"Ah lo Kak.. Kak..! Lo gak boleh kasih tau ke Mama soal ini. Bisa jantungan Mama, kalo tau anak gadisnya jadi tawanan duda begini."
Aku menunduk seraya menutup wajahku dengan kedua tangan. Otakku bekerja keras memikirkan bagaimana cara agar aku terbebas dari jerat sang penagih hutang.
Hutang uang, hutang budi, hutang maaf, atau hutang apa saja, sekarang sepertinya sudah tidak ada bedanya lagi. Hidupku menjadi tidak tenang dikejar-kejar oleh sang debtcollector seperti ini.
Romi menepuk pundakku keras dengan tangan kirinya yang bebas, sambil pandangannya tetap fokus mengemudikan mobil Pajero sport hitamnya, membelah jalanan ibukota, menuju bilangan Jakarta Selatan, rumah kami berada.
"Gak usah stress. Gue bakal bantu lo kok. Besok gue temuin tu cowok. Lo bisa andelin gue."
Dia menepuk dadanya, dengan kepala sedikit mendongak, menyombongkan diri.
"Gini-gini, gue juga udah pernah ketemu pasien yang tingkahnya kayak dia. Dan gue yakin gue bisa atasi orang macem Reymond itu."
Aku mengangkat wajahku, menatapnya sumringah. Ada sedikit rasa tenang di hatiku. Setidaknya aku masih punya seseorang di keluargaku, yang bisa diandalkan. Romi memberikan secercah harapan.
Aku merangkul bahunya dan kepalaku bersandar di sana. Bergelayut manja, seolah-olah tinggal dia satu-satunya pria di muka bumi ini.
"Uwh ... Adeknya Kakak hero banget deh. Makasih ya Beb sayangku."
"Ih. Gelo lo, Kak! Jijik gue! Mending Riri aja kali yang peluk gue."
Romi memberontak dengan menepiskan tanganku. Aku tidak melawan karena dia memang sedang menyetir.
"Haha, geli juga gue. Renata nih yang ngomongnya begini. Eh, tapi makasih lho, Rom. Kalo bisa, lo bantu gue bebas sebebas-bebasnya, gak usah ketemu dia lagi. Gue kasih dah apa yang lo mau."
"Iyee-iyee."
"Eh wait. Riri? Lo bilang mending Riri yang peluk lo?"
Aku tak percaya. Ternyata adikku punya rasa terpendam pada Riri? Aku harus mengkonfirmasinya.
"Baru dikasih janji gini aja lo udah klepek-klepek main peluk. Pantees ... "
"Lo suka ya sama Riri?"
"... lo gak akan bisa lawan tuh Rey. Dia tau kelemahan lo. Apalagi dia bawa anak-anak buat naklukin lo."
"Cie ... lo pacaran sama Riri?" Aku makin mendesaknya.
Aku menoel pipinya, terlihat semburat rona malu yang muncul di wajahnya, meskipun keadaan dalam mobil cukup gelap. Aku sudah sangat hafal dengan tingkah saudara sekandungku yang sudah hidup bersamaku dua puluh lima tahun.
"Apaan sih lo Kak! Urus dulu urusan lo ini. Jangan ngurusin urusan gue."
"Alaah. Ngaku aja! Riri juga kayaknya demen sama lo deh. Eh, jangan-jangan kalian udah pacaran ya? Tapi backstreet gitu?"
"Emang gue anak SMA!"
Aku terus-menerus menggodanya.
"Diem gak lo Kak?! Atau besok gue gak usah deh ketemu si Rey itu? Kan malah untung gue punya ipar tajir. Siapa tau bisa kecipratan satu Mercy apa Lamborghini dia. 'Kan mayan!"
"Gak!"
Aku menepuk lengannya keras, bersidekap marah, tapi seketika langsung mengibarkan bendera putih padanya. Menyerah. Aku memang masih membutuhkan bantuannya.
"Dasar materialistis."
_____
Tuan Singa:
Kenapa belum datang?
Lanisa.
Kalo gak dibalas, aku jemput ke rumah.
