AKIBAT DURHAKA PADA IBU
{Banyak anak belum tentu bisa merawat satu orang ibu}
PART 3
"Assalamu'alaikum, Mbak Dian. Maaf kalau--
"Wa'alaikumsalam. Oh kamu yang telepon, Rim? Kirain siapa. Pakai nomor siapa nih?" tanya Mbak Diana cepat.
"Iya, Mbak. Pakai ponselnya Bu Saniah karena aku nggak ada pulsa," jawabku jujur. Berdebar jantungku tiap kali menelepon Mbak Diana. Aku harus menyiapkan hati seluas samudera agar tak terlalu terluka jika mendapatkan hinaan atau omelannya.
"Ada apa, Rim? Cepet ngomongnya, aku mau meeting," ucap Mbak Diana lagi. Selalu saja begitu tiap kali aku meneleponnya. Aku tak paham itu memang beneran atau sekadar alasan.
"Emm ... aku--
"Duit lagi?" tebak Mbak Diana singkat dan cepat.
"Kamu telepon aku itu cuma kalau butuh duit ya, Rim? Kalau nggak butuh ya nggak pernah nelepon. Nggak ada duit, aku juga pusing mau bayar SPP anak-anak sama adiknya Mas Gilang," ucap Mbak Diana ketus sembari menutup teleponnya.
Astaghfirullah ... aku hanya bisa beristighfar lirih. Tak terasa air mata mulai menitik di kedua pipi. Sementara ibu tampak berkaca-kaca. Dia pasti tahu tanpa harus kujelaskan secara detailnya.
"Saya pinjam buat telepon Mas Oky dulu ya, Bu?" pintaku pada Bu Saniah yang terlihat sangat gusar.
"Maaf ya, Bu." Aku mencium punggung tangannya sebagai ucapan maaf karena sudah merepotkannya.
"Assalamu'alaikum, Mas Oky. Aku buru-buru, Mas. Butuh uang 150ribu buat bayar hutang ke Bu Saniah. Kasihan sekarang Dino masuk klinik karena kecelakaan. Tolong, Mas. Transfer segera, penting banget soalnya," ucapku buru-buru, tak enak hati jika pulsa Bu Saniah banyak terkuras karena panggilan telepon ini. Selain itu juga biar Mas Oky segera mengirimkan uang itu untuk berobat Doni.
"Wa'alaikumsalam. Maaf, Rim. Ini aku, Risa. Kakakmu masih jagain anak-anak di kidsland. Mumpung kakakmu cuti jadi bisa sedikit liburan. Kamu minta Diana saja deh, kami sedang sibuk jadi nggak bisa bantu kamu."
Klik. Ponsel ditutup begitu saja. Aku hanya mampu menggeleng pelan. Mau tak mau aku telepon Mas Adam saja barang kali dia bisa pinjam uang ke mandornya, seperti biasanya.
"Mas ... Bu Saniah meminta uangnya sekarang, soalnya Doni masuk klinik karena kecelakaan. Tolong cariin uang, Mas. Aku bingung mau pinjam ke siapa sekarang," ucapku gugup sampai lupa tak mengucap salam.
"Innalillahi ... pinjam ke tetangga dulu, Dek. Bilang saja, nanti pulang kerja mas balikin. Mas bisa pinjam bos Har dulu," ucap Mas Adam cepat.
"Tapi apa ada yang percaya, Mas?"
"Coba dulu saja. Kalau memang nggak ada yang minjami nanti biar Mas minta Bos Har transfer ke rekening kamu."
Aku pun mengangguk pelan dan menutup telepon begitu saja. Buru-buru ke rumah Mas Anhar pemilik counter pulsa barang kali dia mau kasih pinjam terlebih dulu. Saat seperti ini, aku sudah tak memikirkan malu.
Caci maki sudah biasa kuterima, mungkin aku sudah mulai kebal dengan kata-kata menyakitkan itu. Tak tetangga, tak saudara, semua sama saja. Sering kali menghinaku dan Mas Adam sesuka mereka. Hanya karena hidup kami sangat pas-pas an, tak bisa seperti kedua kakakku yang sangat mapan.
"Mbak Rima!" Panggilan Mas Anhar membuatku mempercepat langkah.
"Mau pinjam uang 150ribu, ya?" tanyanya kemudian. Aku tersenyum seketika.
"Ini, Mbak. Barusan Mas Adam kirim pesan buat pinjami mbak Rima duit dulu," ucapnya sembari menyerahkan dua lembar uang di atas etalasenya.
