DESIGNER GAUN PENGANTIN GUNDIK SUAMIKU
PART : 7
Jangan lupa tekan tombol BERLANGGANAN dan FOLLOW AKUN aku ya, Zheyenk๐
Happy reading๐
.๐.
POV HANS
Kuusap peluh di dahi. Aduh, bagaimana ini? Mati aku! Pasti kartu-kartu itu diambil Monik. Apa yang harus kulakukan sekarang?
"Mas, ih, sebel deh. Orang lagi ngomong dicuekin."
Aku berdiri dan menghampiri Nila yang memanyunkan bibirnya.
"Sayang, kamu ada uang cash tidak?" tanyaku berbisik.
"Ada, tapi cuma sejuta."
Sejuta? Mana mungkin. Sementara, pembayaran uang mukanya yang dibutuhkan lebih dari itu.
"Kartu kredit kamu mana?
"Ketinggalan, Mas." Nila cengengesan.
Astaga, aku menepuk dahi.
"Ya sudah kalau begitu. Batal saja dulu. Nanti kita balik lagi," bisikku pelan.
"Lho, memangnya kenapa?"
"Sudah lah. Ayo!" Kutarik tangannya ke luar.
"Mbak, Mas, kok main pergi saja? Bagaimana ini?" tanya seorang pegawai wanita.
"Iya, Mbak. Nanti kami kembali lagi."
Sesampai di luar, Nila melepaskan tangannya dari cengkeramanku.
"Apa-apaan sih kamu ini, Mas. Bikin malu, tahu!" protesnya kesal.
"Ya, habisnya mau bagaimana lagi? Kartu-kartu kredit dan debitku tidak ada di dompet."
Dahi gadis berambut hitam itu berkerut. "Kok bisa?"
Kuangkat bahu. "Entah lah. Aku yakin, semua kartuku semuanya diambil sama Monik."
"Kurang ajar sekali istrimu itu, Mas. Berani-beraninya dia mengambil kartu-kartu kredit kamu. Semakin lama, dia semakin tidak bisa menghargai kamu sebagai suami."
Emosi kian memburu. Ditambah ucapan dari Nila barusan. Memang yang dikatakannya ada benarnya. Tak seharusnya dia berbuat demikian. Sama saja dia menjatuhkan harga diriku sebagai seorang suami.
"Sebaiknya, kamu segera memberinya pelajaran. Jadi, besok-besok dia tidak berbuat sesuka hatinya saja sama kamu. Di mana harga dirimu sebagai seorang suami?" Nila terus mengompori.
"Sudah lah. Kita pulang saja dulu." Aku masuk ke mobil.
Setelah Nila masuk ke mobil, aku segera melajukan mobil yang kurental, untuk mengantarkan Nila pulang.
.๐.
Aku memutuskan untuk mendatangi Monik ke butiknya. Biasanya, dia selalu berada di sana di jam begini. Meski sedang hamil besar, Monik masih terus produktif.
Tanpa mengetuk, aku langsung mendorong pintu ruangan kerja Monik.
Mendengar pintu dibuka, Monik melirik sekilas, lalu kembali fokus dengan kertas-kertas di mejanya. Ia tak sendiri. Ada Tiara yang selalu mendampingi dirinya.
"Monik."
Monik mengangkat kepalanya. "Hum," sahutnya seperti enggan.
"Aku mau bicara sebentar."
"Ya sudah, bicara saja."
Aku melirik pada Tiara.
Sepertinya, Tiara langsung mengerti arti lirikanku. "Eh, aku permisi ke luar dulu, Nik."
Tiara bergegas ke luar dan meninggalkan kami berdua. Monik duduk bersandar dengan melipat tangan di depan dada.
"Sekarang kita tinggal berdua. Kamu mau ngomong apa?" tanyanya dengan ekspresi datar.
Aku menarik kursi kemudian menjatuhkan bobot tubuh di atasnya.
"Kamu aneh sekali belakangan ini, Monik. Menjadi kaku dan datar. Terus, tiba-tiba kamu menarik mobil dan tidak mengizinkanku memakainya lagi. Sekarang, semua kartu kredit dan debit pun kamu ambil semua," terangku dengan jelas. Jantung ini berdebar-debar menantikan jawaban Monik. Seandainya benar dia sudah mengetahui semuanya, aku harus siap menerima konsekuensinya.
"Tidak ada masalah apa-apa. Hanya aku lihat, tagihan kartu kredit kamu membludak sekali, Mas. Belum lagi hilangnya 400 juta dari ATM, yang sampai sekarang aku tak tahu rimbanya. Aku heran, gajimu sebagai pengemudi kapal itu cukup besar lho. Tetap saja kamu terus mengandalkanku. Kamu itu laki-laki, Mas. Tidak malu memangnya?"
Pertanyaan terakhir itu benar-benar menohok. Memang selama ini aku nyaris tidak pernah memberi nafkah untuknya. Uang itu kufoya-foyakan untuk wanita-wanita, setiap kali kapal merapat.
Hingga akhirnya, Nila menambat hati dan akhirnya mengakhiri petualanganku sebagai Don Juan kapal. Uang itu lebih banyak dihabiskan untuk gadis yang waktu itu nyaris melompat ke laut, karena berniat bunuh diri. Dan gadis itu pun berhasil membuat diri tergila-gila dan memutuskan menikahinya. Terlebih karena wanita itu mengaku telah berbadan dua, dari hasil hubungan gelap kami yang sudah cukup jauh jika disebut sekedar menjalin kasih.
"Bu-bukan begitu, Monik sayang. Kamu 'kan tahu, aku harus membiayai Ibu dan sekolah adik-adikku." Aku berusaha mengutarakan alasan semasuk akal mungkin.
"Iya kah? Perasaan, untuk Ibu dan adik-adikmu juga masih aku yang menanggung. Setiap bulan, bukan kah masih aku yang mengirimkan jatah bulanan pada mereka?"
Aku hanya bisa meneguk ludah. Mati sudah langkah untuk menghadapi wanita di hadapanku saat ini. Ayo lah, Hans, masa kamu tidak bisa menyelesaikan semua ini.
"Kamu harus tahu satu hal, Mas. Aku saat ini sedang menyelidiki ke mana hilangnya 400 juta itu. Juga beserta untuk apa-apa saja kamu keluarkan uang, sehingga tagihan kartu kredit bisa membludak seperti itu."
Deg. Monik sedang menyelidikiku? Gawat!
"Me-menyelidiki apa, Sayang?" Keringat dingin mulai timbul di sela pori-pori kulit.
"Seperti yang aku bilang tadi. Aku rasa, seharusnya kamu sudah cukup paham. Dan kamu tahu resikonya 'kan? Semua segala fasilitas akan aku tarik. Kemudian , kita ke pengadilan agama untuk mengurus perceraian kita. Oh ya, satu hal lagi, jangan harap kamu bisa ketemu anak ini setelah di lahir nanti, bahkan sampai kapan pun," ancamnya tegas.
Kuseka bulir keringat yang mulai membasahi dahi, dengan sapu tangan. Sorot mata itu, membuktikan Monik tidak main-main dengan ucapannya. Ini artinya, kehancuran sudah di depan mata.
Aku harus segera menemui papanya Monik. Dan meminta bagian yang sudah dijanjikan beliau untuk menjadi milikku. Tidak, aku tidak mau hidup miskin lagi!
๐โจ๐