Lanisa:
Pagi saya di poli, siang baru bisa visite.
Tuan Singa:
Jam berapa visite nya?
Lanisa:
Abis sholat dzuhur. Sama makan siang dulu.
Tuan Singa:
Sholat aja. Makan siang sama aku.
______
Aku mendaratkan punggungku di sofa empuk berwarna kuning tua yang mempercantik kantor sekretariat Departemen Anak ini. Ruangan bercat biru langit kombinasi pink muda dengan motif wallpaper doraemon ini, memang disiapkan untuk staf dokter spesialis anak di rumah sakit kami.
Ada sofa tamu, meja sekretaris, set meja kerja delapan buah untuk masing-masing dokter, dan sebuah meja kayu bulat besar di ujung ruangan, yang digunakan untuk kami diskusi kasus atau sekedar rapat kecil.
Di ujung juga disiapkan alat pemanas air sekaligus teh dan kopi berbagai varian, untuk sekedar menjadi teman kami berbincang.
Aku sudah menyelesaikan kunjungan pasien poli Anak sejak tadi. Dan sekarang masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum istirahat jam dua belas siang.
Di sini aku mendapati Mba Atik, sekretaris kami yang sibuk mengetik sambil mendengarkan lagu dari headsetnya, juga Renata yang merupakan sahabat sekaligus sejawat dokter anak.
"Tumben lo udah selesai visite, Ta?"
"Pasien gue lagi gak banyak Beb. Plus gue tadi datang kepagian."
Aku meletakkan handbag dan snelli di atas meja, sambil menyesap sisa jus mangga yang aku bawa dari poli.
Sejak berganti kepemimpinan berikut kebijakannya, jus buah adalah minuman wajib bagi kami saat praktek di poli, menggantikan teh atau kopi yang sudah menjadi tradisi sejak lama di rumah sakit ini.
"Dokter Lanisa Bebebku tersayang, gue wa kenapa gak dibaca sih?" Sapa Renata yang duduk di singgasananya sambil memainkan handphonenya.
"Wa apa, Ta? Gue belum sempet buka hp."
Aku hampir membuka tasku, sebelum dihentikan olehnya.
"Lo dicariin Bebeb gue honey, katanya mau ngobrol sama lo soal pasien semalem."
Dia datang mendekatiku dan duduk tanpa menyisakan jarak di antara kami.
dr. Renata Kastriani, Sp.A adalah salah satu teman seangkatan dan seperjuanganku, saat menempuh pendidikan dokter spesialis anak di UI. Periang, feminin, sedikit centil, mudah baper, keibuan dan tiba-tiba bisa menjadi sangat bijak saat aku butuh pencerahan.
Kami tidak saling kenal awalnya, karena aku adalah salah satu jebolan kedokteran UGM sedangkan dia alumni kedokteran UNS. Berbaur dengan kebanyakan teman seangkatan PPDS yang berasal dari luar jawa, kami merasa lebih klop satu sama lain. Mungkin karena pernah sama-sama kuliah di area yang berdekatan. Kami bahkan sering menjadwalkan liburan bersama untuk napak tilas ke tempat kuliah kami dulu.
Dan calon suaminya, dr. Indra Himawan Suwito, Sp.A(K) adalah dokter spesialis anak konsultan alergi imunologi, sekaligus Kepala Departemen Anak di sini. Indra juga merupakan kakak kelas tiga tingkat di atas kami. Mereka akan menikah bulan depan.
Renata sedikit mendekatkan mulutnya ke telingaku, karena dia akan melanjutkan kalimat yang tertunda barusan.
Suaranya sangat lirih. Takut kalau-kalau Mba Atik menguping pembicaraan kami.
"Lo ada masalah sama dokter Cyn ya, Beb? Kalian rebutan pasien VVIP? Gue denger dari perawat bangsal itu papanya si anak, pacar lo?"
"Astagfirullahaladzim!"
Aku tersentak dengan penuturan tanpa titik koma dari Renata barusan.
"Darimana lo denger?"
