Widia dibonceng naik motor pulang ke rumah dengan Bang Naufal. Udara malam sangat terasa dingin, hingga menusuk sum-sum. Gadis itu merapatkan jaketnya.
"Pegangan, Widia!" goda Lusi saat Widia naik ke boncengan motor Bang Naufal dengan kikuk.
"Ish...!" Widia melotot pada Lusi. Naufal hanya tersenyum. Dia tak mau membuat Widia merasa tak nyaman.
Mereka tak banyak bicara selama dalam perjalanan. Widia merasa kepalanya agak pusing karena tak bisa tidur.
"Widia...!" tiba-tiba Bang Naufal memecah kesunyian.
"Iya, Bang!" jawab Widia. Sambil tetap menjaga jarak agar tak berdempet dengan Naufal. Jika tubuhnya tergeser agak ke depan, dia menggeser kembali ke belakang. Tangannya sengaja di silangkan pada dadanya agar area terlarangnya tak menyentuh punggung Naufal, jika tiba-tiba lelaki itu mengerem motornya.
Naufal anak baik, Widia tau itu. Makanya dia tak ragu saat Lusi menawarkan untuk diantar Abangnya pulang. Walaupun hati kecilnya mengatakan ini salah dan berbahaya.
"Aku ingin mengajakmu makan malam sesekali, boleh?" tanya Naufal.
"Insya Allah, Bang. Nanti jika aku tak sibuk," jawab Widia.
Naufal memang tak berharap banyak pada Widia, namun tak bisa dipungkiri, perasaan suka itu telah lama berkecambah di hatinya.
Teman baik adiknya itu begitu manis dan lembut, juga sederhana. Lusi bahkan mendukung jika Naufal dan Widia jadian. Namun sepertinya jalan itu masih panjang. Widia masih belum memberi sinyal apapun.
"OK Widia.. !" Naufal dengan lapang dada menerima tolakan halus Widia.
Selama diperjalanan, mata Widia terkantuk-kantuk di boncengan, dia menahannya sekuat tenaga agar jangan sampai menyandar di punggung Naufal. Ihh malunya. Apalagi kalau sampai ilernya meleleh dan membasahi punggung Abangnya Lusi itu.
"Widia, kita sudah sampai," ucap Naufal.
"Oh iya, makasih ya Bang, aku ngantuk banget," Widia menutupi mulutnya yang menguap.
"Iya, cepatlah masuk, jangan lupa cuci kaki dan langsung tidur," celoteh Bang Naufal. Widia cengengesan. Matanya merem melek.
Dia mencari kunci yang biasa di taruh Mas Arif, di pot bunga. Ketemu. Dia tak perlu mengganggu Mas'nya yang sedang tidur nyenyak.
Naufal yang dari tadi menjauhkan motornya agar tak mengganggu orang yang sedang tidur, segera berlalu begitu dilihatnya Widia masuk ke rumah dengan aman.
Widia sudah tak sabar untuk merebahkan diri di atas empuknya tempat tidur.
"Huuuh kok AC nyala sih padahal tadi udah aku mati'in," sekilas dia heran, namun rasa kantuk sudah tak bisa di bendung.
Dia merenggut kerudung, melepas baju luar dan langsung masuk ke dalam selimut. Dia menarik guling yang tergolek di tengah pembaringan. Tapi kok berat ya, akhirnya dia menggeser tubuhnya ke tengah dan memeluk erat guling itu.
Mendadak dia merasa menyentuh sesuatu yang berambut. Kucing? Bukan. Matanya terpejam tapi tangannya bergerilya, hingga dia memencet hidung Zainal.
Zainal yang telah lebih dulu nyungsep di bawah selimut karena kedinginan kaget begitu ada yang menarik hidungnya.
Dia membuka mata, Widia juga membuka mata. Mereka berdua berteriak histeris.
Widia segera melompat dari tempat tidur seraya menarik selimut, untuk menutupi dirinya yang hanya memakai pakaian tipis.
Kini Zainal yang kelabakan, lelaki itu tidur hanya memakai celana dalam. Dia segera menyambar handuk mengikatnya di pinggang.
Sementara Widia tetap menjerit tak karuan. Bersembunyi dalam selimut.
Mas Arif dan Nuri bergegas masuk ke kamar itu, melihat Zainal yang bersarung handuk dan Widia yang bersembunyi dalam selimut, Arif sadar apa yang telah terjadi. Kedua orang itu sama-sama kaget.
Zainal segera keluar dengan muka merah padam karena malu, segera dia memakai kaos oblongnya dan menyandar di sofa, dia menunggu Arif yang masih bersama Widia dan Nuri.
Arif mendekati Widia, kemudian berbisik.
"Widia, dia tak melakukan sesuatu'kan?"
Widia menggeleng. Dia menatap marah pada Arif.
"Lagian kenapa pula dia dibiarin masuk kamar aku, Mas?" bentak Widia.
"Ini bukan salahku Widia, kau sendiri yang bilang mau tidur di tempat Lusi, daripada dia tidur di sofa, mending tidur di kamarmu," Arif membela diri.
"Tetap saja salah, kamar itu privacy Mas, gak boleh sembarang orang masuk," Widia masih marah.
"Iya, iya... Mas minta maaf," ucap Arif akhirnya.
Kemudian dia keluar menemui Zainal.
"Zainal, maaf... Aku...tak mengira Widia pulang malam ini, sumpah dia tadi minta izin untuk menginap," Arif merasa tak enak hati.
"Aku juga salah, harusnya aku tidur di sofa," sesal Zainal.
"Tapi Rif, sumpah aku gak ngelakuin apa-apa pada Widia, dia berteriak karena kaget saja," tutur Zainal.
Dia tak ingin dituduh melakukan hal yang tercela. Malah dalam hal ini dia yang jadi korban. Dia hampir setengah telanjang di depan Widia. Duh malunya.
Widia tak berani keluar kamar, dia sangat malu. Rasa kantuknya mendadak hilang. Rasanya tak ingin lagi bertemu lelaki itu.
"Kak Nuri, temani aku tidur ya," pintanya pada saudara iparnya.
"OK aku tidur di sini," Nuri berbaring di samping Widia.
Akhirnya Zainal betul-betul tidur di sofa, sedang Arif termangu sendirian di tinggal istrinya tidur bersama Widia, padahal mereka belum menyelesaikan acara ritual malam mereka. Arif gigit jari.