•••
Pagi-pagi sekali, rumah sudah ramai dengan teman-teman kakak yang berdatangan.
Entah apa yang tengah kakakku dan temannya bicarakan, di atas pohon jambu air depan rumah, aku melongok pembicaraan mereka.
Sekilas kudengar mereka membicarakan bambu untuk dijadikan sesuatu. Sambil menikmati buah jambu dari atas pohon, kudengar suara Kak Bentala memanggilku.
"Beni!" serunya padaku yang tengah asik memakan buah jambu air.
"Iya, kenapa, Kak?" tanyaku dari atas pohon.
"Sekalian ambil jambu air, nanti kita merujak sama-sama bareng teman Kakak." Kak Bentala berbicara sambil mendongakan wajahnya ke atas.
"Oke, plastiknya tolong ambilkan, Kak!" seruku lagi.
Aku memetik buah jambu air yang sudah berwarna merah, membiarkan jambu yang masih berwarna hijau tetap di pohonnya.
Bergegas turun, aku meberikan plastik itu kepada kakak.
"Jambunya manis, Ben." Salah satu teman Kakak bertanya padaku.
Aku mengangguk cepat.
"Manis, dong. Jambu air siapa dulu, dong!" seruku bangga sambil menepuk dada pelan.
Semua teman-teman Kak Bentala tertawa melihat tingkahku itu.
"Dek, minta Mamak buatkan sambal, ya?" perintah Kakak lagi.
Dengan manut, aku berlari ke dalam rumah, meminta mamak untuk membuat sambal untuk rujak.
Tidak berselang lama, mamak keluar membawa cobek yang sudah berisi ulekan cabe rawit. Wah! Ini pasti akan nikmat.
"Ini sambelnya, sedikit pedas, nanti Mamak buatkan es untuk minumnya," ucap mamak kemudian meletakkan cobek di balai bambu tempat kakak dan temannya tadi berbincang-bincang.
Cobek berisi sambal itu kini tengah dikelilingi oleh aku, kakak dan temannya. Keringat mulai membasahi dahi serta bibir yang mulai memerah karena kepedasan.
Mamak datang membawa baki dengan gelas dan teko berisi air es.
"Pedas! pedas! pedas!" seru kami semua serentak sambil menyerbu gelas kemudian bergiliran menuang air es ke dalam gelas plastik.
Bahkan meski kepedasan aku tetap makan rujak dengan lahap, hal yang sama pun dilakukan teman-teman kakak.
Kak Bentala sendiri sudah tergeletak di atas balai bambu, tidak kuat untuk melanjutkan rujak.
"Sehabis makan rujak, jangan lupa kita ambil bambu untuk tugas sekolah," ucap Kak Bentala pada teman-temannya.
Aku yang penasaran pada tugas sekolah Kakak, bertanya dengan kening yang mengkerut.
"Bambu? untuk tugas apa, Kak?"
'"Membuat mercon bumbung," ucap kakak menjawab pertanyaanku.
Mercon bumbung?
Dahiku semakin berkerut, tidak tahu apa itu mercon bumbung.
"Anak sekarang, mana tahu mercon bumbung, yang kalian tahu pasti cuma petasan." Suara teman Kakak yang kalau tidak salah bernama Sadewa.
Aku merengut, memang benar aku tidak tahu mercon bumbung yang tengah kami bicarakan itu apa.
"Memangnya mercon bumbung, apa?"
"Bambu besar yang dilubangi, kemudian diberi solar dan spirtus supaya menghasilkan ledakan seperti suara meriam di zaman perang penjajahan dahulu kala," Kak Bentala menjawab pertanyaan yang kulontarkan tadi.
Aku tertarik ingin melihat cara membuat mercon bumbung itu.
"Kak, aku ikut Kakak membuat mercon bumbung, ya?" ucapku sambil memegang tangan Kak Bentala diayunkan ke kanan dan ke kiri.
"Oke, tapi jangan nangis. Jangan pegang bambu yang masih ada *lugutnya." Kakak mewanti-wanti agar aku tidak teledor nantinya.
"Iya, Kak." Anggukku patuh.
Kemudian setelah itu, kami berlima--aku, kakak dan tiga orang temannya berjalan kaki menuju kebun bambu di desa sebelah.
Tempatnya yang lumayah jauh, membuat kami harus membawa tas ransel juga air minum dan parang.