"Dari bangsal kelas satu dua tiga juga udah pada tau semua kali, Beb. Dari ujung ke ujung, semua nanyain gue. Dan gue gak bisa jawab dong. Gue baru denger ini."
Aku menepuk dahiku dengan tangan. Punggungku sudah bersadar di kepala sofa. Rasanya ada seonggok batu sedang menindihku. Terasa berat. Bagaimana bisa se-meleset ini gosip sudah beredar.
"Emang bener Beb pacar lo? Kok gue gak pernah denger ya lo curhat soal that heir of Wiraditama group sih? Keterlaluan lo, Beb!"
"Bukan Ta. Gue bahkan baru ketemu dia kemarin. Baru sekalinya. Anaknya gue tolong waktu itu. Jadilah pas masuk RS, dia mau gue yang rawat. Simpel kan sebenernya?"
"Owh.. Eh, tapi dia emang udah punya anak ya? Gue gak pernah denger beritanya dia nikah deh."
Aku menggedikkan bahu, tidak tau menahu soal status pernikahannya. Sudah menikah? Cerai mati? Cerai hidup? Pisah ranjang? KDRT? Selingkuh? Main perempuan? Banyak kemungkinan yang berputar-putar di kepalaku. Masa lalunya cukup beresiko untuk dijadikan gebetan, pacar bahkan calon suami. 'Haha gue mau ketawa, pede banget ya gue? Emang dia naksir lo, Lan? Padahal mah sekarang jelas-jelas gue jadi suruhan doi.'
"Gue juga udah jelasin ke perawat VVIP. Kenapa jadi salah kaprah gitu beritanya?"
"Ya kali namanya words of mouth. Kalo gak ditambah dikit bumbu micin ya kurang sedap, Lanisa sayang."
Dia merangkul bahuku.
"Tapi tenang, gue percaya sama lo kok. Ayang Beb juga pasti bela lo nanti."
"Ngomongin Mas Indra, emang dia mau bahas apa?"
"Dok Cyn agak gak terima kata Mas Indra. Tapi tenang aja Beb ..."
Dia kembali berbisik. Kini lebih lirih lagi dari sebelumnya. "Wajarlah ya. Usia empat puluh sekian tapi masih ngejomblo itu, hormon di dalem udah meluap-luap tiap liat yang high quality gitu."
Aku menjauh, menyikut lengannya. "Hush, lo ya Ta. Kalo dia denger gimana coba!"
Dia hanya menggedikkan bahu dan kembali memainkan handphonenya.
--------------------
"Kenapa lama banget? Katanya setelah dzuhur? Dan kamu lihat ini berapa Lanisa? Jam dua siang!"
Rey menyodorkan jamnya tepat di depan mukaku. Aku memutar bola mata jengah dan menutup telingaku, seraya berjalan ke arah Rangga yang ada di gendongan Bi Wati dekat ranjang pasien.
"Memang Bapak gak kerja?"
Aku berbicara tanpa menatapnya. Lebih baik memeriksa dan mengamati pasien kecil yang begitu lucunya sedang bergumam di depanku. Badannya montok, kelopak matanya bulat, kulitnya putih, rambutnya lebat, dan pipinya yang terlihat menggoda untuk dicium.
"Justru ini aku mau balik meeting jam tiga. Kamu udah buang cukup banyak waktu berhargaku hanya cuma buat nunggu kamu di sini."
Aku menoleh.
"Bukan saya yang buang waktu. Bapak sendiri yang buang waktu Bapak."
"Kemana aja kamu?"
"Saya harus visite bangsal kelas satu dua tiga dulu, baru terakhir ke sini kalo Bapak mau saya rawat Rangga lebih lama dari pasien lain. Atau mau dibalik?"
Aku tidak mendengar jawaban selanjutnya dari Rey. Hanya mendengar seperti ada yang mendudukkan dirinya di sofa di belakangku.
"Udah keliatan ceria ya kamu, Adek? Mau pulang, Sayang?" Tangan Rangga asyik memainkan bros pita yang mempercantik penampilan hijabku.
"Bagus ya pitanya?"
