasihan," gumamku lirih.
"Kalau suamiku dijamin setia seratus persen. Mas Andre sangat mencintaiku. Enggak mungkin selingker." Mbak Menik berkata sombong. "Udah ganteng, pekerjaan mapan, dan setia. Betapa beruntungnya aku."
"Yakin, Mbak?"
"Woiyajelas, yakin."
"Mas Andre sekarang di mana, Mbak?"
"Katanya sih udah otw pulang. Dia, kan, keluar kota dari kemarin."
"Tumben si Icha enggak kelihatan, Mbak?"
"Oh, Icha izin. Katanya sakit," jawab Mbak Menik.
"Beneran sakit? Tengok saja ke tempat kostnya. Ati-ati, lho, Mbak ... Icha itu masih muda, tubuhnya masih kencang, pabrikannya masih oke," ucapku mengingatkan plus rada nyinyir, lantas kedua kakiku berjalan melewati halaman rumah.
"Eh, Raya, apa maksudmu!?" teriak Mbak Menik. "Kalau punya mulut jangan asal mangap, dong! Woi!"