Sejam lebih jarak tempuh yang kami lalui, panas matahari mulai menyengat kulit yang tidak tertutup baju.
Untung saja, tadi aku sempat membawa topi sebelum berangkat ke kebun bambu. Panas matahari sedikit terhalau oleh topi yang kukenakan.
Sesampainya di sana--kebun bambu, aku duduk sedikit jauh dari Kak Bentala dan temannya yang ingin mencari bambu besar yang cocok untuk dijadikan mercon bumbung.
Terlihat teman Kak Bentala sudah akan memotong bambu, kemudian disusul Kakak yang juga sudah menemukan bambu besar yang mungkin menurut mereka cocok.
"Ayo! lugutnya dibersihkan dulu, Bentala!" teriak teman Kakak yang masih memotong bambu.
"Oke, nanti dipanggul sama-sama, ya?"
Dua buah bambu besar kini telah dipotong dan dibersihkan dari lugut, itu bertujuan supaya saat dipanggul lugut itu tidak gatal jika terkena badan.
"Kenapa membuat mercon bumbung harus dipilah bambunya, Kak?"
Kak Bentala yang memanggul satu bambu di pundaknya menjawab pertanyaanku.
"Karena, supaya suara yang dihasilkannya nanti bagus, juga bambunya tidak mudah pecah jika memilihnya dengan benar."
Aku manggut-manggut paham.
Sepanjang perjalanan, aku terus bergantian bertanya ini dan itu mengenai cara membuat mercon bumbung.
Aku senang, karena teman Kak Bentala mau menjawab semua pertanyaan yang terus muncul di kepalaku ini.
Satu jam yang tadinya terasa lama dilalui ketika berangkat kini saat pulangnya terasa amat singkat perjalanan yang kami lakukan.
Alat dan bahannya kini tengah dipersiapkan, ada minyak tanah, garam, spritus korek api dan bambu kecil yang sudah disisik untuk menyalakan mercon bumbung nanti.
Kulihat kakak dan temannya sibuk mengukur bambu besar lurus tadi dengan penggaris, mengukur sepanjang 120 cm dari pangkal bambu untuk dilubangi.
"Lubang itu, untuk apa, Kak?"
"Ini lubang pemicu api, Dek. Lihat saja prosesnya, jangan bertanya terus, nanti kerjaan Kakak enggak selesai," ucap kakak mulai menggerutu.
Aku jupa ikut menggerutu, teman Kak Bentala hanya tertawa melihat perdebatan kecil kami.
Bagian ujung bambu juga dilubangi, menggunakan linggis, hal itu supaya udara bisa keluar saat ditiup dari lubang pemicu.
"Dek, tolong mintakan kawat Bapak di belakang. bilang, Kakak mau minta sedikit."
Ish!
Meski menggerutu dan mendongkol, aku ke belakang juga untuk mengambil kawat sesuai perintah Kak Bentala.
Kakak yang selalu memerintah Adiknya terus!
Kawat yang tadi kuambil diikatkan pada bambu yang sudah selesai dilubangi, agar bambu itu kuat menahan kompressi saat lubang pemicu diberi api.
"Selesai sudah!" teriak mereka serentak.
Aku ikut berdiri melihat hasil karya buatan Kakak dan temannya, bambu yang sudah selesai dibuat mercon bumbung di bawa menuju lapangan luas yang jauh dari anak-anak bermain.
"Loh, kenapa dibawa ke sini, Kak?"
Kakak meletakkan mercon bumbung dari bambu itu ke tanah, kemudian mengeluarkan minyak tanah dari dalam *jrigen minyak.
"Supaya tidak membahayakan Anak-anak yang nanti melintas," ucapnya sambil mengambil spritus, garam dan bambu untuk menyulutkan api ke dalam lubang.
Setelah semua dimasukkan ke dalam lubang, api dari bambu yang di ujungnya terdapat api menyembur.
Boom dor!
Wah! Betapa senangnya aku melihat mercon bumbung yang bersuara menggelegar mengalahkan suara mercon.
Sore ini kami habiskan dengan bermain mercon bumbung, satu mercon bumbung disimpan untuk tugas Kakak di sekolah.
SELESAI.
Bengkulu, 17 Juli 2020
*Lugut: Bagian bambu yang bisa membuat gatal jika terkena kulit.
*Jrigen Minyak: tempat wadah minyak.