[Maaf, numpang melapak di grup. Saya mau jual satu tabung gas tiga kilogram. Harga 150 ribu.]
Sambil mengembuskan napas panjang, aku mengirim pesan ke grup WhatsApp arisan. Tidak ada pilihan lain, aku harus menjual tabung gas untuk kebutuhan hidup. Hari ini aku sama sekali tidak punya uang. Sedangkan ada tiga perut anakku yang harus kupikirkan. Anak-anakku jangan sampai kelaparan.
Setelah itu mengajak Faiz--putra bungsuku yang berusia tiga tahun--menjemput Raihan yang sekolah TK.
Aku masuk ke area sekolah lewat pintu pagar samping. Bisa kudengar ibu-ibu yang menunggu anak-anaknya sedang mengobrol diselingi tawa.
"Eh, nih, si Raya jual tabung gas tiga kilo. Ada yang minat enggak?" Itu suara Mbak Menik, tetanggaku.
Aku sengaja tidak segera menampakkan diri, dengan berdiri di balik dinding.
"Berapa?" tanya Bu Cintya.
"Seratus lima puluh ribu," jawab Mbak Menik. "Raya itu apa enggak niat cari kerja, sih. Dia itu sering banget ngutang di warung emakku."
"Si Faiz itu, kan, anak berkebutuhan khusus. Jadi, Raya enggak bisa kerja di luar. Raya juga bikin nasi kuning dan kue yang dititipkan. Apa kamu enggak tahu itu, Nik?" Suara Bu Tia.
"Aku tahu itu, Ibu-ibu. Atau kalau enggak, Raya nikah lagi. Jadi istri kedua, kan, nggak apa-apa. Yang penting enggak kekurangan," cerocos Mbak Menik. "Seharusnya jadi perempuan itu mandiri kayak aku, punya toko sembako. Mendadak suami meninggal, kan, ada pegangan. Enggak ngutang sana-sini. Ngemis sana sini."
"Jangan begitu, Nik," timpal Bu Tia. "Takdir tidak ada yang tahu."
"Hati-hati, lho. Raya itu, kan, janda. Jaga suami kita, siapa tahu Raya kegatelan dengan suami kita ...." ujar Mbak Menik dengan nada menghina.
Mendengar itu aku langsung menyahut, "Enggak semua janda itu perebut suami orang, Mbak Menik."
Mbak Menik terlihat tidak menyesali ucapannya. "Namanya manusia, sering khilaf."
"Tabung gasnya aku beli, Mbak Raya," kata Bu Tia. "Setelah mengantar anakku pulang, aku akan ke rumahmu."
"Terima kasih, Bu Tia," ucapku senang.
"Lama-lama habis harta bendamu, Raya," sungut Mbak Menik.
"Harta bisa dicari lagi, Mbak Menik." Aku mengulas senyum dipaksakan. Aku tidak tahu kenapa Mbak Menik membenciku.
Raihan keluar kelas, dia langsung berlari menghampiriku. Aku menggandeng kedua putraku. Berjalan pulang menyusuri jalan gang berpaving. Saat melintasi toko milik Pak Anton, Raihan menghentikan langkahnya.
"Ayo, Raihan."
"Mama, aku mau es krim." Jari telunjuk Raihan menunjuk kulkas es krim merek terkenal.
"Mama belum ada uang, Sayang. Mudah-mudahan kalau ada rezeki lebih, nanti Raihan beli es krim." Aku mengusap pipinya dengan lembut, hatiku serasa dicambuk cemeti ribuan kali.
"Janji, ya, Mama."
Aku mengangguk. "Iya, janji."
"Asyik."
Ujung jari manisku mengusap air mata yang hampir jatuh. Aku tidak boleh menangis. Kami bertiga meneruskan langkah menuju rumah kontrakan.
***
Bu Tia datang sesuai dengan perkataannya. Perempuan bertubuh subur itu datang ke rumah menggunakan motor matic.
"Kalau tabungnya dijual. Nanti kamu masak pakai apa?" tanya Bu Tia.
"Masih punya dua tabung, Bu," jelasku.
"Selain buat nasi kuning dan kue, kamu ada kerjaan lain enggak?"
Aku menggigit bibir bawah, selama ini tidak ada yang tahu kalau aku menulis, lalu menjawab, "Aku nulis, Ibu. Di aplikasi. Pendapatannya memang enggak menentu."
Tiga lembar uang lima puluhan ribu diangsurkan Bu Tia, bersamaan dengan Mbak Menik yang menyelonong masuk begitu saja.
"Ada apa, Mbak Menik?" tanyaku heran.
"Enggak ada apa-apa, cuma pingin tahu saja." Mbak Menik memindai ruang tamu yang kecil.
"Kamu itu jadi orang kepo banget, Nik," seloroh Bu Tia seraya mengangkat tabung gas. "Aku pulang dulu."
"Terima kasih sekali lagi, Bu Tia." Aku mengikuti langkah Bu Tia sampai ke teras rumah. Memandangi perempuan itu yang menghilang di tikungan jalan bersama motornya.
"Setelah jual tabung, jual apa lagi?" tanya Mbak Menik sinis.
"Mbak Menik, urusin saja toko sembako. Maaf, Mbak, aku banyak pekerjaan." Aku mengusir Mbak Menik secara halus.
"Jual diri saja, Raya. Uangnya banyak ...." cetus Mbak Menik seraya beranjak pergi dengan pongahnya.
Aku menarik napas dalam-dalam, ucapan Mbak Menik sungguh keterlaluan. Aku hendak memutar tubuh saat mendengar teriakan Mbak Menik. Ternyata dia terjatuh ke dalam selokan.
Aku berjalan mendekati Mbak Menik. "Sakit, Mbak?" tanyaku.
Wajah Mbak Menik berlumur air selokan yang hitam. Bajunya juga kotor.
"Huh, ini semua gara-gara kamu," tuduhnya. "Dasar janda!"