Part 6
AKIBAT DURHAKA PADA IBU
{Banyak anak belum tentu bisa merawat satu orang ibu}

PART 6

"Assalamu'alaikum, Mbak Diana. Tolong ke rumah sebentar saja. Sepuluh atau dua puluh menit pun tak apa. Ibu pengen lihat kamu sama Mas Oky, Mbak. Tolong, sakit ibu nggak seperti biasanya. Ibu nggak mau makan sebelum bertemu kamu dan Mas Oky," ucapku dengan tergugu. Air mataku benar-benar tumpah seketika. 

Suasana di seberang begitu ramai, entah di mana Mbak Diana saat ini. 

"Wa'alaikumsalam, Rim. Kamu ngomong apa? Nggak dengar, Rima. Lagi di tempat wisata sama anak-anak. Nanti aku telepon lagi kalau sudah sampai hotel." 

Klik. Panggilanku dimatikan begitu saja olehnya. 

Astaghfirullah, Mbak. Kenapa kamu tega berbuat seperti ini pada ibu padahal ibu sangat merindukanmu. Kenapa kamu lebih mementingkan keluarga Mas Gilang dibandingkan ibumu sendiri. Kenapa kamu tak pernah mau sedikit saja melihat dan membayangkan bagaimana pengorbanan ibu selama ini?

Air mataku tumpah. Benar-benar tak tahan lagi membayangkan bagaimana kerinduan ibu pada dua anaknya, anak yang hingga detik ini belum juga datang menemuinya. Padahal sudah berulang kali aku meminta untuk datang meski hanya beberapa menit saja. 

Apa yang harus kulakukan sekarang? Harus kah diam saja menunggu mereka datang atau apa? Aku tak mungkin meninggalkan ibu sendirian. Lagi-lagi aku diterpa kecewa dan kebingungan yang dalam. Tak tahu apa yang bisa kulakukan selain menangis dalam diam. 

Aku hanya bisa berusaha membesarkan hati ibu meski kutahu itu hanya sebuah kesiaan semata, karena pastinya firasat seorang ibu jauh lebih peka. Siapa anak yang tulus dan siapa yang penuh sandiwara dan hanya berpura-pura. 

Berulang kali kutelepon Mas Oky namun ponselnya tak aktif. Telepon Mbak Risa justru ditolak, entah ke mana mereka. Mungkin kah bersenang-senang di tengah kesakitan ibu? 

Kucoba cek status whatsapp Mbak Risa. Lagi-lagi dadaku terasa begitu sesak saat kulihat mereka terlihat begitu menikmati liburan dan makan di restoran mewah. Aneka masakan seafood terhidang di meja makan. Mereka tampak begitu menikmati dan foto bersama dengan senyum bahagia. 

Kutuliskan sebuah komentar di sana. Rasanya begitu nelangsa melihat mereka tertawa bersama di tengah kesakitan dan kerinduan ibu yang begitu dalam. 

|Mbak, tolong bilang sama Mas Oky. Ibu ingin bertemu. Ibu sakit keras, Mbak.| 

Tak ada ceklis biru di sana meski Mbak Risa kulihat masih online. Pesan yang kukirimkan masih abu-abu, mungkin malas untuk membaca apalagi membalasnya bahkan saat dia sudah offline. 

Astaghfirullah, sabar Rima ... sabar. Semua demi ibu. Kamu harus kuat, jangan menyerah gitu aja. Anggap saja kedua kakakmu adalah ujian yang mau tak mau harus kamu selesaikan. Kamu harus terus berusaha mengambil hati kedua kakakmu agar mau menjenguk ibu. Ibu begitu merindukan mereka. Ibu ingin melihat wajah kedua anaknya. 

Tak putus asa, aku kembali menghubungi Mas Oky namun masih tak aktif. Dengan tangan gemetar kukirimkan pesan untuknya. Jika masih tak mau menjenguk ibu, biar lah. Mereka semua akan menyesal sendiri di kemudian hari. 

|Mas, ibu nggak mau makan sebelum melihat kamu dan Mbak Diana datang. Sakit ibu makin parah karena dari kemarin nggak makan apa-apa. Ibu beneran sakit, Mas. Tolong jenguk ibu berapa menit saja terserah kamu. Sudah berapa bulan kamu nggak datang ke rumah? Coba ingat-ingat. Kasihan ibu, aku nggak tega melihatnya seperti sekarang.| 

Tak selang lama kulihat Mbak Risa menelepon. Mungkin dia sudah lapor Mas Oky tentang kondisi ibu. Syukur lah, semoga saja mereka segera datang ke rumah.

"Rima! Ngapain sih kamu ganggu dari tadi. Aku sudah bilang kan kalau weekend aku nggak mau diganggu? Waktunya liburan dengan keluarga kecilku. Lagipula ibu memang sering sakit, kan, Rim? Tensinya sering naik. Biasanya minum obat dari warung juga sembuh!" Mas Oky terdengar begitu kesal. 

Air mataku kembali luruh, membasahi pipi. 