"MasyaAllah. Alhamdulillah, terima kasih, Mas. Semoga rejekinya makin lancar ya, Mas. Pinjam dulu nanti sore InsyaAllah Mas Adam kembalikan," ucapku.
Mas Anhar menganggukkan kepalanya pelan. Gegas kuhampiri Bu Saniah yang sudah berjalan ke arahku.
"Alhamdulillah dapat, Bu. Maaf sudah menunggu lama. Semoga Dion nggak kenapa-kenapa ya, Bu. Lekas sembuh pokoknya."
"Iya, Mbak. Terima kasih doanya, ya. Maaf juga mbak terpaksa diminta sekarang."
Bu Saniah menganggukkan kepalanya pelan.
"Nggak apa-apa, Bu. Wajar begitu, ibu memang sedang butuh."
Bu Saniah pamit untuk ke pangkalan ojek, gegas pergi ke klinik yang tak jauh dari sekolah anak laki-lakinya.
Kuhembuskan napas panjang, cukup lega karena sudah mendapatkan uang untuk Bu Saniah. Kepalaku mendadak pusing memikirkan kejadian tadi.
Teganya Mbak Diana mengabaikan permintaanku, padahal untuk biaya sekolah adik Mas Gilang yang puluhan juta itu dia selalu usahakan ada. Padahal ibu Mas Gilang masih ada dan mendapat pensiunan tiap bulan. Sementara ibu, dia tak memiliki apa-apa selain aku yang juga tak jauh beda.
Kupercepat langkah menuju rumah. Sepertinya ibu sudah masuk ke dalam, tak terlihat di teras rumah seperti tadi saat kutinggalkan.
"Assalamu'alaikum, Bu."
Tak terdengar jawaban salam darinya. Hati mulai tak tenang apalagi saat kupanggil berulang kali ibu tak juga menjawab panggilanku.
"Ibu ...." Hening. Masih tak ada jawaban. Kubuka kamarnya. Tak ada ibu di sana. Di kamarku pun kosong. Aku cek kamar mandi juga nggak ada. Gegas kutengok halaman belakang, tak ada juga.
Astaghfirullah ... ibu ke mana? Aku kembali berlari ke teras rumah. Nggak ada juga. Aku cari keliling rumah pun nggak ada. Entah di mana ibu, bisa secepat itu menghilang.
Aku kembali ke kamar untuk mengambil ponsel second yang kubeli dua bulan lalu, saat mendapat gaji dari mengajar dulu. Dengan gemetar kutekan nama Mas Adam.
"Mbak Rima. Mbak ..." Panggilan seseorang menghentikan jemariku. Gegas kuberlari ke sumber suara.
"Anis? Ada apa?" tanyaku cepat saat kulihat Anis sudah ada di teras rumah.
"Mbak tadi aku lihat Budhe Sumi naik ojek," ucap Anis tiba-tiba.
"Maksudmu gimana, Nis?"
"Naik ojek, Mbak. Dia titipkan kursi rodanya di rumah ibu. Saat ibu tanya katanya mau ke rumah tante Diana," ucap Anis lagi.
"Astaghfirullah, Ibu. Kaki dan tangan kirinya masih belum bisa digerakkan, kenapa pakai acara ke rumah Mbak Diana segala, nggak ijin aku dulu."
Pikiranku mendadak kacau. Mau apa ibu ke rumah Mbak Diana? Dia kan masih kerja sekarang. Tadi juga bilang mau meeting, kan?
"Aku pulang dulu, ya, Mbak. Tadi cuma disuruh ibu buat kasih tahu Mbak Rima soal kepergian Budhe Sumi," ucap Anis lagi. Dia mencium punggung tanganku lalu pamit pulang ke rumahnya. Aku hanya mengangguk pelan sembari mengucapkan terima kasih.
Aku pun kembali ke dalam rumah. Membongkar celengan dari gerabah itu untuk menjemput ibu, sekalian membelikannya martabak telur untuknya. Celengan yang baru kuisi beberapa minggu lalu, tak apa lah kuambil sekarang meski kuyakin isinya tak seberapa. Setidaknya aku sudah berusaha mengabulkan permintaan ibu.
Semoga masih ada sisa lebih untuk modal jualan. Benar kata Mas Adam, aku bisa membuat gorengan atau keripik untuk dititipkan ke warung-warung. Berapa pun hasilnya nanti, setidaknya memiliki penghasilan tanpa harus meninggalkan ibu di rumah sendirian.
***
Jejak komen dan lovenya ya, Kakak. Terima Kasih 💕💕