Penjara

Usai mandi, Ranti langsung salat Duha dan membaca beberapa lembar ayat suci Al-Quran. Setelah itu, ia ke dapur menemui Laras dan Silvi yang sudah sejak tadi di sana.


“Semua bahannya sudah ada di sini, Bu. Terserah, Ibu mau buat apa,” kata Laras sambil tersenyum. Ranti membalas senyum manis itu.


“Ibu kok baru salat Subuh tadi?” tanya Silvi. 


Kening Ranti berkerut mendengarnya. “Oh… itu. Bukan. Itu bukan salat Subuh. Itu salat Duha,” jawabnya, setelah sadar.


“Salat Duha? Salat apa itu?”


“Salat sunat. Tidak wajib. Dilakukan untuk menambah pahala kita.”


“Oh… Ibu rajin sekali ya.” Silvi manggut-manggut.


“Ah. Tidak terlalu berat. Para sahabat jauh lebih tekun dalam menunaikan salat.”


“Sahabat Ibu?” tanya Silvi, lugu.


“Bukan. Sahabat Rasul kita, Muhammad SAW.” Ranti mengelus kepala Silvi yang plontos. 


“Kalau ada waktu, ceritain Silvi tentang para sahabat itu, ya, Bu.”


“Sambil masak juga bisa. Oh ya, kita mau masak apa?”


“Masakan yang biasa Ibu masak,” jawab Laras. 


Ranti tersenyum. “Makanan yang Ibu makan tidak ada yang istimewa. Biasa saja.”


“Tapi kalau dimasak oleh Ibu pasti jadi istimewa, kan?” Laras memuji.


“Bisa saja kamu. Ayo kita mulai!”


“Ibu! Sambil masak, cerita dong!” pinta Silvi sambil bergelayut manja di bahu Ranti.


“Hei! Jangan gelayutin Ibu! Nanti tangan Ibu kepotong!” suruh Laras. Silvi cemberut.


“Sudah-sudah. Nggak pa-pa, kok. Em….” Ranti setengah berpikir. Ia bingung, sahabat Rasul yang mana dulu yang mau ia ceritakan.


 “Salah satu sahabat Rasulullah adalah Umar bin Khattab. Dulunya ia orang yang jahat. Kejahatannya tidak ada bandingannya. Bahkan saking jahatnya, ia tega mengubur hidup-hidup anaknya yang masih bayi hanya karena anaknya itu perempuan,” urainya sambil memotong-motong wortel di depannya. 


Sesaat kemudian ia sadar, Silvi dan Laras menatapnya tanpa ekspresi. 


“Jahat sekali dia. Bahkan Bapak saja tidak sejahat itu,” gumam Silvi. 


Ranti diam. Dihelanya napas. “Ya. Tapi setelah ia menjadi muslim dan menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh, ia menjadi pengawal Rasul yang paling utama. Ia korbankan harta dan seluruh jiwa raganya untuk Islam,” ucapnya sambil tersenyum. 


Laras dan Silvi bertatapan.


“Apakah Tuhan mengampuninya setelah itu?” tanya Laras.


“Itu janji Allah dan Allah tidak pernah lupa dan ingkar dengan janji-Nya. Ayo diteruskan masaknya! Nanti tidak selesai-selesai,” kata Ranti sambil tersenyum. 


Laras dan Silvi mengangguk.


***


“Em… masakan Ibu enak sekali…!” puji Silvi pada waktu sarapan. Baroto tidak bergabung karena masih tidur. 


“Alhamdulillah,” ucap Ranti.


“Kalau begitu, setiap hari Ibu saja yang masak,” Silvi mengusulkan.


“Ye! Kasihan Ibu dong. Kan capek,” cetus Laras.


“Ya… biar Mbok Yem istirahat.”


“Iya. Insya Allah Ibu akan bantuin Mbok Yem. Lagipula, Ibu nggak ada kerjaan.” Ranti menengahi.


“Bapak pasti lagi tidur, ya, Ibu?” tanya Silvi sambil menyendok makanannya. 


Ranti menggangguk. 


“Bapak kan selalu begitu setiap hari Minggu. Semalam pasti Bapak mabuk di diskotik lagi,” kata Laras. 


Ranti tersedak mendengarnya.


“Ibu ndak pa-pa?!” tanya Silvi dan Laras, berbarengan.


“Enggak… nggak pa-pa,” Ranti mengambil minumannya. “Bapak kalian… suka mabuk-mabukan juga?” tanyanya setelah meminum tiga teguk air. 


Silvi dan Laras bertatapan.


“Yah… begitulah,” jawab Silvi. 


Ranti menghela napas. Seharusnya ia tidak perlu heran. 


“Tapi tadi… Ibu tidak mencium bau alkohol.”


“Memangnya Ibu tahu, bau alkohol seperti apa?” tanya Laras. 


Ranti tertunduk. Ya, mana ia tahu? Seumur hidup ia belum pernah melihat minuman keras, apalagi mencium baunya.


“Sebelum Ibu meninggal, Bapak ndak begitu parah. Kalau malam Minggu ia tetap pergi untuk mabuk-mabukan di diskotik sambil melihat penari telanjang, pulang setelah larut malam. Tapi setelah Ibu meninggal, Bapak baru pulang pagi harinya,” jelas Laras. 


Ranti menutup mulutnya mendengar cerita Laras tadi. Tanpa sadar, air matanya keluar.


