Jangan lupa tekan BERLANGGANAN dan FOLLOW AKUN ya.
"Hilda, bukannya suami kamu sekapal dengan dia ya?" tanya Tiara sambil mengarahkan telunjuknya ke lelaki yang tengah menggendong bocah lelaki di rak mainan.
Kuikuti arah telunjuk Tiara. Kenapa Mas Bagas ada di sini? Bukankah kata Mas Hans--suamiku, kalau kapal mereka baru akan merapat bulan depan?
"Benar juga, Ti. Yuk, kita temui dia." Aku segera melangkah mendekati sahabat Mas Hans, yang sama-sama berprofesi sebagai nakhoda kapal swasta itu.
"Maaf, permisi, Mas Bagas," tegurku sopan.
Mas Bagas dan Alya--istrinya berbalik.
"Eh, Mbak Hilda, apa kabar?" Alya langsung memeluk dan bercipika-cipiki denganku.
"Sehat, Mbak Alya."
"Hi-hilda? Ka-kamu di sini?"
Aku sedikit heran, kenapa Mas Bagas terlihat gugup begitu melihatku.
"Kenapa Mas kaget melihatku?"
"Ah, ng-nggak apa-apa kok, Hil. Cuma kaget aja, kok kamu bisa jauh banget sampai Bogor. 'Kan kamu lagi hamil besar begini."
"Aku dan Tiara mau ketemu klien yang akan pesan baju pengantin di butik baruku yang di Bogor ini. Kok kamu bisa di sini, Mas? Mas tugas bareng dengan Mas Hans 'kan? Tapi, katanya kapal baru akan merapat bulan depan."
"Aku, aku nggak tahu, Hil. Memangnya suami kamu belum pulang?"
"Belum."
"Masa sih, Mbak. Padahal, kapal sudah merapat sejak minggu lalu lho. Mas Bagas saja sudah seminggu di rumah. Dan baru dua bulan lagi akan berlayar," imbuh Alya.
Aku tercenung berpikir. Mas Bagas dan Mas Hans mereka bekerja sebagai nakhoda di kapal yang sama. Tidak mungkin hanya Mas Bagas yang pulang saja, sedangkan suamiku tidak. Lalu, ke mana Mas Hans sebenarnya?
"Eng, Hilda, kami permisi dulu ya. Baim kayaknya lagi pup deh. Diapersnya bau. Yuk, Sayang." Lelaki berkumis tipis itu merangkul istrinya yang tampak kebingungan. Kemudian bergegas mendorong trolinya menjauh dariku dan Tiara.
Cukup aneh sebenarnya. Kenapa Mas Bagas ketakutan ketika melihatku? Pasti ada yang ia sembunyikan. Hanya saja tidak enak jika di tempat ramai begini, aku mendesaknya.
"Kenapa dengan teman suamimu itu ya, Hil? Pasti dia tahu sesuatu," terka Tiara. Pikirannya sama denganku.
"Aduh," pekikku sambil memegang perut yang sudah memasuki usia kandungan delapan bulan.
"Kamu kenapa, Hil?" tanya Tiara panik.
"Nggak apa-apa, Ti. Cuma perutku terasa keram aja."
"Ya udah, duduk dulu." Kebetulan di dalam supermarket ini ada seperti coffeshop kecil. Jadi ada kursi yang bisa digunakan untukku duduk.
"Mbak, ada air putih atau air mineral?"
"Ada, Mbak." SPG itu mengangsurkan sebotol air mineral pada Tiara. Kemudian wanita berambut sebahu itu membuka tutupnya lantas memberikan botol itu padaku.
"Minum dulu, Hil."
Kuteguk air mineral itu hingga nyaris tinggal separuh botol. Kembali kuusap perutku. Biasanya jika diusap begini, rasa keram itu akan berangsur hilang.
Setelah merasa sedikit enakan, aku dan Tiara segera membayar barang-barang belanjaan di troli lalu kembali ke butik. Setengah jam lagi, pasangan yang akan fitting baju pengantin akan datang.
Setiba di butik, aku terkejut karena mobil Mas Hans terparkir di depan butik.
"Kamu kenapa, Hilda?" tanya Tiara yang melihatku berdiri mematung.
"I-ini mobil Mas Hans, Ti."
