Indri berdebar menatap layar ponsel. Dia berharap Zainal mau berbicara dengannya. Dia benci dan muak mendengar omelan sang Ayah.
"Gimana, In?" bisik ibunya risau, menatap wajah murung Indri.
"Gak diangkat, Bu!" jawabnya sembari mengoles sepotong roti lagi.
"Yah Indri! Ayahmu akan ceramah panjang lebar kalau urusan ini gak selesai," Ibu risau.
Indri menatap ibunya dengan pandangan menyalahkan.
"Lagian, ibu juga, pake acara minta cerai segala, kan jadinya begini," sungut Indri.
"Halah, ikut nyalahin ibu juga, ni bocah. Kau sendiri yang selalu mengeluh gak tahan hidup miskin, cerailah solusinya," ibunya tak sudi di salahkan.
Tiba-tiba Ayahnya sudah kembali ke ruangan itu. Wajahnya makin terlihat marah.
"Dia sudah tak mengaktifkan nomor HPnya, itu artinya kau sudah hampir kehilangan kesempatan," papar Pak Dirga. Dia baru saja mencoba menghubungi Zainal, untuk minta maaf atas nama putrinya.
"Ayo cepat pulang sana, berdoalah agar dia mau menerimamu lagi, jangan sampai kau tak mencium bau sorga karena tak mensyukuri kebaikan suami," sambung Ayahnya lagi.
Indri berdiri dengan malas, malu rasanya kalau harus memohon pada Zainal, tapi yang dikatakan Ayahnya ada benarnya juga. Zainal itu lelaki yang baik dan bertanggung-jawab, dia sudah bekerja keras, hanya saja rezekinya saat ini lagi seret. Harusnya dia lebih sabar.
Indri menyambar tas tangan dan pamit untuk pulang. Ibunya berdiri seraya mengambil kunci mobil.
"Ayo Ibu antar!" ucapnya menawarkan diri.
"Tak perlu, Bu! Biarkan Indri menyelesaikan masalahnya sendiri," gertak suaminya.
Indri bertatapan dengan Ibunya kemudian melangkah ke tepi jalan di depan rumah untuk mencegat angkutan umum, menuju rumah kontrakan yang hampir enam bulan ini dia tempati bersama Zainal.
***
Indri mengetuk pintu rumah, lama tak terdengar ada sahutan. Dia duduk di kursi teras, merogoh ponsel dalam tasnya, kemudian kembali mencoba menghubungi Zainal.
Indri kesal, nomor itu malah gak aktif.
"Awas nanti kau Mas, aku akan mogok segalanya, gak mau nyiapin makan, gak mau beres-beres dan gak mau tidur denganmu," rutuknya dalam hati.
Indri yakin Zainal hanya ingin membuatnya kalang-kabut, sebab lelaki itu tau bahwa Indri pasti di suruh pulang oleh Pak Dirga, seperti kejadian bulan lalu.
Indri ngambek, marah, lantas pulang ke rumah orang tuanya, besoknya balik lagi karena diusir oleh Ayahnya.
Waktu itu Zainal menyambutnya dengan senyum di depan pintu. Senyum yang membuat Indri merasa di tertawai. Senyum itu seperti sebuah ejekan bagi Indri.
Dua hari Indri mendiamkan suaminya, hingga Zainal membawakan sebuah tas cantik yang sudah beberapa waktu ini dibicarakan Indri saat berduaan dengan Zainal.
Indri tak tahu, bahwa Zainal rela menjual beberapa kemejanya demi membelikan tas yang dimintanya.
Indri makin gelisah, dia capek terus menunggu. Kini dia berjalan ke samping rumah. Mencari kunci yang biasa di sembunyikan Zainal saat pergi keluar.
Indri lega, kunci itu terselip pada fentilasi udara di atas jendela.
"Kenapa gak terpikir dari tadi," Indri senyum sendiri.
Dia membuka pintu dan melangkah masuk, menyalakan lampu, kemudian menuju kamar. Matanya memutari ruangan itu. Seperti ada yang berubah.
Indri membuka lemari, dadanya berdegup kencang. Semua baju Zainal tak ada yang tersisa. Hanya ada gantungan baju yang terlihat berjejer.
Di atas ranjang dia menemukan sebuah cacatan dari Zainal. Tangannya gemetar, matanya mengaca. Rupanya Zainal sangat serius dengan ucapan talaknya.
***