"Ya, aku enggak tahu, Mbak Menik," jawab Bu Heni. "Kira-kira dua minggu lagi coba periksa untuk mengecek hamil atau enggak. Untuk sementara kalau berhubungan pake pengaman saja."
"Pengaman apa, Bu?" Mbak Menik mungkin otaknya eror, jadi tidak tahu apa yang di maksud Bu Heni.
"Hadeh. K-o-n-d-o-m. Masak gitu aja enggak tahu," sahutku, lantas menarik tangan Raihan pulang ke rumah.
Saat menyeberangi jalan yang tidak ramai, truk yang menurunkan barang-barang sudah tidak ada. Hanya terlihat mobil jenis SUV warna putih yang terparkir. Seorang lelaki sedang mengeluarkan koper. Dia melihat sekilas ke arahku, mengangguk dan tersenyum. Aku sama sekali tidak merespons.
Bergegas memandikan Raihan dan Faiz bersamaan. Setelah selesai, aku mengajak Faiz mengantar bolu gulung ke rumah Mbak Ratih. Sementara Yasmin dan Raihan di rumah. Aku selalu berpesan pada Yasmin yang berusia sembilan tahun untuk tidak keluar rumah dan tidak membukakan pintu untuk orang asing.
Kebetulan rumah Mbak Ratih hanya berjarak lima belas dengan ditempuh berjalan kaki.
"Terima kasih, Raya," ucap Mbak Ratih setelah menerima satu kantong plastik berisi empat kotak bolu gulung.
"Aku permisi dulu, Mbak," pamitku yang harus segera pulang.
"Eh, tunggu sebentar, Raya," sergah Mbak Ratih. "Aku boleh share nomor wa-mu, ya? Siapa tahu ada yang ingin pesan bolu."
"Tentu saja boleh, Mbak. Aku malah senang karena secara tidak langsung dipromosikan," jawabku.
Dalam perjalanan pulang aku mampir ke mini market membeli tiga es krim dan satu biskuit.
Dari jarak yang masih agak jauh, aku melihat seorang lelaki berdiri di teras. Aku menarik lengan Faiz supaya mempercepat langkah kaki.
"Cari siapa, Pak?" tanyaku.
Lelaki itu berpaling, dia menatapku. "Saya mengetuk pintu tapi tidak ada yang merespons, padahal terdengar suara televisi," jawabnya kemudian.
"Yang di dalam anak-anak saya. Kebetulan saya sedang keluar. Kira-kira ada perlu apa, ya?" Aku memandang lelaki yang usianya mungkin sekitar 35 tahun.
"Saya mau pinjam palu. Saya baru saya pindah." Dia menunjuk rumah tepat di samping rumah kontrakanku. Rumah yang tergolong bagus.
"Oh, sebentar." Aku membuka pintu, langsung disambut kedua anakku yang lain.
"Mama, Yasmin enggak buka pintu. Ada om-om tinggi besar kayak genderuwo di luar," celetuk Yasmin.
"Ssst." Aku menutup bibir Yasmin sebentar, karena suaranya terdengar keras. Lelaki itu memang tinggi, tapi bukan genderuwo. "Ini mama belikan es krim dan biskuit," ujarku sambil meletakkan kantong plastik di tikar depan televisi.
Lalu, aku bergegas ke dapur mengambil palu yang tersimpan di laci meja. Kembali ke teras dengan cepat.
"Ini palunya, Pak." Aku menyodorkan palu berukuran sedang.
"Terima kasih, nanti saya kembalikan," ujarnya tersenyum ramah.
Aku mengembuskan napas kasar ketika melihat Mbak Menik menyeberangi jalan. Dia selalu kepo pada setiap orang yang datang ke rumah.
"Pak Hardin, kok ngobrol sama Raya?" Mbak Menik memandangi lelaki itu kemudian beralih padaku.
"Saya hanya pinjam palu, Bu Menik." Lelaki yang bernama Hardin itu menjawab.
"Haduh, Pak, pinjam ke rumah saya saja. Peralatan tukang lengkap. Mari ke rumah saya," ajak Mbak Menik.
"Enggak perlu, Bu Menik. Saya hanya butuh palu. Saya permisi dulu Bu-ibu," pamit Pak Hardin, lantas berjalan ke rumahnya
"Dasar kau, Raya, enggak menyia-nyiakan kesempatan," sungut Mbak Menik, dia juga balik ke kandangnya.
