AKU DESIGNER GAUN PENGANTIN GUNDIK SUAMIKU
Part : 6
Hai, Dears.
Jangan lupa tekan tombol BERLANGGANAN dan FOLLOW AKUN yaπ₯°
π.π
POV HANS
Aku meremas rambutku kasar. Si4lan, uang yang sudah kuamankan untuk biaya pernikahan bersama Nila nanti sudah diambil Monik. Apakah dia mulai curiga? Bisa gawat ini.
"Mas, Mas." Kulihat Nila berlari-lari menghampiriku. Lalu menjatuhkan tubuh di ranjang, tepat di sebelahku.
"Ada apa, Sayang? Kenapa kok sepertinya panik begitu?"
Gadis berambut sebahu itu masih terengah-engah dan berusaha mengatur napas. Aku berinisiatif untuk mengambilkan segelas air yang berada di atas meja. Lantas kuangsurkan kepada wanita yang akan segera kunikahi dua minggu ke depan itu.
Diteguknya air hingga tandas. Meski masih terengah-engah, tapi mulai berangsur reda.
"Sudah bisa bicara?"
Nila mengangguk. "Ternyata, designer gaun pengantin tempat aku memesan kemarin itu, milik Monika istri kamu, Mas."
Sontak aku bangkit dari posisi rebahan tadi. Jantung rasanya hendak melompat dari sarangnya. Butik itu milik Monik? Sejak kapan dia membangun butik yang baru di Bogor? Kenapa ia tak memberi tahu?
"Ah, yang benar kamu, Sayang. Kamu tahu dari mana?" tanyaku dengan suara yang tercekat.
"Dia membawa mobil kamu yang kemarin aku pakai ke butik tadi. Waktu aku pura-pura bertanya, dia bilang itu mobilnya yang selama ini dipakai suaminya yang bernama Hans Revano."
"Di-dia sempat melihat mobil itu yang kamu pakai kemarin?" tanyaku lagi, penuh selidik.
"Iya, Mas. Bukan hanya melihat. Dia juga bertanya itu mobil siapa. Keren sekali katanya. Terus, aku jawab itu mobil calon suamiku." Nila menjelaskan sambil menggigit bibir bawahnya.
Aku tergugu lemas. Mati aku!
"Mas, maafkan aku. Aku 'kan tidak tahu kalau itu ternyata istri kamu." Wajahnya berkerut penuh sesal. Aku tahu dia tidak mungkin sengaja.
"Ya, sudah tidak apa-apa, Sayang. Tinggal kita hadapi saja. Mungkin, memang sudah waktunya dia harus tahu. Tapi-- "
"Tapi apa, Mas."
"Tapi, harta Monik belum mas kuasai."
Nila tercenung berpikir. Wajahnya tampak serius berpikir. Sedangkan aku, saat ini otak ini sangat kacau dan tak mampu dipakai berpikir.
"Begini saja, Mas. 'Kamu pernah bilang, ayah mertua kamu sangat sayang dan percaya sama kamu 'kan?"
"Iya, benar. Lalu?"
"Kenapa kamu tidak segera mempengaruhi mertua kamu itu, supaya mengalihkan beberapa hartanya untuk kamu, Mas?" saran Nila. Bola mataku berputar, mencerna sarannya barusan.
"Benar juga kamu, Sayang. Kenapa mas sampai tidak kepikiran ya."
"Berarti, kalau rencana ini berhasil, aku dapat hadiah dong ya."
"Pasti, apa yang kamu minta, pasti akan mas kasih."
.π.
Siang itu aku menemani Nila mencari butik pakaian pengantin yang baru. Mana mungkin kami tetap menggunakan jasa butik milik Monik. Sama saja dengan menggali lubang kubur sendiri.
"Yang mana yang bagus, Mas," tanya Nila sambil melihat-lihat koleksi yang tergantung.
"Apa saja yang kamu pakai cocok kok. Pasti cantik."
"Ah, Mas gombal." Nila tersipu malu.
"Mas tidak gombal. Apa yang mas katakan itu benar adanya, Sayang."
"Sudah deh, Mas. Aku jadi malu." Pipi putih mulusnya memerah karena terus mendapatkan gombalan dariku. Ini yang sangat kudambakan. Wanita yang suka bermanja-manja. Aku sebagai lelaki merasa dibutuhkan dan dicari. Sedangkan Monik, dia seorang wanita mandiri dan sosok independen, tidak suka diatur.
"Kalau yang ini bagaimana, Mas?" Nila menunjuk sebuah gambar kebaya modern berwarna peach.
"Apa tidak sebaiknya lebih cocok pakai kebaya yang ini?" Kutunjuk sebuah gambar kebaya berwarna putih. "Untuk akad nikah lebih baik putih 'kan, Sayang?"
Setelah hampir satu jam berkutat dengan gambar dan bahan, akhirnya, pilihan jatuh pada kebaya putih yang kupilih tadi. Sedangkan gaun pengantin untuk resepsi, kami memutuskan untuk menyewa saja. Karena pasti tidak akan terkejar, untuk waktu dua minggu.
Untuk pilihan jas pengantinku, juga sudah selesai. Dekorasi gedung nanti juga sudah beres. Tak sabar rasanya ingin mempersunting gadis seksi nan menggoda di depanku ini.
"Mas, sudah selesai. Tinggal dibayar saja," tukas Nila.
Aku mengangguk dan merogoh kantong celana belakang, untuk mengambil dompet.
Alangkah terkejutnya aku, ketika melihat sisi bagian kartu di dompetku kosong. Ke mana empat kartu kredit dan dua debit di sini.
"Mas, kok malah bengong sih? Ayo, bayar DP dulu," tegur Nila dan membuatku terhenyak.
"Mas, kamu dengar tidak sih?"
Kuusap peluh di dahi. Aduh, bagaimana ini? Mati aku! Pasti kartu-kartu itu diambil Monik. Apa yang harus kulakukan sekarang?
.πππ.
Terimakasih sudah mampir. Nanti di bab 11 baru dipanjangin ya.
Jangan lupa review bintang lima dan love juga komentarπ