Ia merentangkan tangannya ke arahku. Aku menaikkan kedua alisku, menanyakan apa yang Rangga akan lakukan pada Bibi yang setia merawatnya ini.
"Owh ... Gendong? Sini Tante dokter gendong."
"Tadi saya baca observasinya pagi masih demam ya, Bi?"
"Maaf Non, Bibi baru dateng tadi jam sepuluh. Sepagian masih sama Tuan."
Aku menoleh menatapnya, menunggu jawaban darinya.
"Masih demam. Baru siang ini dia mau makan banyak. Tadi disuapin Bibi."
Aku menimangnya lagi di gendonganku. Dia masih asyik bermain bros pitaku. "Rangga cepet sembuh ya? Makan yang banyak. Mamam.. Mam."
"Mam.. Mam.. Mam.."
"Iya mamam ya yang banyak. Udah minum obat Bi?"
"Udah Non."
"Bibi udah makan?"
"Udah Non. Tapi ..." Aku mengerutkan alis menunggu kelanjutan kalimat bi Wati.
"... tapi Tuan Rey yang belum makan, Non. Katanya nunggu Non datang."
Aku sedikit menarik sudut bibirku. Aku memang sudah janji tadi akan makan siang dengannya.
Sengaja aku sudah memesan makanan lewat aplikasi online, demi mengamankan diriku agar tidak terjebak ajakan makan di luar olehnya.
"Sabar ya Pak. Makanannya lagi otw. Tadi saya udah pesen. KFC mau 'kan?" Rey terkejut dengan rencanaku, tapi dia akhirnya tetap mengangguk mengiyakan.
---
Saat kami sedang menikmati paket combo ayam goreng crispy untuk empat porsi ini, termasuk Bi Wati yang akhirnya ikut makan karena aku paksa, tiba-tiba handphone di meja berbunyi dan menampilkan nama kontak 'Mas Indra'.
Seketika ide penyelamatan diriku muncul di kepala.
"Owh halo assalamualaikum, Mas Indra. Kenapa Mas?"
Aku sengaja memberikan aksen sedikit manja di setiap kalimatku.
"Udah makan? Udah sholat?" Aku sok mengangguk-anggukan. "Mau ketemuan? Udah kok udah selesai visite-nya. Owh.. bisa-bisa. Nanti setelah ini ya, aku ke ruangan?" Aku sedikit melirihkan suaraku, namun tetap memastikan Rey mendengarnya. "Apa? Kangen? Ahhaha baru juga ketemu tadi pagi. Udah kangen? Malu ah. Udah ya? Sampai ketemu nanti. Bye, assalamualaikum."
Aku bisa melihat dari sudut mataku, ekspresi Bi Wati dan sang Tuan. Raut muka mereka menampakkan begitu banyak pertanyaan di benak kepala.
Ayam lezat nan menggiurkan, yang sedang mereka pegang di tangan masing-masing, tak kunjung digigit demi memuaskan rasa lapar dari dalam perut.
Aku bergegas mencuci tangan, mengemasi barangku, pamit mencium Rangga, dan meninggalkan pintu kamar pasien dengan dalih ada janji temu yang lupa aku tepati.
Berjalan agak cepat di sepanjang koridor, aku buru-buru mengetik pesan kepada sahabatku satu-satunya.
_____
Lanisa:
Renata sayang, maaf maaf banget.
Tadi aku jawab telpon mas Indra segitu centilnya.
Jangan marah. Itu super cito.
Emergency pake banget.
dr. Renata:
Cito apa? Siapa yang emergency?
Telepon apa?
Kok gue gak nyambung ya beb?
Lanisa:
Nanti gue cerita.
I love you Beb. Honey sweety baby Renata.
dr. Renata:
Iiihh, lo lagi gak sakit kan Beb?
_________
Wohooo..
Lanisa si upik abu gini-gini dia pinter lho..
Tapi inget Lan, di atas langit masih ada langit. Jangan sombong dulu 😂
Jangan lupa vote dan commentnya ya girls, 🙋 See ya on next chapters.
Login untuk melihat komentar!