"Serius kamu?"
"Ya, serius lah. Mobil ini hadiah ulang tahun dariku untuk Mas Hans." Aku segera mempercepat langkah masuk ke butik.
Kupindai sekeliling butik yang khusus menyediakan pakaian pengantin itu. Tidak ada sosok Mas Hans di sana. Hanya ada seorang wanita cantik berambut pirang, yang tengah melihat-lihat koleksi kebaya batik modern rancanganku di depan sebuah lemari besar.
"Eh, Bu Hilda sudah datang. Ini Mbak Nila yang mau pesan baju pengantin di butik kita."
Gadis berlesung pipi itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Kusambut sambil menatap lekat wanita di hadapanku.
"Nila."
"Hilda."
"Mbak Hilda perancang busananya?"
Aku tersenyum tipis. "Ya, sekaligus pemilik butik ini."
"Wah, keren banget. Biar pun sedang hamil, Mbak masih bisa terus produktif ya."
"Harus, Mbak. Zaman sekarang ini, wanita harus mandiri secara finansial. Soalnya, suami itu kalau nggak diambil Tuhan, ya diambil pelakor."
Gadis bernama Nila itu terhenyak. Apakah dia merasa tersindir? Entah lah!
"Oh ya, mobil di depan itu keren banget, Mbak. Itu mobilnya Mbak Nila?" tanyaku sekalian menyelidiki.
"Oh, mobil itu. Itu mobil calon suami saya. Tapi, ya bakalan jadi mobil saya dong. Soalnya, setelah menikah, kata pacar saya mobil itu akan diberikan ke saya," jawabnya enteng.
Deg. Seketika jantung berdetak kencang. Ada yang ikut berdenyut di ulu hati. Apa mungkin Mas Hans adalah lelaki yang dia maksud sebagai calon suaminya? Kalau iya, enak saja mobil itu akan diberikan pada wanita lain. Sedangkan, kepemilikan mobil itu pun masih atas namaku.
"Calon suaminya mana? Biasanya, pelanggan saya datang diantar calon suaminya," pancingku terus.
"Calon suami saya lagi sibuk banget, Mbak. Calon suami saya itu nakhoda kapal. Jadi, dia mau urus cuti dulu untuk pernikahan kami dua minggu lagi." Gadis bertubuh sintal itu mengeluarkan sebuah kebaya modern dan mematutkan di tubuhnya yang digerakkan ke kiri dan kanan.
Sudah jelas suamiku mencoba bermain di belakang. Mobil dan profesi nakhoda, sudah sebuah pasangan jawaban yang tepat.
"Nama suaminya siapa, Mbak, kalau boleh tahu?"
Ia menatapku dengan alis yang bertaut. "Untuk apa, Mbak, nanya-nanya nama calon suami saya?"
"Eng, anu, untuk ditulis di bon. Biasanya, saya suka tulis nama pasangan pengantin di bon." Untung saja otak ini cepat memberikan respon.
"Nama calon suami saya Hans Revano, Mbak."
Tungkai lututku mendadak lemas. Itu nama ayah dari anak yang kukandung saat ini. Astaga, Mas Hans akan menikah lagi dengan wanita lain, di saat aku tengah hamil besar seperti ini?
"Oh ya, Mbak. Pernikahan saya ini 'kan dadakan dan akan dilangsungkan dua minggu lagi. Baju pengantinnya bisa selesai cepat nggak ya?"
"Cepat banget, Mbak."
"Namanya juga anak muda zaman sekarang, Mbak. Tahu sendiri aja deh ya," tukasnya terkekeh sambil mengusap perutnya yang masih rata. Benar-benar tak tahu malu.
Hatiku semakin mendenyut perih. Teganya Mas Hans menanam benih pada rahim yang lain. Sementara di kandunganku pun tengah bersemayam bayi yang sebentar lagi siap lahir ke dunia.
Tiba-tiba saja, sekitarku terasa gelap. Aku tidak boleh lemah. Mas Hans dan keluarganya selama ini bergantung hidup padaku. Bahkan sampai dia menjadi seperti sekarang pun, itu tak luput dari campur tangan Papa.
Lihat saja, apa yang bisa kulakukan padamu, Hans Revano. Kejutan manis menantimu.
****
Next?