Bab 2. Telpon dari Indri
Indri mencoba memejamkan mata. Namun bayangan Zainal saat mengucap talak, selalu terbayang di benaknya. Dia merasa ada yang hilang di dirinya. Ada luka yang menyisakan perih. 

    "Beginikah rasanya menjanda?" lirih Indri. 

     Zainal lelaki yang baik, jujur, pekerja keras, juga tampan. Pak Dirga tak salah memilihnya untuk Indri. Putrinya itu hanya tak sabar dan gegabah. 

    Andai sehari lagi saja dia mampu menahan diri, tentu takdir yang akan dilalui dalam hidup akan berbeda. 

    Bolak-balik Indri di tempat tidur, kadang menghadap ke kiri, sebentar berbalik lagi ke kanan. Hingga rasa kantuk menyerangnya. 

***

    Pagi hari Indri duduk dengan murung di hadapan meja makan, roti selai dan susu hangat yang dihidangkan ibunya dengan malas dia telan. 

   Wajah ayahnya masih memerah karena marah. 

   Indri dan ibunya terdiam. Mereka hanya bisa menggerutu dalam hati. 

    "Belum pernah aku melihat hal yang lebih bodoh dari ini," bentak Pak Dirga. 

   "Kau Bu! Seharusnya mendidik putrimu untuk bersyukur, bukan memintanya untuk bercerai."

    "Kau ingat Bu, berapa lama kita berjuang hingga hidup kita nyaman? Sukses itu bukan semudah membalik telapak tangan. Sukses itu butuh perjuangan, sukses itu butuh waktu dan kesabaran."

    "Ini...?  Baru enam bulan menikah sudah menyerah dan berkesimpulan suami gagal. Mana akalmu? Punya otak tapi gak dipakai," Pak Dirga benar-benar marah. 

    Indri mulai terisak. Ibunya tak mampu membela, dia juga disalahkan suaminya. 

     "Cepat telpon dia dan minta maaf," gertak Pak Dirga lagi. Dia meninggalkan meja makan, membawa kekesalan hatinya. 

    Indri menatap ibunya. Seolah bertanya tentang apa yang harus di lakukan. Ibunya mengangguk. 

   Indri meraih ponselnya dan memencet kontak Zainal. 

    ***

    Zainal subuh hari sudah bangun. Dia shalat dan sedikit tadarrus AL Qur'an, itu adalah amalan yang tak pernah dia tinggalkan. 

   "Nak, saat sendirian di dalam kubur yang gelap, bacaan Al qur'an itu akan jadi cahaya penerang," pesan ibunya saat wanita itu mengajarinya mengaji. 

   Setelah Zainal dewasa dia mengerti bahwa Al qur'an adalah petunjuk dalam hidup manusia dan menjadi pembeda antara yang benar dan salah. 
Dia menuntun manusia dari kegelapan menuju terang benderang. 

    Arif sudah menyiapkan tiket untuk Zainal, hampir saja sahabatnya itu memboking dua tiket pesawat, karena dia pikir Zainal akan berangkat dengan Indri. Setelah mendengar cerita Zainal, Arif pun memberinya nasehat untuk membesarkan hati teman baiknya itu. 

    Kini Zainal sudah berada di bandara, dia tinggal menunggu pesawatnya tiba, saat telponnya berdering. Dia menatap nama Indri di layar ponselnya. 

   "Apa aku perlu bicara dengannya lagi?" Zainal mengernyitkan dahinya. Dia menarik nafas dalam. Berpikir. 

    

Komentar

Login untuk melihat komentar!