***
Aku mendengar suara tukang sayur keliling, lekas menyambar dompet dan keluar rumah. Gerobak sayur milik Pak Joko itu sudah dikerubuti ibu-ibu.
"Pak, ada bayam?" tanyaku melihat ke gerobak yang penuh dengan sayur mayur, lauk pauk, kerupuk, dan buah-buahan.
"Habis, Mbak Raya," jawab Pak Joko sembari melepas topi yang dia kenakan. Lelaki separuh baya itu mengusap peluh pada dahi dengan handuk yang tersampir di pundaknya.
Akhirnya aku mengambil satu ikat kangkung dan dua papan tempe.
"Eh, tahu enggak, tetangga baru kita ganteng, lho." Mulai Mbak Menik menggosip. "Aku dengar-dengar dia belum menikah atau duda gitu," lanjutnya.
"Ingat suami di rumah, Nik," sahut Bu Ana.
"Ingat Mas Andre, Mbak Menik," sahut yang lainnya. "Mentang-mentang suami baru berangkat dinas keluar kota terus dilupakan."
"Kan, cuma ngomongin doang, Bu. Aku enggak mungkin kegatelanlah. Noh, si Raya, pasti gatel lihat lelaki ganteng," cemooh Mbak Menik.
"Mbak Menik, sepertinya kamu deh, yang gatel. Ngomong-ngomong kamu pernah ditabok pake parutan enggak?" Aku menatap tajam Mbak Menik.
Mbak Menik mencebik. Dia segera membayar belanjaannya dan pergi.
Selesai memasak, aku kemudian menyapu halaman. Mumpung anak-anak tidak sekolah. Kulihat Mbak Menik keluar rumah dengan membawa piring ke rumah tetangga.
"Apa kamu lihat-lihat?" hardiknya sewot.
"Enggak sengaja lihat, Mbak. Wah, bawa apa itu?"
"Ini kebetulan tadi aku buat brownies cokelat, kebetulan buatnya banyak. Jadi, aku mau kasih ke tetangga. Maaf, ya, kamu enggak aku kasih."
"Enggak apa-apa, Mbak. Santuy aja." Aku melanjutkan menyapu halaman rumah. Kemudian berjongkok mencabuti rumput di dekat pagar.
Tidak berselang lama, tetangga sebelah datang ingin mengembalikan palu.
Aku berdiri, mengelap tangan yang kotor pada celanaku. Aku menerima palu, tapi tidak dengan piring yang tertutup serbet.
"Kue ini untuk anak-anak, Ibu. Kebetulan saya tidak suka makan yang manis-manis," kata Pak Hardin.
"Terima kasih, Pak." Dengan ragu aku meraih piring.
"Sama-sama, Bu Raya."
Aku mengamati Pak Hardin sampai menghilang. Mengintip makanan manis di balik serbet. Heh, brownies cokelat? Aku pun melangkah masuk ke rumah.
"Apa itu, Ma?" tanya Yasmin.
"Brownies cokelat," jawabku singkat.
"Asyik," seru Raihan.
Anak-anak menyerbu brownies yang aku taruh di meja. Sedangkan aku mencuci tangan.
"Raya!" teriak Mbak Menik.
Apa lagi maunya Mbak Menik? Aku langsung beranjak ke luar.
"Ada apa, Mbak?"
"Tadi Pak Hardin ngasih apa?"
"Brownies cokelat. Memang kenapa?"
"Mana sekarang brownies-nya?" Mbak Menik merangsek masuk ke dalam rumah begitu saja. Dia mengambil piring isi brownies. "Ini piringku, ini brownies buatanku ...." katanya sengit.
"Ya, aku enggak tahu, Mbak. Pak Hardin bilang, dia enggak suka makanan manis."
"Padahal aku buat khusus untuk Pak Hardin. Dengan bahan-bahan yang berkualitas. Malah anak-anakmu yang makan. Anak-anakku saja enggak makan brownies buatanku," ucap Mbak Menik panjang lebar. "Hih, menjengkelkan. Sia-sia, deh."
"Lho, katanya tadi buat banyak, Mbak?" tanyaku.
"Oh, itu ...." Mbak Menik kelabakan.
"Ternyata kamu yang gatel, Mbak. Bukan aku ...."