Indri pulang dengan muka sembab, sepanjang jalan dia melamun. Kenapa setelah dia jauh baru terasa kehilangan itu?
Kemana Zainal pergi? Orang tuanya sudah meninggal. Dia dulu tinggal bersama bibinya, kemudian kuliah di perantauan. Berbekal bakat dan keahliannya dalam reparasi peralatan rumah tangga, Zainal bisa mengongkosi hidup dan menutupi semua biaya kuliahnya. Sesekali dia juga mengirim uang untuk Bibinya.
Karena itulah Pak Dirga mengagumi Zainal. Pemuda itu terbiasa hidup mandiri dan suka bekerja keras, tak mau meminta dan menadahkan tangan pada orang lain.
Bu Dirga membuka pintu, dan mendapati wajah kusut Indri. Dia menerka apa yang terjadi. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.
"Indri, kenapa pulang lagi? Apa Zainal menolakmu? Keterlaluan,... sombong sekali dia," rutuk ibunya.
Indri bergegas masuk ke kamar dan berbaring. Ibunya masuk kemudian duduk di tepi ranjang.
"Sudahlah Indri, jangan sedih hanya karena dia menolakmu, lupakan saja Zainal, di luar sana begitu banyak lelaki kaya yang antri untuk menunggu jandamu," bujuk Ibunya.
"Kau ingat Arjuna? Ibu ketemu dengannya seminggu yang lalu. Dia ganteng dan pintar, orang tuanya juga kaya." Bu Dirga berhenti sebentar.
Dia menunggu reaksi Indri, putrinya itu diam saja.
"Ibunya bercerita bahwa Arjuna, baru pulang dari menyelesaikan pendidikan, dia kuliah di luar negri, hebatkan...?" Bu Dirga bersemangat sekali.
"Satu hal yang ibu garis bawahi dari perbincangan dengan Ibu Arjuna, bahwa dia kecewa ketika kau menikah dengan Zainal. Karena putranya mencintaimu," Bu Dirga membelai bahu Indri.
"Arjuna mencintaiku?" tanya Indri sedikit kaget.
"Ya, itu yang ibunya katakan," Bu Dirga gembira ketika menatap wajah Indri yang berubah cerah.
Ibu Indri, sejak kecil hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Dia sering merasakan perut yang menggigit karena lapar. Karena itu dia mendorong suaminya agar berjuang keras untuk bisa hidup mapan.
Setelah dia hidup lapang, diapun memanjakan Indri kecil dengan segala hal yang bersifat materi. Saat anaknya ngambek si Ibu akan mengiminginya dengan aneka mainan, agar dia tak marah.
Saat Indri remaja dia dimanjakan dengan koleksi aneka barang bermerk.
Lusinan sandal dan sepatu, tas jaket, topi dan sebgainya.
Setelah kuliah gadis itu punya pergaulan yang bebas dan hampir tak terkendali. Uang membuatnya bebas untuk melakukan apa saja.
Pak Dirga yang jarang di rumah karena harus sering ke perkebunan, mempercayakan Indri pada istrinya.
Hingga suatu ketika gadis itu pulang dalam keadaan mabuk saat Pak Dirga berada di rumah. Kontan lelaki marah, dia mulai membatasi pergaulan Indri.
Pak Dirga berpikir mungkin menikah adalah jalan terbaik buat Indri, menikah dengan seorang lelaki yang bisa mendidik dan mengarahkannya pada kebaikan.
Namun sayang, Zainal gagal mengemban tugas itu, karena campur tangan Bu Dirga yang selalu membenarkan sikap arogan anaknya.
***
Zainal asik dengan tilawahnya ketika seseorang menepuk pundaknya.
"Arif...!" seru Zainal, saat matanya bersitatap dengan sahabat baiknya itu.
Mereka berpelukan. "Maaf aku terlambat, karena harus mengantar Widia ke rumah temannya," ucap Arif sambil mengambil koper Zainal dan mendorongnya menuju parkir mobil.
"Widia?" Zainal mengernyitkan dahi.
"Si bungsu yang cengeng itu, dia sudah besar sekarang, kau akan pangling," seloroh Arif.
Zainal hanya tertawa. Dia sudah lama sekali tak melihat Widia. Sejak Zainal merantau setamat SMA.
***
Nuri istri Arif menyambut tamunya dengan ramah. Rupanya makan malam sudah terhidang di meja makan.
"Beginilah keadaan kami Zainal, bagi orang lain mungkin ini tak ada apa-apanya, tapi kami sangat mensyukurinya.
"Alhamdulillah, kau sangat beruntung Rif," ucap Zainal.
"Ya sangat beruntung, aku punya istri secantik dan sebaik Nuri, punya adik seperti Widia dan sebentar lagi keluargaku bertambah dengan kehadiran bayi mungil, Zainal," Arif sangat gembira.
"Wah, Alhamdulillah!" seru Zainal lagi.
"Dan satu hal yang membuatku lebih berbahagia, aku dekat lagi dengan sahabat yang sudah kuanggap saudara sendiri," Arif menatap Zainal.
Nuri hanya tersenyum, wanita yang sedang hamil empat bulan itu merasa tak perlu ikut larut dalam pembicaraan dua lelaki itu. Karenanya dia hanya ikut senyum dan sesekali menjawab jika ditanya.
"Oh ya, malam ini kau tidur di rumahku saja. Besok baru kita melihat mess yang di sediakan perusahaan," kata Arif.
"Ah aku jadi gak enak nih, merepotkanmu saja, Rif," gumam Zainal.
"Sama sekali gak repot, hanya saja rumah ini hanya punya dua kamar. Kamar kami dan kamar Widia. Kau bisa tidur di kamar Widia malam ini, karena dia menginap di rumah temannya yang mau nikahan besok," terang Arif.
Zainal terbelalak," Aneh kau Rif, mending aku tidur di sofa aja daripada tidur di kamar Widia."
"Terserah kau saja, yang pasti lebih enak di kamar Widia, ada kamar mandi, AC, mau ganti baju juga enak," Arif mengemukakan alasannya.
"Huh, ada-ada aja kau Rif, tapi yakin Widia gak pulang malam ini?" tanya Zainal.
"Iya... yakin. Dia tadi lama ditungguin, nyiapan baju dan segala macam buat acara besok," Arif meyakinkan Zainal.
Akhirnya Zainal setuju. Tidur di kamar Widia.
***
Jam sebelas malam Widia tak bisa tidur. Keluarga Lusi berkumpul semua di ruang tengah. Bersusun seperti ikan sarden. Riuh rendah suara mereka, disertai tawa dan gurauan sepanjang waktu.
"Lusi, aku gak bisa tidur. Mending aku pulang aja deh," bisik Widia.
"Lho kok gitu?" Lusi menatap Widia.
"Aku gak tahan suara berisik, Lusi. Gak bisa tidur. Ntar aku pingsan besok gimana?" tanya Widia.
"Ya udah, aku minta Abangku. Mengantarmu pulang, OK?"
"Ok...," Widia segera berkemas.
***
Login untuk melihat komentar!