“Ibu? Ibu kenapa?!” tanya Silvi dan Laras, cemas. Mereka berhamburan memeluk Ranti. 


Ranti melepaskan diri dari pelukan itu dan berlari meninggalkan mereka. Di ruang salat, ia menangis sejadi-jadinya.


“Ya Allah...! Apa salah hamba…? Hingga Kau memberikan hamba ujian seberat ini…? Seperti itukah jodoh yang Kauberikan pada hamba…?” jeritnya, tak tertahan. 


Silvi dan Laras bertatapan melihat adegan itu.


“Mbak, sih…,” Silvi menyalahkan Laras.

 

“Sst!” bisik Laras. Keduanya menoleh ke belakang. 


Di sana… bapak mereka juga sedang melihat Ranti yang menangis sesegukan. Silvi dan Laras tertunduk.


“Kenapa kalian diam saja? Suruh Ibu kalian diam!” seru Baroto sambil meninggalkan kedua anak gadisnya itu. 


“Ya Allah… tutupilah semua keburukannya dariku. Aku tidak mau lagi menerima kenyataan bahwa jodohku seburuk itu. Ya Allah… buat aku pasrah menerima semua takdir ini. Tolong…,” pinta Ranti penuh harap.


“Ibu…,” bisik Laras, pelan. 


Ranti tak menoleh. Ia masih tertunduk dengan tangan mendekap di dada. Air matanya mengalir tanpa henti. 


“Maafkan Laras. Laras… lupa kalau Ibu bakal sesedih ini mengetahui semua keburukan Bapak,” Laras melanjutkan sambil memegang bahu Ranti. 


Ranti tetap bergeming.


“Ibu… seperti inilah keluarga kami, Ibu… Ibu… Ibu datang untuk menyelamatkan kami, kan? Ibu… Ibu akan menyelamatkan kami dari neraka, kan? Ibu akan menjadikan Bapak seperti Umar, kan?” tanya Laras, sesegukan. 

Kini ia juga menangis seperti Ranti. 


Dengan serta merta Ranti memeluk gadis itu, erat.


“Ibu!” teriak Silvi sambil berlari memeluk Ranti dan Laras. Ketiganya berpelukan sambil menangis. 


Di luar, Baroto menyaksikan semuanya sambil menghela napas panjang.


***


Sampai kapan aku bersembunyi dalam ketakutan? Sampai kapan aku harus berkejaran dengan bayang-bayangnya? Sampai kapan hatiku harus berdamai bila melihatnya? 


Benarkah memang sudah takdirku begini? Benarkah aku harus menjalani seumur hidupku dengannya? Dengan pria yang tak memiliki tempat di hatiku? Selain kekayaannya, apa yang bisa dibanggakan darinya? 


Bukan. Bukan kekayaan yang aku minta dari seorang pendamping, karena aku tak mempelajari hal itu dalam buku-buku agama yang kubaca. Yang aku pelajari adalah bahwa seorang pendamping hidup harus dilihat dari agamanya. Sedangkan dia? 


Aku tak mengerti. Hikmah apa di balik ujian ini? Mengapa Engkau membiarkanku begini, ya Allah. Salah apa yang telah kuperbuat kepada-Mu? Apa?


Ranti mendamaikan gejolak di hatinya yang mulai tak menentu saat sosok tinggi besar Baroto muncul dari balik kamar. Ia harus bicara saat ini juga. Ia harus berani membicarakan hal ini. 


Demi hidupnya. Hidup.

 

“Boleh aku bicara sebentar?” tanyanya dengan bibir bergetar. 


Kening Baroto berkerut. Sebuah kejutan untuknya. Gadis bernama Ranti yang sudah dua minggu lebih berada di rumahnya ini tiba-tiba saja mengeluarkan suara. 


Baroto berbalik. Ranti langsung menundukkan wajah. Jangan sampai ia tenggelam dalam tatapan tajam mata Baroto.


“Apa yang mau kaubicarakan?” tanya Baroto, datar, nyaris tanpa ekspresi. 


Ranti berusaha mendamaikan debar di jantungnya yang tak menentu. Bertalu-talu seakan hendak keluar dari penjaganya.


“Aku… aku mau tanya. Berapa lama aku akan berada di rumah ini?” tanyanya, memberanikan diri. 


Baroto terkejut. “APA?”


Nyali Ranti ciut sedikit. Tetapi tidak. Ia harus terus. Ia berhak menanyakan hal ini.


“Utang orang tuaku kan cuma seratus juta. Aku tidak sudi seumur hidupku hanya dihargai seratus juta,” katanya, tegas. 


Baroto mengerti. “Jadi begitu?”


“Iya. Jadi, seratus juta itu….”


“Sama dengan seumur hidupmu!” potong Baroto, mengejutkan. 


Ranti terperangah. 


A… pa? Se… umur… hidup?


“Tidak bisa! Tidak bisa begitu!” jeritnya, tertahan. Ia mundur beberapa langkah sampai hampir terjatuh. Ranti limbung. Air matanya luruh. “Tidak bisa! Tidak bisa!”


“Kau mau menuntutku? Silakan. Surat perjanjian itu berlaku seumur hidup,” kata Baroto sebelum meninggalkan Ranti yang terduduk lemas di lantai.


“Ya Allah…,” pelan Ranti berucap. Selanjutnya, hanya tangis yang menemaninya seharian ini.


***


Komentar

Login untuk melihat komentar!