Bab 7. Ada apa dengan Arif?


    Widia tak bisa tidur, dia bergelung dalam selimut di sisi Nuri, yang sudah terbang ke alam mimpi. 

    Bagaimana dia bisa tidur, coba? Dia sangat malu karena baru saja berada dalam satu kamar, dengan seorang lelaki bukan mahram.  Berpakaian mini dan tipis, kepala terbuka, bahu dan lehernya juga terlihat oleh Zainal. 

    Widia sangat resah, bayangan Zainal yang bertelanjang dada, berdiri dengan gugup sambil menyambar sebuah handuk, membuatnya merasa aneh sekaligus lucu. 

    Alangkah lucunya membayangkan tangannya berada di kepala Zainal, mengacak rambut dan menarik ujung hidungnya. Itu memalukan tapi juga lucu, bibir Widia menyungging sebuah senyum. 

    Hampir jam dua pagi baru dia bisa tertidur pulas. 

    Sementara itu Zainal gelisah di bawah selimut, dia berbaring miring di sofa, mencari posisi tidur yang nyaman. Kalau berselonjor, kakinya yang panjang terantuk lengan sofa,  menaikkan ke atas rasanya tak etis sama sekali. Dia pun bergelung dengan menarik lulutnya hingga ke perut. 

    Pikirannya masih tentang kejadian barusan. Semua ini gara-gara Arif. Duh malunya. Apakah perkakasnya terlihat oleh Widia? Memalukan!!! Rutuknya dalam hati. 

    Tapi betul kata Arif, gadis itu telah jadi seorang wanita sekarang, beda sekali dengan Widia yang terakhir kali dia lihat. Dulu anak itu baru tamat SD. Dia buluk dan bau matahari. Itu enam tahun yang lalu. Sekarang dia sudah tamat SMTA. 

    Wajahnya cantik, lembut dan bening.
Pundak terbuka dan rambut tergerai yang tak sengaja dia lihat, kini bermain dalam angan. Sangat mengganggu ketenangannya. 

   "Ah, ngapain aku mikirin Widia, lupakan yang barusan terjadi, anggap saja mimpi buruk," rutuk Zainal mencoba memejamkan mata. 

    Akhirnya semua penghuni rumah itu terlelap dalam buaian mimpi. Hingga suara adzan subuh berkumandang dari Mesjid yang tak jauh dari rumah Arif. 

   ***

    Nuri sibuk menyiapkan sarapan, wanita itu terbiasa bekerja dengan cekatan, meskipun dia masih muda. Hanya beda tiga tahun dari Widia. 

    Lahir dari keluarga yang mapan tak membuatnya lantas bersikap manja. Ayahnya memiliki hampir 50% saham di perusahaan tempat Arif bekerja. Belum lagi di perusahaan yang lain. 

   Pernikahannya dengan Arif ditentang oleh semua saudaranya, namun Nuri yakin dengan apa yang sudah dia pilih. Baginya yang penting restu Ayah dan Ibunya, saudaranya memojokkan bahkan menghina dan membully tak perlu dirisaukan. 

    Ketiga saudaranya hidup mapan dan nyaman. Tak seorangpun yang berkekurangan. Hanya Nuri dan Arif yang hidupnya sederhana. 

    Sederhana menurut pandangan ketiga saudaranya yang terbiasa dengan kehidupan mewah. Terbiasa dengan mobil keluaran terbaru, terbiasa tidur di hotel berbintang saat traveling. Terbiasa dengan baju mahal, perawatan wajah yang juga wah.

   Dalam pandangan mata orang lain, Nuri dan Arif cukup berada. Punya mobil, punya motor juga punya rumah, dan tak pernah kekurangan. 

    Zainal baru pulang dari Mesjid, ketika Arif mengajaknya ke ruang dapur untuk sarapan. 

   "Jam tujuh kita keluar, aku akan membawamu menghadap HRD, mungkin ada sedikit wawancara, tapi jangan khawatir itu semua sekedar formalitas, namamu surah fix sebagai karyawan PT Indah Buana," ucap Arif panjang lebar sambil menikmati suguhan istrinya.

   "OK...!" ucap Zainal pendek. 

   "Sayang, kok Widia gak sarapan bareng?" tanya Arif pada Nuri. 

   "Dia malu Mas," jawab Nuri. 

   "Malu sama Zainal?" Arif tergelak. Hampir dia tersedak. 

   "Suruh dia sarapan bareng kita Nuri, aku mau ajak dia ikut ke mess," pinta Arif. 

   "Apa...?" Zainal kaget. Dia mendelik sama Arif. 

   "Ngapain pake ajak Widia segala," rutuknya dalam hati. 

   "Semoga Widia gak mau," batin Zainal. Dia membayangkan betapa malunya bertatapan muka dengan gadis itu. 

   Nuri kembali ke meja makan, sendirian. 

    "Dia gak mau keluar, Mas!" lapor Nuri. Zainal bersyukur. Dia lega. 

Tapi kemudian Arif berdiri dan berjalan menuju kamar Widia. Kembali Zainal risau. 

   ***

    Widia sejak pagi sekali sudah rapi. Dia bahkan sudah pakai kerudung dan baju kurung panjang. Bedak tipis dan lipstick yang warnanya senada dengan bibir juga dia poles tipis. 

   Ingin dia ikut sarapan bersama mereka di ruang dapur tapi rasanya tak bisa menahan malu.

   Akhirnya setelah bolak-balik di dalam kamar, ragu untuk membuka pintu atau tidak, dia memutuskan untuk kembali berbaring. 

    Saat Nuri mengajaknya sarapan bersama, diapun menolak. 

   "Widia nanti aja, Kak!" ucapnya pada Nuri. 

   "Kenapa? Dipanggil tuh sama Mas Arif," Nuri masih berusaha membujuk. 

   "Kak... Aku malu sama Bang Zai...!" terang Widia. 

   "Hmmm, aku tau, malu itu sebagian dari cinta...!" seloroh Kak Nuri. 

   "Apa'an sih, orang dia sudah punya istri juga," kilah Widia. 

   "Artinya kalo dia jomblo, kamu mau sama dia?" kelakar Nuri, yang dibalas cubitan oleh Widia. 

   "Gak ah, duda gak keren!!" ucap Widia.

    Dalam hati dia bertanya kenapa Zainal tak bersama istri, Widia belum tau bahwa Zainal dan Indri sudah pisah. Pertanyaan hatinya terjawab saat Nuri kemudian membocorkan perihal Zainal. 

    "Siapa bilang gak keren, Zainal itu sahabat Mas Arif yang terbaik, ehh kabarnya dia cerai sama istrinya," bisik Nuri. 

   "Ihs gak penting ahh," Widia menutup wajahnya dengan kerudung. 

    "Ayo cepet sarapan," desak Nuri lagi. Widia cengengesan dan menggeleng. 

   Kini baru saja Nuri keluar. Arif yang mengetuk pintu kamarnya dan langsung nyelonong masuk. 

   "Widia ayo sarapan, habis itu ikut Mas sama Zainal keluar, kita sekalian bersih-bersih ruangan mess untuk tinggal Zainal. Jangan lupa bawa sapu, pel dan peralatan lainnya," papar Arif tanpa jeda, hingga membuat Widia melotot dan ternganga. 

   "Mas...!" ucapnya ingin membantah. Tapi Arif sudah keluar dan berjalan ke meja makan. 


***



   

    

    


    

    
  


Komentar

Login untuk melihat komentar!