"Ya Allah, Mas. Ibu sakit dari kemarin nggak mau makan. Kamu malah enak-enakan liburan. Liburan kan bisa kapan-kapan tapi ibu-- 

"Makanya bawa ke dokter, Rima! Kenapa? Nggak punya duit juga? Kamu itu harusnya menyimpan uang, anggap saja buat bayar kontrakan bulanan. Nah kalau ibu sakit begini kamu bisa pakai uang itu. Sudah numpang di rumah ibu gratis tapi seolah lepas tangan saat ibu sakit!" 

Sesak. Perih dan terluka. Tega sekali Mas Oky mengatakan hal yang begitu menyakitkan ini pada adik kandungnya sendiri. Bukannya aku tak sanggup merawat ibu, aku hanya menyampaikan pesannya untuk melihat kedua anaknya saja. Tapi lagi-lagi tanggapan Mas Oky dan Mbak Diana tak jauh beda. Beranggapan bahwa aku terlalu perhitungan dalam memberikan perawatan untuk ibu.

"Terserah kamu, Mas. Kalau memang kamu nggak mau datang. Jangan menyesal di kemudian hari jika terjadi apa-apa dengan ibu. Aku sudah berusaha memberitahumu. Assalamu'alaikum." 

Kumatikan ponsel setelah mengucapkan salam. Rasanya percuma memintanya segera datang karena Mas Oky pasti akan menomor sekiankan ibu dan aku. 

Dia tak pernah peduli dengan tangis ibu. Dia tak peduli bagaimana sakitnya hatiku dan perihnya luka ibu. Yang dia pikirkan hanya kesenangannya sendiri. Egois memang, namun begitu lah dia dan istrinya. Sama saja tak pernah menganggapku dan ibu ada. 

Jika membutuhkan pertolongan kami saja mereka sering datang, setelah mendapatkan kemauannya mereka pergi dan menghilang. 

Gegas kutelepon Mas Adam, memintanya untuk kerja setengah hari saja. Aku benar-benar takut ibu kenapa-napa. Hanya Mas Adam yang selalu menenangkan hatiku di saat gundah gulana, memikirkan Mas Oky dan Mbak Diana yang tak pernah berubah sedari dulu. 

Buru-buru aku mencuci muka. Acara goreng menggoreng tak jadi kulanjutkan. Aku ingin selalu bersama dan di dekat ibu saat ini. Menjaganya, memijit tangan dan kakinya serta menceritakan sesuatu yang membuat hatinya bahagia. Aku tak ingin kehilangan momen berharga bersamanya. 

Kubuka pintu perlahan dengan membawa semangkuk bubur ayam. Jika ibu enggan mengunyah semoga bubur ini cukup mudah ditelannya. Biasanya ibu sangat suka dengan kuah bubur ayam yang konon menggugah selera. 

"Bu ... makan bubur ayam dulu ,ya? Rina suapi supaya ibu lekas sembuh," ucapku menahan serak dan isak. Sungguh, tak tega melihat wajah ibu yang menyimpan banyak beban dan duka. Entah sejak kapan ibu lebih sering memejamkan mata. Mungkin hanya saat salat saja dia membuka kedua matanya. Dia meminta bantuanku untuk memakaikan kaos kaki dan salat dengan berbaring di atas ranjangnya. 

"Ibu ...." Kugoyangkan lengannya perlahan. 

Dia membuka kedua matanya, menatapku beberapa saat lalu menitikkan air mata. Wajah teduh itu yang dulu berjuang sekuat tenaga mengandungku sembilan bulan, melahirkanku dengan bertaruh nyawa, merawatku sepenuh cinta hingga dewasa dan kini dia mulai menua. 

Kuusap kristal bening di kedua sudut matanya yang menua. Senyum itu ... tangis itu ... dan wajah itu. Selalu membuat hari-hariku penuh warna, sekuat apa pun aku berusaha untuk membahagiakan dan merawatnya, tak pernah bisa menebus pengorbanannya, bahkan mungkin pengorbananku ini hanya seujung kukunya saja. 

"Rima ... kakakmu nggak datang, kan?" tanyanya lirih. Air mataku kembali tumpah meski sudah berusaha kubendung sedemikian rupa. 

Aku bahkan tak memiliki daya untuk menjawab pertanyaan ibu. Hanya tangis dan gelengan kepala sebagai jawaban atas pertanyaannya.  

Ibu menyeka kedua pipiku yang basah lalu tersenyum begitu manis. Senyum yang tak akan pernah kulupa sepanjang hidupku. 

"Jangan menangis, Rima. Kamu anak terhebat yang ibu punya. Kamu anak shalehah. Ibu sangat bersyukur memiliki anak sepertimu. Doa ibu tak pernah putus untukmu, Rima. Esok atau lusa kamu pasti bahagia." 

Kupeluk ibu dengan tangis yang semakin keras terdengar, bahkan aku tak sadar jika Mas Adam sudah duduk di sebelahku. Memijit kaki ibu perlahan. 

"Semoga Allah segera memberikan kalian keturunan, membuat hidup kalian mapan dan nyaman dan menjadikan keluarga kalian selalu dalam cinta, setia dan bahagia." 

Ibu kembali menitikkan air matanya. Meminta Mas Adam untuk membimbingnya mengucap syahadat. Tangisku semakin pecah saat menatap wajah ibu yang begitu tenang. Ibu telah pergi dengan seulas senyum yang menyejukkan. 

*** 
Nangissssss bayanginnya 😭😭

Komentar

Login untuk melihat komentar!